#7

1096 Kata
Sebuah melodi mengalun dari pengeras suara di pojok atas kelas dan seorang pria di baliknya mengumumkan waktu istirahat telah tiba. Suaranya amat renyah dan lembut. “Selamat makan siang, teman-teman. Di luar gerimis, pastikan tidak kehujanan di atap. Kantin dalam ruangan menyediakan sup dan penghangat. Tetap semangat!” Teman-teman sekelas berhamburan ke luar. Aku menengok Romeo yang masih berdiam di bangkunya, merapikan tablet dan buku-buku. Setelah memastikan orang terakhir keluar dari kelas, aku berbisik memanggilnya. “Aku bisa pulang, nggak?” “Kenapa?” Alisnya bertaut, heran. Aku harus memastikannya pada buronan itu. Berani-beraninya memanfaatkan situasi. Dia juga tidur di ranjangku. Jangan-jangan…. Aku memejam erat, tak kuat membayangkannya. “Segala yang kamu butuhkan ada di sekolah ini. Penjaga memastikan nggak ada murid yang keluar gerbang sebelum jam pulang. Kantinnya di lantai dua. Liftnya ada di ujung lorong.” ungkap Romeo, seraya berlalu. Dia meninggalkanku yang bergeming sendiri di dalam kelas. “Baiklah, Anna, tolong tenang. Kau hanya perlu melewati hari ini dengan baik,” gumamku kemudian. Aku berjalan keluar dan kehilangan Romeo. Lorong sekolah lengang dan terang. Ini lebih seperti pusat perbelanjaan daripada sekolah. Semua lantai berbentuk persegi dengan beranda tengah. Rak buku raksasa tertanam di tengah-tengah, mulai dari lantai bawah hingga paling atas. Masih belum kuketahui bagaimana caranya jika ingin mengambil buku. Ruangan kelasku berada di lantai empat. Sedang lantai pertama adalah ruang-ruang untuk murid-murid kelas satu, lantai dua adalah kantin dan entertain hall, lantai tiga dipergunakan untuk kelas dua dan lantai paling atas adalah kantor direktur, ruang guru dan ruang rapat hingga seminar. Tak ada lapangan. Di halaman sekolah hanyalah kebun mawar dan air mancur. Jika ingin berolahraga ada aula khusus bawah tanah. Kabarnya, ada kolam renang dan gym di sana. Aku belum ke sana. Cuma tahu semuanya melalui denah yang kuambil dari depan ruang guru. Rafflesia School adalah sekolah kejuruan versi luar biasa. Jurusan seni gambar menjadi pilihanku dibanding tiga jurusan lain: bisnis, musik dan tata boga. Ada satu alasan mengapa Romeo yang merupakan ahli waris tidak memilih jurusan bisnis. Dia sangat menyukai gambar sepertiku dan Lissa, hingga membuatnya harus rela kehilangan waktu bersenang-senang karena tetap harus belajar cara berbisnis di luar jam sekolah. Aroma berondong jagung menyergap penciuman begitu kakiku menginjak kantin—mengingatkanku pada bioskop. Aku berdecak kagum dan geleng-geleng kepala melihat minimarket di sebelah kanan, sementara di sebelah kirinya adalah buffet makanan yang memanjang seperti restoran All You Can Eat. Murid-murid makan di tengah dengan meja dan kursi kayu warna putih. Semua dinding kantin terbuat dari kaca yang sekarang berembun karena hujan. Aku mengambil nampan dan mulai memilih makanan. Romeo yang entah sejak kapan berdiri di sampingku, menaruh sumpit ke atas nampanku padahal aku sudah mengambil sendok. “Makanlah dengan nyaman tanpa peduli omongan orang lain.” Dia tahu aku terbiasa menggunakan sumpit di Korea. Aku menyimpan sendok di bawah nampan lalu gantian mencapit tumis daging ke atas nampannya. “Kesukaanmu, kan?” Dia melirikku sekilas kemudian bergerak lebih dulu ke arah rak berisi makanan lain. Aku menunda sebentar langkahku, untuk memberi jarak. Kami tidak boleh terlihat seperti saling mengenal, kan? Selesai makan, mataku berpendar mencari tempat duduk. Lissa yang berada di depan mesin penjual minuman otomatis melambai dan berteriak memanggilku. “Hei, Juli. Kemarilah, Juli~” Aku meremas pinggiran nampan. Dia benar-benar cari gara-gara. Akan mencurigakan jika aku menolaknya, jadi kuputuskan untuk mendaratkan nampanku di mejanya, menyapa dua orang temannya—laki-laki dan perempuan, juga satu orang lagi yang wajahnya tidak asing. Kalau tidak salah, dia…. Lissa merangkulnya. “Juli, kenalkan, ini Sari.” Yasari Jasmine. Dia tampak terkejut saat mata kami bertumbuk. Gadis itu menunduk lebih dulu dan menekuri makanannya tak sudah-sudah. Dia menyuap lagi dan lagi, terlalu cepat dan tidak wajar. Aku melirik Lissa. Dia tersenyum sinis. Tangannya meremas bahu Sari hingga tangan gadis itu gemetar. Lissa mengintimidasinya? ** Seseorang mengulurkan tangan, menutupi geretan yang sedang berusaha kunyalakan agar tapinya tidak mati. Angin di atap sekolah terlalu kencang sehingga berapa kali pun aku berhasil membuat api menyala, itu selalu padam lagi. Aku menoleh. Sari sahabatku atau ‘mantan’ sahabat lebih tepatnya. “Terima kasih,” ucapku setelah berhasil menyulut rokok. Sari tidak mengindahkan keramahanku dan malah menatap pemandangan Rafflesia School yang cukup menakjubkan dilihat dari atas sini. Kami terdiam, memilih bungkam hingga batang rokokku tinggal setengah. Aku memandanginya dari samping. Wajah yang kurus dan kusam. Perasaan tidak nyaman hinggap di dalam hatiku saat melihatnya. “Kenapa namamu Juli? Kenapa Lissa dan Romeo tampaknya sudah merencanakannya denganmu?” tanyanya, tanpa basa-basi. Aku menekan ujung rokok yang membara ke atas tembok pembatas sebelum menjawabnya. Sari benar-benar tidak bisa ditebak. Pertanyaannya bukan pertanyaan. Ada nada sinis di dalamnya. “Kenapa kamu harus datang ke sekolah ini? Kamu kan, kaya, banyak sekolah yang bisa kamu datangi, kan?” “Sari….” Aku kehilangan kata-kata. Sebenci itu dia padaku? “Itu bukan urusanmu, kan?” Seseorang memotong ketegangan kami. Romeo. “Anna mau sekolah di mana pun, bukan urusanmu, Yasari Jasmine. Dia punya hak—bahkan untuk menyamar sebagai Juli. Bukannya kamu keterlaluan?” Napasku tertahan. Menyesali ucapan kasar Romeo yang mungkin melukai Sari. Kulirik gadis itu. Dia tampak ingin menangis saking terkejut. Matanya bergetar, kakinya mundur satu langkah hingga punggungnya menabrak tembok pembatas. Aku mendekatinya, bermaksud menggenggam tangan yang gemetar itu, tapi dia berlari pergi. Namun, langkahnya tertahan oleh kedatangan Lissa. Gadis angkuh itu tersenyum menyadari situasi kami bertiga. “Hei, ini mengingatkan kita kepada masa lalu, kan?” Bel tanda masuk berbunyi. Romeo lebih dulu meninggalkan atap. Aku memperhatikan Sari. Matanya gemetar, tangannya terkepal dan wajahnya pucat. Dia tampak sangat tertekan setiap kali berada dekat dengan Lissa. “Kupikir kalian teman baik. Nyatanya tidak.” Lissa bersedekap dan memercik api di antara aku dan Sari. Sari menelan ludah. Keringat membanjiri pelipisnya. Aku hampir meraih tangannya hingga dia mengangkat pandangannya ke arahku. “Jangan pernah pedulikan aku. Berbaliklah setiap kali berpapasan denganku. Pergilah sesuka hatimu, seperti yang kamu lakukan dulu.” Setelah mengatakan itu, dia berjalan pergi. Napasku sesak. Aku mendelik ke arah Lissa. “Apa yang kamu lakukan padanya? Kenapa kebetulan sekali dia sekolah di sini?” “Dia masuk lewat jalur beasiswa, kok.” Lissa bersikap pura-pura bodoh. “Jangan bohong. Kamu sengaja membuatnya terus dekat-dekat denganmu, kan? Kamu merundungnya, kan?” Aku mencercanya. “Kalau iya, kenapa?” Lissa mengangkat dagunya, menantang. “Apa kamu bakal peduli? Kamu yang meninggalkannya di saat dia tidak punya siapa-siapa. Bukannya lebih seru kalau aku yang menemaninya?” Dia tertawa lepas. Sakit jiwa. Aku menampar dan membuatnya bungkam. Dengan memegangi pipi yang matang, dia mendelik padaku. “Jangan bersikap sok melindunginya, Rianna Juli. Yang harus kamu cemaskan adalah dirimu sendiri!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN