#8

1526 Kata
Api menggerogoti ranting-ranting, bergemeletuk, menyemburkan bara-bara kecil yang menyala dan warna oranye segera meliuk-liuk naik ke udara, membawaku mendongak—menyandarkan tengkuk pada punggung kursi lipat yang berderit tiap kali bergerak, pandangan menemui langit malam penuh bintang. Siluet dedaunan membingkai langit. Aku meniupkan udara ke atas sana dan dedaunan bergerak-gerak seolah napasku benar-benar menyentuhnya. Aku melepas sesak. Pertemuan dengan Sari membuat rasa bersalah mencuat kembali ke permukaan hingga melewati garis batas kenyamanan. “Mikirin apa, sih?” Winter bertanya dari balik selimut yang menutupi punggung hingga kepalanya seperti kura-kura menyembunyikan leher. Dia bersikeras ingin memanggang marshmellow di halaman meski polisi masih mencarinya ke setiap sudut negeri. Aku melirik malas melihat bungkus-bungkus marshmellow dan bekas kopi kalengan berserakan di dekat kakinya. Dia sungguh santai. Aku bahkan tidak percaya harus selalu mencuci sepuluh gelas per harinya karena dia selalu ganti-ganti gelas tiap kali minum. “Diam,” perintahku. Aku masih marah. Kumaki dia habis-habisan karena mencuri ciuman pertamaku. Namun, dia malah menyuruhku bersyukur karena ciuman pertamaku dengan seorang selebriti. “Bagaimana hari pertama sekolah? Seru?” Aku berdecak kesal karena gemerisik plastik. Buronan di depanku ini sedang membuka kemasan lolilop lalu melahapnya. Aku tertegun melihat bibir itu mencucup lolipop. Ciuman pertamaku…. “Eh, apaan, sih?” Dia teriak protes karena kurebut lolipop itu darinya dan kulemparkan ke api unggun. Tak lama berselang, tercium samar-samar aroma manis bercampur gosong. “Kamu akan pergi besok, kan?” Wajahnya berubah muram ketika pertanyaan itu kulontarkan. “Kamu tidak membunuhnya, kan? Pasti ada cara untuk membuktikan kamu tidak membunuhnya.” Dia melirikku malas lalu mendesah seraya menyingkirkan selimut yang menutupinya. “Aku dijebak. Jojo sudah tergantung saat aku terbangun. Kalau aku tidak lari sebelum staf datang, pasti aku ditangkap saat itu juga.” Aku melempar ranting ke dalam api. Dinding hutan semakin dingin, tapi pengakuan dan ekspresi wajah itu menyatakan malam akan panjang. “Aku menggila. Dia bukan hanya manajer bagiku, melainkan sudah seperti Kakak sendiri. Dia bersamaku sejak aku bukan siapa-siapa. Jadi, bagaimana bisa dia hidup tanpanya sekarang? Bagaimana bisa—“ Ucapannya terpenggal tangisannya sendiri. Aku menghela napas dan kursi lipat berderit saat aku mencodongkan tubuh untuk mengulurkan tangan dan menepuk-nepuk pundaknya. Hutan ikut diam membungkus tangisannya. Tak lama. Dia segera menyeka air mata dan malah bertanya balik padaku. “Apa kamu baik-baik saja? Maksudku, hidupmu sekarang. Kamu juga dibenci oleh orang-orang.” Aku membuang napas lewat mulut sambil melekatkan kembali punggungku ke kursi. “Biasa saja. Aku tidak pernah dengar apa kata orang. Selama ini aku selalu berjuang sendiri—yah, meski sering dibantu Romeo, setidaknya aku tidak bergantung kepada orang lain. Di Korea mudah bagi remaja sepertiku untuk mendapat pekerjaan paruh waktu. Aku sudah keluar rumah dan hidup sendiri setelah Mama meninggal. Aku menjaga minimarket, menggosok punggung orang di sauna bahkan menjadi sopir panggilan.” Dia menatapku takjub. “Serius?” Aku membusungkan d**a dengan bangga. Dia tertawa heboh dan bertepuk tangan. Aku meraih teh hangat dalam cangkir alumunium dan menyeruput sambil menahan tawa. Suhu tehnya mulai berubah. “Makanya, tepati janjimu untuk tidak membocorkan identitasku. Aku butuh uang. Aku tidak bisa membuat Forest kecewa.” Dia menarik selimut menutupi tubuhnya lagi. “Hebat juga. Koneksi dari tunanganmu?” Aku menyesap teh lagi lalu meletakkannya dan bibirku masih terasa manis saat menjawab pertanyaannya barusan. “Tidak sama sekali. Aku ikut sebuah kompetisi.” Dia heboh bertepuk tangan lagi, kali ini dari balik selimut. “Kamu juga sudah melakukan banyak hal hebat.” Aku tersenyum dan tulus memberi pujian. Dia mengangguk mantap dan tersenyum simpul. Aku meliriknya hati-hati sebelum bertanya. “Kamu rindu Jonathan?” “Sangat rindu.” Dia menjawab cepat. “Kamu sendiri? Pernah merasakan rindu yang amat sangat?” “Tentu. Aku selalu rindu Mama.” Aku menggantung ucapan karena tiba-tiba terlintas seseorang di benakku. “Aku juga merindukan sahabat masa kecilku. Namanya Sari. Aku bertemu dengannya lagi di sekolah baru.” “Oh, ya?” Aku mengangguk, bergeming sebentar, lalu tertunduk. Tak kuat menahan berat. Kepalaku rasanya runtuh. “Dia membenciku.” Winter diam dan matanya mengatakan bahwa dia mendengarkanku. Maka, aku melanjutkan. ** “Dulu, Sari satu-satunya temanku. Dia anak pembantu di rumah Romeo yang selalu kudatangi. Sudah kukatakan belum, aku dan Romeo dijodohkan sejak bayi? Sejak lahir, malah. Ibu angkat Romeo—Mama Yona dan mamaku bersepakat ingin mengubah status dari sahabat menjadi sahabat sehidup semati. Hidupku lengkap saat itu. Punya orang tua harmonis, Mama Yona yang sangat mengagumiku, sahabat yang menyayangiku dan tunangan yang tampan luar biasa. Jika diibaratkan warna, fase hidupku saat itu berseri merah muda. “Sari yang terbaik yang pernah kumiliki. Sari kecil mengintipku dan Romeo yang sedang membaca buku di perpustakaan pribadi keluarga Aditama. Romeo memarahinya, tapi karena dia tampak tertarik dengan buku Hansel and Gretel, aku membiarkan dia membacanya.” Aku terdiam sebentar untuk mengenang hangatnya perasaan hari itu. “Matanya berbinar-binar waktu melihat gambar biskuit dan permen warna-warni di buku itu. Dan dia menahan tangis hingga wajahnya memerah saat penyihir memasukkan Hansel dan Gretel ke dalam oven. Dia benar-benar menggemaskan.” Kulihat Winter tersenyum. Wajahnya hangat oleh warna oranye dari api unggun yang menyala. “Semua buku di perpustakaan Aditama tidak boleh dibawa keluar ruangan, tapi aku memohon pada Mama Yona agar Sari dapat membaca buku itu di kamarnya. Dia senang sekali. Sebelum saat itu, aku melihatnya sebagai gadis kecil yang dekil dan kumal, tapi setelah memiliki buku itu, pipinya tampak seperti apel segar. Aku senang dapat membagi kebahagiaan dengannya. “Sejak itu aku membagi segala sesuatu dengannya. Makaron, gaun bunga-bunga kembaran, sampai hamster. Dia yang pertama kucari tiap main ke rumah Romeo. Aku sering mengundangnya ke rumah ini dan dia akan menjadi sangat heboh waktu membayangkan dirinya adalah Gretel yang tersesat di hutan ini.” Aku menghela napas lega sambil tersenyum lebar, menutup kalimat panjang. Senyum itu menular pada Winter. “Seru sekali, ya? Kamu pasti benar-benar menyukainya.” “Sangat.” Aku menjawab mantap, tanpa ragu. “Tapi, suatu hari aku harus pindah ke Korea. Umurku delapan tahun saat itu.” Sesaat, aku diam bergeming. Winter memungut ranting dan melemparnya ke dalam api. “Kamu tahu? Waktu kecil aku sering bertanya kepada Mama, tentang keberadaan Papa. Mengapa Papa tidak pulang, mengapa Papa melupakan hari ulang tahunku dan sejuta pertanyaan lain. Mama selalu bilang Papa sibuk. Dia tersenyum dan memelukku, mengatakan Papa pasti pulang. Dia berjanji, saat kami berkumpul kembali, dia akan membuat makanan kesukaan Papa. Dia juga akan membuat Papa menebus segalanya dengan mengajakku jalan-jalan. Hingga suatu hari, Mama mungkin tidak bisa menjanjikan apa pun lagi padaku. Dia mengemas baju-baju kami dan menunjukkan dua tiket pesawat ke Korea. “Di Indonesia, hari anak berlalu begitu saja. Tapi, tidak di Korea. Aku berharap Papa mengajakku bermain layang-layang di sungai Han. Hanya bermain layang-layang. Aku tidak minta Lotte World atau Everland. Aku cuma ingin mencoba menerbangkan layang-layang. Tapi, malam-malam, waktu sungai Han semakin sepi dan tenda-tenda dibereskan, wanita itu menjawab telepon dariku. Meski disembunyikan, kutahu Mama panik. Malam-malam. Wanita itu bilang, Papa tidur. Apa yang terbayang olehmu, Win, jika dalam situasi sepertiku saat itu?” Winter menatapku dalam bungkam. Dia tahu aku sedang ingin didengar, bukan mendengar jawabannya. “Besoknya, mereka datang bersama. Papa dan Ji Eun rapi dan wangi seperti habis mandi. Pagi-pagi.” Aku tertawa hambar dan menyeka sebutir air mata yang menetes jua. “Tapi, w***********g itu tersenyum sangat ramah. Tanpa menjelaskan dari mana mereka semalam, dia malah memuji lezatnya nasi uduk buatan Mama. Entah apa yang dipikirkan Mama, semenjak pagi itu, mereka jadi bersahabat.” Winter memandang lurus ke arah api, tapi aku tahu dia di sini. Dia ada mendengarkanku. “Agensi artis milik Papa benar-benar menjadi sangat besar dan membuat Papa tidak pernah pulang ke rumah kami di Seoul. Pulang hanya untuk marah-marah dan memukuli Mama. Setiap kali seperti itu, Ji Eun datang untuk memeluk dan mendengarkan keluh kesah Mama. Kata Mama, Han Ji Eun adalah sahabat terbaik yang pernah dimilikinya. “Namun, kian hari Mama makin kurus hingga kutahu perselingkuhan Papa dengan Han Ji Eun adalah sebabnya. Suatu malam, Papa datang dan mengemas barang-barang. Keesokannya kutemukan Mama tergeletak lumpuh di tempat tidur dan tidak bisa bicara. Dia terserang stroke.” Winter mengusap wajahku. Air mata sudah berlelehan. Entah sejak kapan menetes. Aku menyingkirkan tangan itu pelan-pelan, menyeka wajah sendiri dan membungkus kesedihan yang barusan pecah dengan sebuah tawa. “Maaf. Aku terbawa suasana.” “Jadi, kamu meninggalkan Sari ke Korea?” Aku menelan ludah, meneguk rasa bersalah dengan susah payah. “Ya, aku pergi saat hari pemakaman ibunya. Dia tidak punya siapa-siapa dan aku justru meninggalkannya pada hari terburuk dalam hidupnya.” “Terburuk?” “Pada hari pemakaman ibunya, Lissa menyeretnya ke toilet, memberikan selamat karena Sari saat itu resmi menjadi sebatang kara dan menyiramnya berkali-kali sebagai hadiah.” “Sakit jiwa.” Aku setuju, tapi aku juga bersalah. Dosa diri sendiri yang tidak akan kumaafkan sepanjang hayat. “Aku bersama mereka saat itu, tapi Mama terus menelepon dan mengatakan kami harus pergi. Aku meninggalkannya. Wajar dia membenciku.” “Bukan salahmu, Anna.” Salahku. Aku harusnya bisa membuktikan kepada Mama Yona bahwa Sari dirundung. Namun, aku tidak melakukan apa pun dan Sari terlalu gemetar untuk mengadu. Aku hanya memikirkan Mama dan diriku sendiri saat itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN