Twelve

1527 Kata
Untuk pertama kalinya Prily ingin menghilang dari dunia ini. Ah, tidak semenjak bertemu dengan Pradipta entah mengapa ia ingin sekali tiba-tiba hilang dari hadapan pria itu dan berpindah ke tempat lain.  Gadis itu menggeleng-gelengkan kepalanya sambil memikirkan betapa memalukannya dirinya karena mengatakan hal itu pada Pradipta. Pasti lelaki itu beranggapan bahwa ia adalah w************n yang begitu menjujung tinggi cinta. "Bodoh—-AAAA!" Tinn! Tinnn! "Sialan lo mau ngelindas gue ya, Biya!" seru Prily ketika ia hampir saja ditabrak oleh Abiya. Wanita yang kini berada di atas motor, lengkap dengan mantel hujan itu membuka kaca helmnya. "Udah balik lo? Baru mau gue jemput," katanya sambil mengerutkan dahi saat melihat wajah Prily yang nampak aneh. Abiya kemudian memutar motornya agar kembali menuju kostan mereka. Jarak dari jalan utama hingga kostan mereka memang cukup jauh.  "Yaudah gue balik lagi," sahut Abiya kemudian menjalankan motornya dan meninggalkan Prily yang melongo. "BIYA SIALAN!" teriak Prily membahana. "Hei. Siapa ribut-ribut itu!" sahut suara dari sebuah rumah di dekat sana membuat Prily membulatkan matanya. "Meongg... meong. Aku kucing, meong..."  Prily kemudian berlari sebelum pemilik rumah itu keluar. Jika nanti mereka diusir karena membuat keributan, salahkan saja Biya. Gadis itu kemudian masuk ke dalam rumahnya dengan lemas. Biya yang baru saja merapikan mantel menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah Prily. "Bi, kita enggak punya shower ya?" tanya Prily. "Enggak ada." "Hiks— padahal gue mau nangis dibawah shower gitu," ujarnya. "Harga diri gue udah enggak ada Bi." Gadis itu merosotkan tubuhnya ke dinding rumah dan tergeletak. "Pake gayung aja gih buruan atau enggak lho nunggu dipancuran atap, bentar lagi hujan." "Gimana masa depan gue, Bi? Mana gue masih muda." "Kenapa, sih? Lo diunboxing?" tanya Biya sambil berkacak pinggang.  "Enggak, masih sempit kok gue," jawabnya. "Gue—gue tadi ditolak sama Pradipta, terus gue bilang kalo gue suka sama dia dan enggak akan nyerah." "Lo malu kenapa? Enggak ada yang salah dari seorang gadis single mengatakan cinta sama seseorang yang single, kecuali lo itu isteri orang terus si lakinya punya bini," jelas Abiya bijak. "Eh, tunggu masih pw kan?" tanyanya lagi. "Masihlah sialan lo!" umpat Prily kesal. Sedetik kemudian ia terdiam karena otaknya berhasil mencerna perkataan Abiya. "Bener juga ya, Bi." Prily mengangguk. "Gue enggak akan nyerah buat dapatin Mister Palu!" serunya bersemangat. Dia kemudian mengepalkan kedua tangannya. Karena bagi Prily, Pradipta tak lebih seperti palu pengadilan yang keputusannya tak bisa diganggu gugat.  Namun, tentu ia tak akan semudah itu menyerah. Demi menjadi nyonya Nugraha dan Ibu tiri yang kejam untuk Pricilia. HAHAHA. "Mister Palu? Apaan tuh." "Panggilan sayang gue. Dia itu kayaknya tipe-tipe posesif dan maksa gue gitu, Bi. Nanti kalo gue disuruh milih namatin kuliah atau nikah, gimana, Bi? Gue bingung." Prily menggigit bibirnya seperti tengah berpikir. "Gimana ya? Menurut lo, Bi?" “Terus kira-kira nanti tema pernikahan kami apa ya?” Abiya yang mendengar perkataan Prily tak bisa berkedip. Padahal gadis itu yang tadi mengatakan bahwa ia baru saja ditolak oleh Pradipta dan sekarang sudah pusing memikirkan menikah atau menamatkan sarjana. "Emang lo cocok sama dia?" tanya Abiya yang tak memusingkannya. Terhitung, sudah berapa kali ia mendengar Prily seperti ini. Namun untuk pertama kalinya ia mendengae gadis itu mengungkapkan perasaannya. Tapi, ia bertaruh paling rasa itu hanya bertahan tak sampai sebulan. "Cocok!" Prily mengangguk. "Menurut gue," sambungnya. "Dia ke lo?" tanyanya. "Dia enggak bisa move-on sama mendiang isterinya, Bi," ujarnya mengingat betapa cintanya Pradipta pada isterinya. Terbukti lelaki itu tersinggung ketika ia membasah hal itu. "Saingan lo bukan manusia yang masih hidup, Pril. Lebih berat. Kayaknya Pradipta benar-benar cinta sama isterinya. Tapi, jangan lupain ada yang namanya keajaiban di dunia ini. Good luck!" saran Abiya. "Gue ke sebalah bentar, ngambil Kenzo," ujarnya keluar rumah untuk mengambil anaknya yang dititipkan ke tetangga sebalah karena ingin menjemput Prily. "Good luck, Pril." Prily menyemangati dirinya sendiri. —- "Benar-benar Papa kamu itu!" omel seorang wanita paruh baya yang tengah menggerakan tangannya di sebuah ponsel dengan lancar. "Anaknya sakit, sama sekali enggak peduli. Bukannya nemenin malah hilang entah kemana!" Seorang gadis yang berada disamping wanita paruh baya itu hanya mendengarkan ucapan Omanya dengan tatapn datar. Sedikit terkekeh dengan ucapan wanita itu, memangnya siapa yang semalam baru pulang saat pukul dua belas malam? Oma dan Papanya itu sama saja. Hanya bedanya sang Oma selalu menyalahkan Pradipta. "Kamu tinggal sama aja ya, Pricilia?" tanga Sofia pada cucunya. Ponsel wanita itu sudah diletakannya di saku blazernya. Ah, jangan mengira, Oma dari Pricilia itu mengenakan baju gamis atau semacamnya. Wanita yang sudah berumur lima puluh tahun lebih itu nampak memukai dengan stelan kantornya. "Mau di rumah Papa atau Oma, bukannya aku sendirian juga?" tanya Pricilia. "Tapi, di rumah Oma punya 10 asisten rumah tangga, honey. Oma kesepian lho enggak ada kamu," ujar Sofia. "Kamu kok gendutan ya Oma perhartikan," komentar wanita paruh baya itu. "Lagian kamu kenapa sekolah, sih? Bukannya masih sakit." "Udah mendingan, Oma," jawab Cia cepat saat mobil yang dikendarai supir Omanya hampir mendekati sekolahnya. "Oma aku turun disini aja. Pak berhenti," perintahnya pada sang sopir. Sofia itu memandang ke arah luar jendala, tekejut karena ini masih 100 meter lebih dari sekolah cucunya. "Ini kejauhan honey!" "Di depan pasti ramai Oma. Mending mutar disini aja, aku pergi dulu Oma. Bye!" Gadis itu kemudian membuka pintu mobil Sofia dan sedikit berlari saat sudah berada di trotoar. Pricilia akhirnya bisa bernafas lega ketika sudah tak bersama sang Oma. Sofia sebenarnya sangat baik. Namun, sikap wanita itu yang sewaktu-waktu mengabaikannya dan di waktu lain begitu memperhatikannya membuat ia sedikit tak nyaman. Gadis itu kemudian melirik jam tangannya, masih tiga puluh menit lagi pintu gerbang akan ditutup. Jadi ia bisa berjalan dengan sedikit santai. Cia mengambil ponsel dalam sakunya ketika merasakan benda itu begetar. Mata Pricilia membulat ketika melihat notif serta sederet panggilan dari Gendis. Ia dengan cepat membuka pesan gadis itu dan melihat jam di ponselnya. Sial! Ternyata waktunya tersisa hanya sepuluh menit lagi. Ternyata jam tangannya itu tidak akur. Gadis itu menggelengkan kepalanya ketika membayangkan bahwa untuk pertama kalinya ia akan terlambat. Selama dia bersekolah, Pricilia sama sekali tak pernah telat. Dan, sekarang ia akan telat?! Pricilia akhirnya memutuskan untuk berlari, tidak tahu apakah ia bisa sampai tepat waktu namun ini hanya salah satu caranya. Saking paniknya akan terlambat, Pricilia tak menyadari ada sebuah motor yang keluar dari gang yang ia lewati. Gadis itu berteriak ketika motor itu berhasil berhenti tepat di depannya. Jantung Pricilia rasanya berhenti berdetak ketika sedikit lagi ia hampir saja celaka. "Aduh, neng maafin saya sama anak saya ya. Duh, Kaka cepatan minta maaf!" seru seorang wanita paruh baya sambil turun dari motornya. Lalu disusul dengan anak laki-lakinya yang sedikit menundukan kepalanya. "Maaf ya." Pricilia membulatkan matanya ketika melihat siapa lelaki itu. Astaga, Kaka!  "Owalah, neng Cia!" seru ibu dari Kaka membuat Pricilia tersadar setelah manik matanya tak lepas dari sang anak. "Ada yang luka, Neng?" Pricilia tersenyum sambil menggeleng. "Enggak apa-apa kok, Buk. Saya juga yang salah." "Kaka kenal kan sama Neng Cia? Yang waktu ngantar bekal kamu itu," cerita wanita paruh baya itu. Pricilia jadi teringat ketika ia tak sengaja menjatuhkan makanan itu. "Ah, maa—" "Makasih ya, Neng. Bekalnya habis dimakanin anak saya." Pricilia mengerutkan dahinya, tatapanya beralih ke arah Kaka yang menatapnya sambil tersenyum kecil. Lelaki itu menggaruk kepalanya tak gatal, seperti salah tingkah. "Eh, astaga! Malah ngobrol, ayo buruan Neng Pricilia sama Kaka ke sekolah. Bentar lagi Bel ini!" seru ibu Kaka sambil menarik tanga Pricilia. Mungkin jika itu orang lain, maka gadia itu akan menepisnya. Ck, sangat tidak sopan menyentuh tangan orang lain. Namun, karena yang memegangnya kali ini adalah calon mertua, maka dengan segenap hati Pricilia ikhlas. "Tapi, Ibu gimana?" tanya Kaka polos membuat Ibunya tergelak.  "Ibu jalan aja, udah dekat kok. Buruaan sana!" seru ibunya membuat Kaka mengangguk. Pricilia kemudian duduk dibelakang lelaki itu, tangannya bingung ingin memegang atau tidak pinggang Kaka. Tak pernah sedikit pun terpikirkan olehnya akan bertemu dengan lelaki yang membuatnya jatuh cinta seperti ini. Dan, masalah bekal, Pricilia yakin bahwa lelaki ini berbohong pada ibunya tentang bekal yang jatuh itu. Kenapa? Apa Kaka tidak ingin ia dimarahi oleh ibunya? Apa lelaki itu sudah jatuh cinta dengannya? "Eum, kamu boleh turun?" Motor itu berhenti di dekar gerbang membuat Pricilia mengerutkan dahinya. Kenapa ia harus turun di depan gerbang? Apa karena lelaki itu malu membawanya? Astaga, kenapa sakit seperti ini. "Kamu masuk aja dulu, aku mau jemput ibu lagi," jelasnya membuat bola mata gadis itu mengerjap. "Tapi gerbangnya bentar lagi tutup," kata Pricilia. Lagi pula ibunya tadi sudah mengatakan ingin berjalan saja. "Ibu ngomongnya aja gitu tapi pasti sekarang udah kecapekan." Lelaki itu tersenyum kecil kemudian mengangguk dan melajukan motornya. "Cia! Ciaaa!" Pricilia tersadar ketika Gendis menepuk bahunya, ia kembali melihat ke arah sekitarnya. Kaka benar-benar pergi, padahal lelaki itu bisa telat. "Ayo masuk!" ajak Gendis. Pricilia menggeleng. Jika Kaka terlambat dan dihukum, maka ia juga harus seperti itu. Tidak adil untuk Kaka. Ia sudah menghitung jarak dari tempat mereka bertemu tadi ke sekolah sekitar tiga menit. Namun kenapa sudah sepuluh menit belum juga datang? "Hei yang disana ayo masuk!" seorang satpam yang nampak mengerikan menggiring mereka untuk masuk membuat Pricilia pasrah masuk ke dalam sekolah. Kepalanya menoleh ke belakang beberapa kali dan berharap lelaki itu segera sampai. Namun, lelaki itu tidak kunjung datang. Ada apa sebenarnya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN