| 20
Lala sangat senang karena mendapatkan beberapa benda yang sangat ia butuhkan dari kedua orang tua Belin. Sungguh, ia tak menyangka akan memperoleh barang branded tersebut dengan harga yang cukup mahal. Awalnya ia canggung untuk menerimanya, namun bagaimana lagi, orang tua Belin memaksa Lala untuk menerimanya. Mungkin Tuhan Yang Maha Esa telah memberikan rezeki tersebut melalui perantara keluarga Belin. Akhirnya ia menerima semua pemberian itu dengan senang hati.
Telepon genggam berwarna hitam yang disertai dengan logo buah apel yang menempel pada belakang handphone menjadikan ciri khas kemewahan ponselnya. Lala sedang memainkan telepon genggam tersebut dan ia merasa seperti sedang bermimpi. Rasanya tidak mungkin baginya untuk memiliki sebuah telepon genggam dengan harga senilai tujuh juta ke atas. Orang tua Belin membelikan Lala telepon genggam yang sama persis dengan putrinya, hanya warnanya saja yang membedakan. Kini Lala menjadi lebih semangat dengan fasilitas barunya untuk mengakses ilmu pendidikan.
“Bel, ini orang tua kamu serius belikan aku telepon genggam? Ini harganya mahal banget loh.” Ucap Lala sambil membolak-balikkan ponsel yang ia pegang.
“Iya seriuslah, La. Mamah sama Papah itu udah menganggap kamu seperti anak sendiri.” Sahut Belin dengan santai saat merebahkan tubuhnya di atas spring bed king size kamarnya.
“MasyaAllah... sungguh mulia sekali, semoga semua kebaikan keluarga kamu mendapatkan ganjaran yang setimpal dan berlipat-lipat, aminnn.” Lala bersyukur dan mendoakan keluarga Belin.
“Oiya habis makan siang nanti, Papah sama Mamah mau bicara sama kamu. katanya sih ada hal penting, tapi aku nggak tau itu hal penting tentang apa.” Ucap Belin.
“Iya, nanti aku samperin Mamah sama Papah kamu. Oiya, aku harus samperin dimana ya? Rumah kamu kan luas banget, dan aku nggak hafal sama denahnya, hehe..” tanya Lala.
“Kalau nggak salah tadi....? Oiya, di taman atas, La, lantai dua.” Jawab Belin.
Usai menikmati camilan molen isi pisang, Lala dan Belin turun ke lantai satu untuk menikmati makan siang. Kali ini hanya makan berdua saja dengan Lala, karena orang tuanya masih keluar untuk menemui klien. Menu di siang hari ini adalah sayur asem dan tumis pepaya yang tingkat kematangannya masih baru sepuluh persen. Meskipun keluarga Belin tergolong sebagai keluarga yang cukup, menu makanannya setiap hari adalah menu seperti kebanyakan orang pada umumnya. Karena makanan yang mahal belum tentu menjamin kandungan gizinya. Lebih baik mengkonsumsi sayuran rumahan yang sudah pasti kandungan gizinya dan kehigenisannya terjaga.
“Seger banget masakan, Mbak Mila. Aku harus belajar masak lewat Mbak Mila nih.” Ucap Lala usai menyuapkan nasi beserta sayur asem pada mulut mungilnya.
“Masakan kamu juga usah enak, La. Udah cocok jadi ibu rumah tangga wakakak. Oiya ini tempe goreng sama sambalnya nggak kamu cobain? Enak loh sambalnya, nyesel ntar kalau nggak nyobain sekalian.” Canda Belin.
“Emm boleh juga, aku cobain ya.” Lala mengambil satu sendok teh sambal dan dua buah tempe goreng.
“Enak sekali sambalnya Mbak Mila, bikin nagih ini hahahaa.” Lala mengambil sambal lagi hingga dirasa cukup.
Mereka berdua menyantap masakan Mbak Mila dengan lahap. Bahkan mereka berdua sama-sama menambah porsi makannya. Lala sangat menyukai sambal buatan asisten baru rumah tangga keluarga Belin. Tak heran jika masakannya sangat enak, karena Mbak Mila pernah menjadi seorang chef pada salah satu restoran terkenal yang ada di pulau Bali.
Usai menikmati makan siang berdua, Belin mengajak Lala untuk mengelilingi rumahnya. Lala sangat terpukau dengan kemewahan rumah dan seisinya. Baru pertama kalinya ia mengelilingi rumah Belin. Biasanya saat ia bermain kerumah Belin hanya dikamar dan di taman samping rumah saja. Meski tergolong orang cukup, bahkan termasuk keluarga kaya, keluarga Belin sama sekali tak pernah menyombongkan hartanya. Selalu bersikap rendah hati dan suka menolong.
~Tung tung.. ting tung..~
Mbak Mila segera membuka pintu rumah. Yang datang bukanlah tamu, melainkan kedua majikannya. Setelah kedua majikannya memasuki rumah, ia segera menutup dan mengunci kembali pintu tersebut.
***
Waktu yang tepat sudah tiba. Lala beserta kedua orang tua Belin sudah berkumpul di taman lantai dua. Ternyata bukan mereka bertiga saja, namun Belin juga diminta oleh Mamahnya untuk menemani Lala di sampingnya. Untuk mengantisipasi adanya rasa takut pada diri Lala.
“Jadi maksud Om dan Tante meminta kamu untuk kesini yaitu, Om mau bicara kepada kamu, dan Om harap kamu bisa menerima pembicaraan Om dengan baik. Jangan takut dengan kami berdua, anggap saja seperti kedua orang tua kamu.” ucap Papah Belin sambil mengelus rambut Lala di akhir pembicaraan.
“Baik, Om. Terimakasih banyak.” Balas Lala dengan sopan.
“Kamu jangan salah faham sama Om dan Tante, kami berdua menerima dengan lapang atas kedatangan kamu dirumah kami. Cuman ini bukanlah suatu solusi untuk menyelesaikan masalah kamu. Om dan Tante sangat faham bagaimana pemikiran dan emosional anak di usia kamu dan Belin. Om dan Tante tidak bermaksud untuk mengusir kamu, yang perlu kamu ingat adalah semua masalah pasti ada solusinya, jangan pernah memendam masalah sendirian. Kamu bisa cerita pada Belin atau Om dan Tante. Dan Om rasa, pilihan untuk kabur dari rumah bukanlah hal yang benar, Sayang. Kami berdua sudah tahu semua masalah kamu, kamu jangan kawatir, kamu harus fokus kepada pendidikan dan karir kamu saja. Kalau ada apa-apa bisa segera menghubungi kami. Kami akan membantu selama kami bisa membantu. Masa depan kamu masih panjang, Sayang. Jangan mudah putus asa. Okay.” Tutur Papah Belin kepada Lala.
Seketika membuat hati dan fikiran Lala menjadi tenang. Kini ia mulai dapat berfikir secara rasional. Nasehat dan dorongan dari orang tua merupakan obat paling mujarap bagi seorang anak yang sedang mengalami problem. Kini Lala berfikir untuk kembali lagi kerumah Susi meskipun ia masih trauma atas perlakuan yang akan ia terima.
“Iya, Om. Terimakasih banyak atas pencerahannya, Lala sekarang merasa jauh lebih baik dan tenang setelah mendengar nasehat yang Om berikan. Tapi Lala masih trauma sama perlakuan Tante Susi, Om.” Ucap Lala dengan jujur tanpa menutupi apapun.
“Kamu jangan kawatir soal perlakuan Susi, kalau kamu diperlakukan dengan keras olehnya, jangan takut atau sungkan untuk melaporkannya depada pihak kepolisian. Kamu harus tumbuh menjadi wanita yang pemberani, buatlah almarhum kedua orang tua kamu bangga. Selagi kamu bernar, maka jangan sekali-kali takut. Terus lawan!” Papah Belin memberi dorongan kepada Lala agar semangat dan jiwa keberaniannya tumbuh kembali.
Berkat nasehat dan dorongan positif dari Papah Belin, kini Lala menjadi lebih semangat untuk terus bejuang demi masa depannya. Mungkin hanya kurang beberapa bulan saja ia akan menyelesaikan sekolahnya. Mengenai biaya administrasi sekolah, Lala akan memikirkannya lagi setelah ia berada pada kediaman Susi.
Usai berkumpul di taman tersebut, orang tua Belin mengajak Lala dan putrinya untuk berenang bersama di kolam renang yang tersedia disana. Bertemu dengan air merupakan salah satu metode yang dapat kita coba untuk menenangkan fikiran, entah berenang ataupun berkunjung ke tempat wisata yang berhubungan dengan air atau tanaman hijau. Kebetulan kolam renang pribadi yang berada di kediaman Belin diselimuti oleh beberapa tanaman yang menyegarkan, seperti tanaman melati salah satunya.
“Airnya dingin sekali, Pah. Berrrrrrr.” Ucap Belin saat ia mengawali terjun ke dalam kolam.
“Nggak papa, nanti lama-lama tubuh kamu juga menyesuaikan. La, kamu nggak nyebur?” tanya Papah Belin.
“Hehe Lala nyeburnya belakangan saja, Om. Pengen mainan air dulu.” Jawab Lala singkat sambil membasahi kakinya di tepi kolam.
Bukan Belin namanya kalau tidak menyempatkat diri untuk menjaili Lala. Belin sengaja menyiram percikan air kepada Lala hingga Lala merasa kuwalahan untuk melindngi dirinya dari siraman Belin. Akhirnya Lala berdiri dari duduknya dan memilih untuk menjauhi kolam tersebut. Tak kalah jail dari Belin, Papahnya juga menjahili Lala, saat mengetahui Lala akan menjauhi kolam tersebut, pria setengah paruh baya itu segera mendorong Lala hingga terjebur di dalam kolam bersama putrinya, kemudian Belin dan Lala menikmati aktifitas berenanganya bersama Mamah dan Papah Belin.
Dirasa sudah dua jam mereka menikmati berenang bersama. Waktu sudah menjunjukkan pukul 16.00 WIB. Waktunya menjalankan sholat ashar bagi umat muslim. Lala, Belin, serta kedua orang tua Belin mengajak untuk segera mengakhiri aktifitas berenangnya.
Ada banyak kamar mandi dirumah Belin, mereka berempat tak perlu mengantri agar dapat memandikan tubuhnya di waktu yang bersamaan. Karena usai menjalankan sholat ashar orang tua Belin akan pergi untuk menghadiri pengajian rutinan di masjid yang dekat dengan rumahnya.
Belin dan Lala berada di kamar Belin, mereka berdua terlihat sangat segar usai memandikan tubuhnya.
“Bel, terimakasih banyak ya atas tumpangan selama dua hari ini. Maaf kalau aku merepotkan keluarga kamu.” ucap Lala sambil melihat Belin yang sedang menyisir rambut panjangnya.
“Hssstttttsts kamu ngomong apa sih! Jangan bilang kayak gitu lagi, kalau enggak, aku dan orang tua aku akan marah sama kamu. Kita semua menganggap kamu seperti keluarga sendiri.” Celoteh Belin.
“Habis ini aku mau pamit pulang, Bel. Aku sudah memikirkan matang-matang tentang keputusan aku ini. Dan nasehat yang sudah diberikan Papah kamu itu sangat menyejukkan hati aku, aku jadi lebih semangat, aku udah nggak takut lagi sama Tante Susi. Kabur dari rumah itu termasuk hal yang bodoh untuk menyelesaikan masalah. Bodoh banget aku, payah.” Lala terlihat sangat semangat untuk melanjutkan visi dan misinya.
“Nah, gitu dong. Ini baru Lala yang aku kenal, kamu itu perempuan pemberani, iya kaget aja tiba-tiba lihat kamu mewek waktu itu. Lagian aku udah bilang, kalau ada masalah itu ceritain saja jangan dipendam sendiri. Ingat ya, kamu jangan kabur dari rumah lagi. Untung aja kamu nggak diculik sama orang jahat.” Celoteh Belin sambil menggoda Lala.
Akhirnya sedikit demi sedikit beban berat yang dirasa oleh Lala semakin berkurang. Ia mulai mengemasi beberapa pakaian dan barang kebutuhan pribadinya yang ia bawa sebelumnya. Tak lupa, ia juga menata semua barang pemberian orang tua Belin dan sebagian ia masukkan ke dalam tas ranselnya. Tas ransel Lala memang cukup besar, sehingga hampir semua benda dari orang tua Belin dapat mengisi ruang kosong tas tersebut.
“Bel, Papah sama Mamah kamu kan sudah berangkat ke acara pengajian, aku nanti titip salam ya buat mereka berdua, dan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya karena sudah memberikan sesuatu yang tak ternilai.” Ucap Lala saat akan meninggalkan rumah Belin.
“Siap bosque. Nanti aku sampaikan ke Papah dan Mamah. Dan kamu juga jangan kapok buat nginap disini, okay!” sahut Belin dengan semangat.
“Baik, kalau kamu sudah siap, aku akan mengantar kamu pulang sampai rumah. Karena aku nggak mau melihat kamu kayak kemarin.” Belin kembali mengomel.
“Hehe iya-iya, maklum juga kali, namanya juga lagi stres. Jadi malu kalau ingat kejadian malam itu.” Ucap Lala meringis.
Mereka berdua sempat bercanda tawa bersama. Kemudian Belin memanggil sopir pribadinya untuk menyiapkan mobil dan mengantar sahabatnya hingga sampai tujuan.