BAB 15

2030 Kata
| 15 Lala melamun saat berada di dalam kelas, mengingat bahwa salah satu benda berharga miliknya harus rusak total akibat ulah Susi malam itu. Ia tak memiliki tabungan yang cukup untuk membeli sebuah ponsel baru. Jangankan untuk membeli ponsel android yang senilai jutaan rupiah, totebag rusak yang ia gunakan sekolah dengan harga seratus ribuan pun ia belum bisa menggantinya yang baru. Tak tahu harus mencurahkan isi hatinya kepada siapa selain kepada Zat Maha Tunggal, yang jelas selama ini ia selalu memendam rasa sakit yang ia rasakan sejak kecil sendirian. Ia belum pernah berbagi cerita tentang kehidupannya kepada siapapun, termasuk sahabatnya sendiri, selama ini Lala mampu menggunakan topeng kebahagiaan dihadapan sahabat dan teman-temannya dengan baik. Namun pepatah mengatakan bahwa, sepandai - pandainya menyimpan bunga bangkai, suatu saat akan tercium juga. “Hay, lagi ngapain kamu? Kok sendirian aja dipojok?” tanya Belin saat ia menghampiri Lala yang sedang duduk seorang diri. “Nggak ngapa-ngapain kok, Bel. Aku lagi pengen sendiri dulu sambil menikmati masa akhir sekolah ini.” Ucap Lala dengan senyuman yang polos. Belin langsung memeluk Lala dari belakang. “Meskipun kita nanti udah lulus sekolah, aku nggak mau kehilangan sahabat seperti kamu, La...” ucap Belin. Saat mendengar ucapan Belin barusan, Lala merasa bahwa ia sedang tidak sendirian. Dia berfikir ternyata masih ada orang yang menghargai keberadaannya. Masih ada Belin yang selalu setia terhadapnya. “Aku juga nggak mau hubungan persahabatan kita ikut berakhir sampai disini, Bel. Meskipun sudah lulus, kita harus tetap menjaga hubungan ini. Walaupun nantinya jarak yang akan memisahkan, biarlah ajal yang menentukan.” Ucapan Lala terdengar sangat berat, ia menahan air matanya ketika dihadapan Belin. “Jangan bilang ajal gitu dong La, pamali tau! Pokoknya kita nggak boleh terpisahkan, dan tetap jadilah Lala yang aku kenal. Biar nanti kalo kita udah sama-sama punya anak, kita bisa jodohin deh anak kita, xixixixi...” ucap Belin sambil ngelawak. “Hmm tuh kan, belum lulus udah ngomongin anak, kamu udah kebelet yak?” canda Lala sambil mengusap satu tetep air matanya dengan cepat agar tidak terlihat oleh Belin. “Ih, ya belumlah, tapi kan manusiawi La.” Ucap Belin sambil duduk disamping Lala. “Tuh kan alesan mulu, iya aku doain deh semoga kamu mendapat imam yang baik aminnn, dan jangan lupa bilang kalo mau nikah!” goda Lala sambil menampol paha Belin. “Aw sakit tau, iya-iya kamu adalah orang kedua setelah orang tuaku, yang bakalan tau tentang calon dan pernikahan aku.” Ucap Belin sambil mengedipkan salah satu matanya. ~Clek~ Tiba-tiba wali kelas membuka pintu dan memasuki ruangan. Beberapa anak dibuat kaget dengan kedatangan guru tersebut, salah satunya yaitu Lala dan Belin. Entah apa yang ingin disampaikan oleh wali kelas tersebut, karena sebelumnya tidak memberi himbauan terlebih dahulu. Hal tersebut menimbulkan rasa penasaran bagi para murid yang berada di dalam kelas tersebut. “Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh, selamat siang, mohon maaf sudah menggangu jam istirahat kalian.” Sapa wali kelas. “Waalaikumsalam warrahmatullahi wabarakatuh, selamat siang juga, Pak...” balas murid serentak. “Mumpung kalian semua belum bubar meninggalkan kelas. Kedatangan saya kesini yaitu untuk menyampaikan terkait dengan biaya administrasi sekolah. Silahkan siapkan buku catatan untuk menulis apa saja rincian pembayarannya.” Perintah wali kelas tersebut. Kemudian para siswa menyiapkan catatan khusus sesuai dengan perintah wali kelas, namun tidak semua siswa mencatat pada buku, sebagian siswa mencatatnya pada ponsel kemudian langsung menyampaikan himbauan tersebut kepada orang tua atau wali muridnya. Wali kelas menyebutkan nama siswa satu persatu dan siswa yang namanya telah dipanggil langsung bergegas menuju ke meja guru untuk merinci administrasinya, karena setiap siswa memiliki tanggungan biaya administrasi yang berbeda-beda. Kondisi ekonomi salah satu penyebabnya. Usai memberi himbauan kepada anak didiknya, wali kelas tersebut langsung meninggalkan kelas karena harus menyelesaikan tugas selanjutnya. “Bayar lagi, Guys... eh, kalian udah ada yang lunas ya?” ucap Belin kepada teman-temannya. “Yaiyalah, kalo mau pintar itu harus modal.” Lanjut Belin. “Iya, waktu daftar ulang kemarin Ibuku yang melunasi semua administrasinya.” Sahut teman yang duduknya di dekat Belin dan Lala. “Uhh keren, kalo aku tinggal bayar bimbel aja, lainnya udah dibayar sama Papah bulan lalu.” Ucap Belin. Lala hanya terdiam saat mengetahui jumlah tanggungan administrasinya, namun ia tetap menunjukkan sikap terbaiknya kepada teman-teman disekelilingnya. Dalam lubuk hati Lala yang paling dalam sangat ingin berontak, ingin protes tetapi protes kepada siapa? Sungguh kejam sekali bukan, jika jatah anak yatim piyatu untuk biaya sekolah sering dirampas oleh Susi, dan hanya disisakan beberapa saja untuk Lala. Sudah dapat dipastikan bahwa uang yang ia miliki sangatlah jauh dari kata cukup untuk melunasi semua administrasinya. Pengalaman tahun lalu, Lala hingga mencari alternatif menyimpan tabungannya di dalam toples bekas makanan agar biaya untuk sekolah dan keperluannya tidak dirampas oleh Susi. Namun ditahun ini, sebelum Lala meyimpan uang bantuan dari yayasan dan pemerintah, Susi sudah merampasnya terlebih dahulu dan hanya menyisakan seratus ribu rupiah untuk Lala. “Semoga aku bisa melunasi semua administrasi sekolah sebelun ujian kelulusan dimulai.” Batin Lala. Melihat sahabatnya yang sedang gelisah, Belin segera menghampirinya untuk memastikan keadaannya. Belin sangat tulus dan peduli kepada Lala, begitu pula sebaliknya. Ikatan yang terjalin antara mereka berdua bukanlah seperti ikatan persahabatan, melainkan seperti saudara sendiri. Belin menggangap Lala seperti Kakak kandungnya sendiri dan Lala juga menggangap Belin sebagai Adiknya sendiri. “Hay, lagi ngapain kok udah ngelamun gini? Ehem, pasti sedang mikirin si cogan William, hari ini dia nggak masuk sekolah kan, karena sakit. Ntar pulang sekolah ayuk kita sempetin jenguk sebentar, biar dia cepet sembuh kalo ketemu kamu.” Belin mencoba menghibur Lala. Lala tersenyu sambil memandang pekat wajah Belin. “Tau aja kalo aku sedang mikirin William.” Jawab Lala datar. “Waakakakak tuh kan, dugaan aku bener! Udah mulai jatuh cinta ni ye...” canda Belin. “Apaan sih, siapa juga yang mikirin William?” Lala sambil melirik Belin dengan lirikan yang tidak mengenakkan. “Awas copot tuh bola mata.” Goda Belin sambil menyibak rambut Lala yang terurai. Namun sayangnya candaan dan godaan Belin sama sekali tak membuat Lala empati terhadapnya. Sehingga Belin mulai curiga kepada Lala. Ia berfikir bahwa ada suatu hal yang telah disembunyikan oleh Lala. “Sini-sini curhat ke aku, sebenarnya kamu sedang mikirin apa? Kondisi kamu baik-baik aja kan? Atau kamu sedang sakit?” tanya Belin saat ia duduk dan mendekati Lala. “Ngak apa-apa kok, Bel.” Jawab Lala dengan sesekali melirik Belin. “Kok agak beda dari biasanya? La, kita itu temenan udah berapa lama? Dari sejak kapan?” tanya Belin. “Udah lama, dari kelas tiga SMP.” Jawab Lala singkat. “Nah, meskipun aku bukan peramal tapi aku cukup tahu loh semua gerak gerik kamu! Jangan kamu tutup-tutupin, kalau ada masalah kamu cerita aja, aku itu seneng kalo kita sama-sama terbuka dalam hal apapun, jangan kamu pendam sendiri masalah yang sedang kamu hadapi.. saran aku sih gitu, dan aku nggak akan maksa kamu untuk cerita saat ini juga, intinya kamu bisa kapan pun saat kamu ingin cerita. Aku selalu ada buat kamu, La, kamu nggak sendirian disini.” Belin menepuk pundak Lala kemudian meninggalkan Lala duduk diujung sudut kelas sendirian. Belin sangat memahami kondisi sahabatnya, dengan cara meninggalkannya sendiri untuk sementara waktu adalah keputusan yang baik. Karena untuk memberi kesempatan Lala dalam menyesuaikan diri terhadap masalahnya. Syukur kalau Lala kuat dalam menghadapi dan menyelesaikan masalahnya sendiri. Lala memang pandai menyembunyikan masalah dengan baik, namun sepaindai-pandainya Lala dalam mengelabuhi orang yang ada disekitar, hal tersebut tak akan mampu mengelabuhi Belin terhadapnya. “Ya Allah beri hamba kekuatan lahir dan batin, dalam menghadapi ujian-Mu.” Batin Lala. ~Kringgg~ Lonceng besi sudah dibunyikan sebanyak tiga kali, pertanda jam sekolah sudah berakhir. Semua siswa segera membereskan peralatan tulisnya dan mempersiapkan diri untuk berpulang kerumah masing-masing. “Sampai ketemu besok ya, La... kamu ingat baik-baik ucapan aku tadi, kamu itu nggak sendirian! Ada aku disisni.” Pamit Belin saat mereka akan berpisah pulang kerumah masing-masing. “Iya, Bel.” Ucap Lala singkat. Kemudian mereka berdua sama-sama menggayuh sepeda pancalnya dan berpisah. Saat di tengah perjalanan Belin khawatir dengan kondisi Lala yang tiba-tiba berubah. Belin takut apabila Lala melamun ketika menggayuh sepeda pancalnya dijalanan. “Perasaan aku kok nggak enak gini ya sama Lala? Semoga aja Lala nggak kenapa-kenapa, Lindungi sahabat hamba ya Allah.” Ucap Belin pelan. *** “Assalamualaikum.” Salam Lala ketika sampai dirumah. “Waalaikumsalam.” Jawab Susi dengan judes. Lala melepas sepatu dan menaruhnya ke dalam rak yang tersusun rapi. Kemudian ia mencuci tangan dan kakinya lalu memasuki rumah. “Habis ini buatin tante dalgona coffe ya, La!” perintah Susi. “Baik, Tante.” Jawab Lala dengan sabar. Lala berjalan menaiki tangga menuju kamarnya, sesampai kamar ia membuka lemari untuk mengambil pakaian rumahan dan menaruh totebagnya diatas kursi kamarnya. Lala bergergas pergi ke kamar mandi untuk membersihkan badannya. Karena setelah ini masih ada aktifitas lain yang sudah antri untuk ia kerjakan, seperti memasak untuk makan malam, mencuci pakaian hingga menjemurnya, dan belajar materi sekolah untuk keesokan harinya. Hampir setiap hari tidak ada waktu bersantai untuk Lala, kecuali saat Susi pergi ke luar kota selama beberapa hari. Usai membersihkan badannya dan mengenakan pakaian santai rumahan, Lala bergegas pergi ke dapur untuk menyiapkan makan malam serta menuruti permintaan Susi, yaitu membuat dalgona coffe. Lala menyiapkan bahan dan bumbu yang sudah tersedia didapur. Kali ini Lala akan memasak ayam geprek dan sambal terong goreng favoritnya. Lala sangat menyukai makanan yang pedas. Menurutnya, makanan dengan cita rasa pedas dapat meningkatkan semangat dan menjadikan tubuhnya lebih berenergi lagi. Alhamdulillah perutnya sangat bersahabat dengan makanan yang pedas, sehingga ia tak perlu mengkhawatirkan fisiknya lagi. Setelah masakannya sudah matang, ia menata masakan tersebut dimeja makan. Dan segera mengantarkan dalgona coffe pesanan Susi ke kamarnya. ~Tok tok tok~ “Tante, ini dalgona coffenya sudah jadi dan aku bawakan ke kamar.” Ucap Lala usai mengetuk pintu kamar Susi. “Kamu taruh saja dimeja makan, habis ini tante kesana sekalian makan malam.” Sahut Susi dengan keras. “Baik, Tante.” Lala kembali menuju meja makan untuk menaruh minuman tersebut. “Tinggal bukain pintu aja apa susahnya sih?” batin Lala. Lala merasa kesal terhadap perlakuan Susi yang setiap hari tak kunjung berubah. “Mending makan duluan aja deh, habis ini mau ngerjakan tugas Seni Budaya.” Ucap Lala pelan. Tak lama kemudian Susi datang dan ikut menyantap masakan yang sudah dihidangkan oleh Lala. “Masak apa kamu malam ini?” tanya Susi. “Masak ayam geprek sama sambal terong goreng, Tante.” Jawab Lala. “Oh, pantesan tadi aroma pedasnya sampai ke kamar.” Sahut Susi. “Ambilkan tante terong gorengnya dua sama ayam gepreknya satu.” Perintah Susi. Tanpa memberi jawaban apapun, Lala segera mengambilkan Susi hidangan sesuai permintaannya. “Ini, Tante.” Lala memberikan satu porsi makanan. Susi meyantap masakan Lala dengan lahap. Diam-diam Lala memperhatikan Susi saat makan. Ia sambil memikirkan saat yang tepat untuk menyampaikan pesan dari wali kelas yang terkait dengan biaya administrasi sekolah yang harus segera dilunasi sebelum ujian kelulusan. Setelah ia berfikir dan mempertimbangkan dengan matang-matang, akhirnya Lala memberanikan diri untuk berbicara kepada Susi tentang biaya tersebut. “Tante, Lala boleh menyampaikan sesuatu nggak?” ucap Lala pelan. “Sesuatu apa?” balas Susi dengan cepat. “E... anu...” Lala tiba-tiba gerogi untuk menyampaikan hal tersebut. “Ngomong tuh yang bener jangan anu-anu aja.” Sahut Susi usai menyuapkan makana pada mulutnya. “E.. itu, Tante, terkait soal pembayaran sekolah Lala. Kata wali kelas tadi, sebelum ujian kelulusan semua biaya administrasi harus sudah lunas. Dan jumlah biaya administrasi Lala yang harus dibayar adalah dua juta enam ratus tibu rupiah, Tante.” Lala menjelaskan dengan pelan. “Oh.. itu aja?” sahut Susi. “Iya, Tante, Lala hanya ingin menyampaikan itu saja.” Ucap Lala. Susi masih melahap makanan tersebut dengan nikmat, kemudian ia menyeruput dalgona coffe buatan Lala usai menghabiskan makananannya. “Eh, asal kamu tahu ya, kamu kira tante ini mesin ATM apa? Yang bisa keluarin uang semau kamu? Camkan baik-baik ya, entah kamu sekolah atau enggak, kamu lulus atau enggak, itu bukan urusan saya! Toh kamu juga bukan anak saya, ngapain harus urusin biaya sekolah kamu. Enak aja tinggal minta-minta.” Susi berdiri dari duduknya. “Tapikan jatah dari beberapa yayasan untuk biaya sekolah Lala ada pada Tante, kalau waktu itu uangnya nggak Tante minta, Lala nggak bakalan minta ke Tante kok.” Sahut Lala dengan lantang. “Kamu mulai berani melawan tante ya!” Susi menampar Lala. “Dengerin baik-baik, saya tidak akan mengeluarkan uang sepeserpun untuk biaya kamu, ngerti!” Susi meninggalkan Lala dan berjalan menuju kamarnya. Lala terdiam seketika, mata indahnya memerah, pipinya sedikit demi sedikit mulai dibasahi oleh tetesan air matanya. “Ini sudah benar-benar kelewatan, Tante.” Ucap Lala sambil menyentuh pipi yang terkena tamparan Susi. “Tante tega menghabiskan uang hak seorang anak yatim piyatu, Lala tidak akan membalas keburukan Tante, asal Tante tahu aja bahwa karma itu nyata. Usai kelulusan Lala akan pergi jauh dari sini.” Lala menangis dan mengucapkan janji tersebut pada dirinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN