bc

Pilihan Hati Sang Tahfidz

book_age16+
0
IKUTI
1K
BACA
family
fated
drama
lighthearted
campus
small town
like
intro-logo
Uraian

Novel ini mengisahkan perjalanan spiritual dan romansa seorang hafidzah (penghafal Al-Quran) bernama Fatimah Azzahra yang menghadapi berbagai ujian hidup. Setelah kehilangan tunangannya, Ahmad, dalam kecelakaan misterius, Fatimah harus menghadapi fitnah yang mengancam kariernya sebagai pengajar tahfidz. Takdir membawanya bertemu kembali dengan Ustadz Hanan, sahabat almarhum tunangannya. Namun, pertemuan itu hanyalah awal dari rangkaian misteri dan bahaya yang mengungkap kebenaran mengejutkan: Ahmad masih hidup.Dalam perjalanan mencari kebenaran, Fatimah menemukan dirinya terlibat dalam konspirasi berbahaya yang dipimpin oleh kelompok ekstremis yang menyamar sebagai ulama terhormat. Perjalanan mencari kebenaran ini tidak hanya menguji keimanan Fatimah, tetapi juga membawanya pada cinta yang pernah ia kira telah hilang selamanya.Novel ini menggabungkan elemen dakwah yang kuat dengan alur cerita yang memikat, menyajikan nilai-nilai Islam dalam balutan kisah thriller yang menegangkan namun tetap mengedepankan pesan moral dan spiritual yang dalam.

chap-preview
Pratinjau gratis
BAB 1: Ketika Takdir Berbisik
﴾ وَعَسَىٰ أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَن تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ ﴿ "Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (Al-Baqarah: 216) Fajar belum sepenuhnya mengusir gelap ketika Fatimah Azzahra menyelesaikan sujud terakhir shalat Tahajudnya. Udara sejuk pesantren terasa berbeda pagi ini—lebih berat, seolah mengandung pesan yang belum ia pahami. Fatimah mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan, kebiasaan yang selalu ia lakukan setelah shalat, lalu mengambil Al-Quran bersampul kulit yang tak pernah jauh darinya. "Bismillahirrahmanirrahim," bisiknya pelan, jemarinya yang lentik membuka halaman yang ditandai. Keheningan asrama ustadzah Pesantren Modern Al-Fatah menjadi saksi bisu rutinitas yang telah ia jalani selama bertahun-tahun. Suara lembut Fatimah mengalun, membacakan ayat-ayat suci yang telah terukir dalam ingatannya. Tak ada yang tahu bahwa di balik kelancaran bacaannya, hatinya sedang bergolak. Hari ini adalah hari keseratus setelah fitnah itu menghampirinya. Dari jendela kamarnya di lantai dua, Fatimah bisa melihat keseluruhan kompleks pesantren yang mulai terbangun. Seorang santri berlari kecil menuju tempat wudhu, sementara beberapa ustadzah muda sudah berjalan menuju masjid untuk shalat Subuh berjamaah. Fatimah menghela napas panjang. Tiga bulan lebih sudah ia menahan diri, membatasi interaksinya, menanggung bisik-bisik yang tak pernah hilang sepenuhnya. "Ya Allah, berikanlah aku kekuatan," doanya lirih, keningnya berkerut menahan pedih yang tak kunjung reda. Fatimah Azzahra adalah permata Pesantren Al-Fatah. Di usia 26 tahun, ia telah menjadi pengajar tahfidz paling disegani dengan metode pengajaran yang diakui keefektifannya. Puluhan hafidz dan hafidzah telah ia lahirkan, termasuk beberapa pemenang kompetisi tahfidz nasional. Dedikasinya tak pernah diragukan—bahkan oleh mereka yang kini sibuk membicarakannya. Tuduhan itu datang seperti petir di siang bolong. Sebuah foto yang dimanipulasi, sebuah cerita yang direkayasa, dan sebuah niat buruk yang menjadikannya target. "Seorang pengajar tahfidz terbukti menjalin hubungan terlarang dengan kerabat santri"—begitu bunyi berita yang menyebar bagai api dalam sekam di komunitas pesantren dan sekitarnya. Kesabarannya hampir habis ketika beberapa orangtua santri meminta anaknya dipindahkan dari kelasnya. Hampir—karena Fatimah selalu mengingat bahwa ujian adalah bentuk cinta Allah. "Ustadzah, sudah waktunya ke masjid." Suara Maryam, asisten pengajarnya, membuyarkan lamunan Fatimah. "Iya, saya segera turun," jawabnya sambil menutup mushaf Al-Quran dan meraih mukena putih bersih yang terlipat rapi di atas sajadah. Udara pagi yang menyegarkan sedikit mengangkat beban di hatinya saat Fatimah melangkah menuju masjid. Beberapa santri membungkuk hormat saat berpapasan dengannya. Mereka yang masih mempercayainya, masih menghormatinya—namun Fatimah tahu, ada juga yang memilih berjalan memutar untuk menghindarinya. "Astaghfirullah," refleksnya saat pikiran negatif itu muncul. Istighfar adalah penyelamatnya beberapa bulan terakhir. Setiap kali hatinya goyah, setiap kali amarahnya memuncak, setiap kali kesedihannya tak tertahankan, hanya istighfar yang menenangkannya. Masjid utama Al-Fatah adalah kebanggaan pesantren—dengan kubah kaca yang membiaskan cahaya dalam pola geometris islami dan mihrab yang diukir dengan kaligrafi ayat-ayat pilihan. Pagi ini, masjid itu hampir penuh dengan santri dan pengajar yang berbaris rapi menunggu iqamah. Fatimah mengambil posisi di shaf terdepan, tepat di belakang Ustadzah Khadijah, kepala Pesantren Putri yang merupakan mentornya sejak ia pertama kali menginjakkan kaki di pesantren ini 15 tahun lalu. Di sebelahnya, beberapa ustadzah muda mengangguk sopan meski ada keraguan dalam mata mereka. Setelah shalat, seperti biasa, Ustadzah Khadijah memimpin zikir pagi dan tausiyah singkat. Wanita berusia 58 tahun itu memiliki wibawa yang tak luntur oleh waktu—janda dengan lima anak yang telah ia besarkan sendiri sambil memimpin pesantren putri. Suaranya yang tenang namun tegas selalu membawa ketenangan. "Hari ini kita kedatangan tamu istimewa," ucapnya setelah tausiyah pagi. "Ustadz Hanan Hakim akan memberikan kajian khusus untuk para pengajar dan santri senior selama tiga hari ke depan." Bisik-bisik antusias segera memenuhi ruangan. Ustadz Hanan Hakim adalah nama yang tak asing bagi siapapun yang mengikuti dunia dakwah kontemporer. Dai muda berusia 32 tahun dengan jutaan pengikut di media sosial, pendiri pesantren tahfidz untuk anak jalanan, dan penceramah yang kerap diundang di forum-forum internasional. "Kajian akan dimulai pukul sembilan pagi di aula utama," lanjut Ustadzah Khadijah. "Para pengajar diharapkan hadir." Fatimah merasakan jantungnya berdegup lebih kencang. Ia pernah mendengar nama itu dari almarhum Ahmad, tunangannya yang meninggal tiga tahun lalu. Ahmad kerap menyebut Ustadz Hanan sebagai "sahabat terbaik yang pernah Allah titipkan". Namun, mereka belum pernah bertemu secara langsung. "Ustadzah Fatimah," panggil Ustadzah Khadijah saat jamaah mulai bubar. "Bisa ke ruangan saya sebentar?" Fatimah mengangguk, meski kegelisahan merayapi tulang belakangnya. Biasanya panggilan ke ruangan kepala pesantren tak pernah membawa kabar baik—setidaknya tidak dalam tiga bulan terakhir. Ruangan Ustadzah Khadijah adalah cerminan pemiliknya: sederhana namun berwibawa. Rak-rak berisi kitab-kitab klasik dan modern, meja kayu jati yang telah melayani tiga generasi pimpinan pesantren, dan sebuah foto besar pendiri Al-Fatah yang menggantung di dinding utama. "Duduklah, anakku," ujar Ustadzah Khadijah dengan nada keibuan. Mata tuanya memancarkan kebijaksanaan yang ditempa oleh ujian hidup. "Ada apa, Ustadzah?" tanya Fatimah setelah duduk berhadapan dengannya. Ustadzah Khadijah tidak langsung menjawab. Ia menatap Fatimah dengan pandangan yang sulit diartikan, campuran antara kasih sayang, kekhawatiran, dan sesuatu yang lain—sesuatu yang membuat Fatimah merasa seperti sedang berada di ambang keputusan besar. "Surat pengunduran dirimu sudah saya terima," ujarnya akhirnya. Fatimah menunduk. Seminggu lalu, setelah bermalam-malam shalat Istikharah, ia memutuskan untuk mengundurkan diri dari pesantren yang telah menjadi rumahnya. Keputusan itu terasa seperti merobek sebagian jiwanya, namun ia tak ingin fitnah terhadap dirinya mencoreng nama baik pesantren. "Tapi saya belum menyetujuinya," lanjut Ustadzah Khadijah, membuat Fatimah mengangkat wajahnya. "Dan sebenarnya, ada jalan lain yang mungkin tidak kau pertimbangkan." "Jalan lain apa, Ustadzah?" Suara Fatimah hampir tak terdengar. Wanita sepuh itu tersenyum tipis, seolah telah melihat sesuatu yang belum Fatimah ketahui. "Ustadz Hanan Hakim ingin bertemu denganmu secara pribadi. Dan aku rasa, ini bukan kebetulan." Fatimah merasakan dunianya berputar. Ustadz Hanan ingin bertemu dengannya? Untuk apa? Bagaimana dia bisa tahu tentang dirinya? Seakan membaca pikirannya, Ustadzah Khadijah melanjutkan dengan suara yang lebih lembut. "Dia mengenal Ahmad, Fatimah. Dan dia datang membawa amanah yang mungkin akan mengubah hidupmu." Di luar jendela, matahari pagi mulai menerobos awan mendung, menciptakan berkas-berkas cahaya yang menari di lantai marmer ruangan itu—seperti isyarat bahwa setelah kegelapan, selalu ada cahaya yang Allah persiapkan. Fatimah tak menyadari bahwa takdir telah mulai membisikkan rahasia-Nya.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
188.7K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
155.8K
bc

Hasrat Meresahkan Pria Dewasa

read
30.4K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
233.8K
bc

TERNODA

read
198.7K
bc

Setelah 10 Tahun Berpisah

read
59.8K
bc

My Secret Little Wife

read
132.1K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook