Thirteen

1482 Kata
"Ci, mau makan apa?" Pricilia yang tengah mencatat menolehkan kepalanya ke arah Gendis yang tersenyum lebar ke arahnya dengan mata mengedip-ngedip. Gadis yang diganggu tadi menghela nafad, melirik ke arah jam yang berada di atas papan tulis, kemudian mendengus. "Istirahat masih dua puluh menit lagi, Gendis,” ujar Pricilia kembali mengalihkan fokusnya pada buku. Gadis yang menjadi teman sebangku Pricilia itu terkekeh. "Tapi, kan gurunya udah keluar. Kita disuruh tunggu sampe jam keluar main." "Lagian lo ngapain, sih? Baca apa? Mau dong ikut baca. Siapa tahu gue ikut pinter." Gendis mengambil sebuah buku cetak yang tadi sedang dikerjakan Pricilia. Namun, baru lima detik, ia kembali meletakan buku itu sambil menggeleng dan menghela nafas. "Tambah lapar gue lihat buku matematika, kelas tiga lagi." Lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. Pricilia yang melihatnya terkekeh, buku ini tak sengaja ia pinjam di perpustakaan saat sebelum bel. Hal itu ia lakukan untuk  menghalau otaknya yang terus memikirkan tentang Kaka.  Entah bagaimana nasib pria itu, Pricilia sangat mencemaskannya. Apakah pria itu baik-baik saja? Apakah dia berhasil sampai di sekolah tepat waktu? "Udah bel, Yuk makan?!" ajak Gendis sambil menarik tangan Pricilia, membuat lamunan gadis itu buyar karana hasrat lapar dari temannya. "Bentar, beresin buku dulu.” Pricilia tidak suka mejanya berantakan. Berbanding terbalik dengan meja Gendis yang dipenuhi buku, berserakan pula. "Gue nanti pengen makan batagor, deh, Ci. Esnya enak apa ya? Es rumput laut atau es buah?" tanyanya membuat Pricilia menggeleng-geleng. "Eh, Oceana, mau ke kantin? Yuk barengan!" Pricilia memelotokan matanya ketika mendengar seruan Gendis. Astaga, apa gadis itu masih tak paham bahwa dia sangat tak suka pada Oceana. Ingatkan Cia untuk berbicara empat mata tentang ini pada Gendis nanti. Oceana yang melihat ada Pricilia disamping Gendis ragu untuk ikut. Pasalnya gadis dengan rambut lurus itu menatapnya tajam. Benar-benar menujukan tidak sukaannya. "Ayoo!" ajak Gendis memegang lengan Oceana. Jadilah gadis hitam manis itu memeluk lengan keduanya. Saat menuju kantin, ketiga wanita itu menjadi pusat perhatian karena mereka seperti tiga bidadari yang turun dari langit. Oceana dengan senyum ramahnya, Gendis yang selalu terbahak dan Pricilia yang tak melepaskan raut wajah "enyalah kalian sialan!" pada siapa pun yang menghadang jalannya. Namun, nampaknya tak ada yang bisa mengalahkan popularitas seorang Pricilia. Nama gadis berambut panjang itu tak henti disebut sepanjang jalan oleh siswa-siswi lain. "Mereka pada ngomongin Pricilia sama Oceana terus, gue enggak," sahut Gendis cemberut. "Fans kamu juga banyak lho, Ndis," kata Oceana. "Mereka pada takut ngelihat lo yang lapar kayak beruang habis hibernasi," celetuk Pricilia tanpa rasa bersalah. "Gue mangsa lo deluan ya, Cil!" seru Gendis pura-pura menggigit lengan Pricilia. Ketiganya kemudian duduk di salah satu meja yang kosong. Gendis kemudian berdiri sambil menatap ke arah Pricilia dan Oceana. "Kalian mau apa, biar gue yang beliin." "Es teh sama bak—" "Kaki lo masih bisa jalan kan? Mulut lo masih bisa ngomong? Kenapa enggak beli sendiri," sahut Pricilia memotong perkataan Oceana yang hendak menyebutkan pesanannya pada Gendis. "Gendis bukan babu jadi beli sendiri," ujarnya pedas lalu bangkit dari meja untuk membeli makanan. Oceana yang mendengar itu tersenyum tak enakan. "Maafin aku ya, ndis. Aku enggak bermaksud jadiin kamu pelayan.” "Eh, enggak kok.” Gendis menggeleng menjadi ikut tak enakan, ia ikhlas menawarkan bantuan pada Pricilia dan Oceana. Namun gadis itu tak menyangka bahwa Cia akan berkata seperti itu. “Kan gue sendiri yang mau beliin." "Aku beli sendiri aja ya." Mereka kemudian pergi untuk membeli makanan masing-masing. Oceana dan Gendis telah mendapat makanan mereka dan sudah duduk di meja yang tadi. "Ini Pricilia mana, sih? Lapar tahu!" sunggut Gendis menahan tangannya untuk tidak segera memangsa makanannya. "Kenapa enggak makan deluan aja, Ndis?" tanya Oceana heran, padahal gadis itu sudah sangat kelaparan namun tetap menahan untuk tidak makan terlebih dahulu sebelum Pricilia duduk disini. "Kalo Cia belum duduk disini, belum tenang gue," sahutnya masih melihat-lihat ke arah stand kantin. "Ciaaa cepetan!" seru Gendis ketika melihat Pricilia keluar dari kerumunan stand nasi uduk. Bertepatan dengan itu, Oceana memanggil seseorang laki-laki yang tengah membawa makanannya. "Ka! Duduk sini aja!" seru gadis itu sambil melambaikan tangannya. Pricilia terdiam ketika melihat Kaka berada tak jauh darinya, lelaki itu mengangguk kemudian berjalan menuju meja yang sudah ditempati Oceana dan Gendis. Lelaki itu duduk tepat di samping Oceana. Sialan! "Oh, iya. Kaka udah kenal Pricilia belum? Udah dong, artis jebolan sekolah ini!" seru Gendis sambil terkekeh besar. "Kalo gue kenalin, Managernya." Gadis itu berlaga menjulurkan tangannya pada Kaka membuatnya semuanya terkekeh. Kecuali Prily yang panas dingin. "Pricilia." "Kaka." "Kalo di lihat-lihat kalian cocok ya?” celetuk Gendis. "Uhuk! Uhuk!" Demi apapun, Gendis lo sangat luar biasa melihat masa depan. Batin Pricilia. Pricilia terbatuk karena ucapan Gendis yang sangat bagus. Ia kemudian melihat ke arah Kaka yang sama sekali tidak bereaksi. Apa? Apa lelaki itu tak suka padanya? "Kamu enggak bawa bekal, Ka?" Lelaki itu menggeleng. "Aku tadi habis nemenin Ibu ke pasar paginya, jadi enggak sempat bikin bekal." "Yahh. Padahal aku pengen banget nyobain sambel buatan ibu kamu. Kangen..." "Woah, iya. Gue kangen banget sama sambel buatan Ibu huhuu jadi tambah lapar,” tambah Gendis bersemangat membuat Pricilia menggeleng. Teman sebangkunya itu tak pernah jauh dari makanan. "Main aja ke rumah lagi," ajak Kaka, Lalu tatapan bola lelaki itu beralih ke arah Pricilia. Sontak semua yang ada disana ikut mengalihkan tatapan mereka ke arah gadis yang kini terdiam. "Pricilia mana mau makan sambel sama tahu tempe doang." "Siapa bilang?" seru Pricilia cepat. “G-gue suka kok makannya.” Memang benar, ia tidak akan pernah mau memakannya. Karena demi apapun makanan yang tadi mereka sebut sama sekali tidak lengkap. Tidak lima sehat dan empat sempurna. "Berarti mau? Woah, kita lihat apakah nanti seorang Pricilia menarik perkataaannya!” seru Gendis penasaran. Pricilia mengarahkan tatapanya pada Kaka yang sedang makan. Ck, dari banyak artikel yang ia baca. Lelaki cendrung ingin seorang gadis yang mau diajak susah dan tak gengsian. Jadi agar Kaka suka padanya. Ia harus bisa sedikit mengalah. Gadis itu sedikit bernafas lega, ia sudah melihat keadaan lelaki itu dari atas hingga ke bawah. Tidak ada tanda-tanda terjatuh atau mengalami kecelakaan seperti yang ia pikirkan. Sebenarnya ada sesuatu yang ingin Pricilia sampaikan pada lelaki itu namun ia ingin hanya ada Kaka. "Woah, pada lagi makan bersama nih." Tiba-tiba empat orang laki-laki dengan gaya preman menghampiri meja mereka layaknya seorang gengster sedang memalak, membuat suasana kantin tiba-tiba menjadi hening. Sial, Pricilia ingin memuntahkan makanannya kembali karena melihat tingkah menjijikan mereka. Ternyata masih ada saja orang-orang yang bertingkah sok berkuasa di zaman modern ini. "Mantep nih lagi ngehareem," sahut salah satu anak buah dari lelaki yang berada disana. Gendis yang tahu siapa mereka sedikit takut. Keempat orang itu adalah anak kelas tiga yang sering membuar onar dan ulah. Mereka tak segan-segan untuk melakukan apapun yang mereka mau. "Lagi makan bro?" "Uhuk." Kaka yang awalnya tak memperdulikan tersedak ketika lelaki yang menjadi pemimpin itu menepuk pundaknya kuat. "Main lo sama cewek terus, masih ada enggak burung lo?" Dion, ketua geng itu melemparkan candaan yang hanya membuat tertawa anak buahnya. Wah, entah mengapa sekarang emosi Pricilia ingin meledak hebat ketika melihat apa yang dilakukan lelaki itu pada Kaka.  "Mana cantik-cantik semua lagi," kata Dion memandang tiga gadis itu sambil bersiul, tatapannya kemudian berhenti pada Pricilia yang menatapnya datar. Hanya gadis itu yang berani melihat ke arahanya. "Hai," sapanya pada Pricilia sambil mengedipkan mata kanji. "Sejak kapan sampah bisa ngomong, Ndis,” celetuk Pricilia santai membuat Gendis memelotokan matanya. "Waduh bosss!" seru anak-anak buah Dion menggeleng-geleng, tak terima. Gendis meremas tangan Pricilia dari balik meja, memberi tahu bahwa untuk idak berurusan dengan Dion dan teman-temannya. Namun, Pricilia sudah terlanjur kesal dan tidak peduli. Pertama, Kaka diganggu oleh mereka. Kedua, selera makannya hilang karena mereka. Ketiga. Pricilia ingin marah saja. "Kalian lebih baik pergi atau saya laporkan ke BK," kata Oceana yang merasa bahwa suasana semakin lama semakin tak baik. Dion menegakan kepalnya, menatap ke seisi kantin yang  ramai berbisik-bisik ke arah mereka. Lelaki itu kemudian menatap ke arah Pricilia. "Gue bakal pergi asal cewek itu ngasih minum itu untuk gue,” seringai kecil muncil di bibir lelaki itu sambil menatap Pricilia. "Ini?" tanya Pricilia memegang gelas berisi es jeruknya. Dion mengangguk dengan wajah senangnya. Byurrrr!! "Seger?" tanya Pricilia setelah gelas itu kosong. Dan, tentu saja isinya sudah berpindah ke wajah Dion. "Sialan lo!" Dion mengusap wajahnya kasar, wajahnya mengeras, gadis itu membuatnya menjadi emosi. Lelaki itu hendak menarik Pricilia, memberi wanita itu pelajaran namun tiba-tiba sebuah tangan muncul menghentikannya. "Mau jadi pahlawan lo?!" teriaknya pada Kaka. Bugh! Kaka jatuh tersungkur ketika satu buah bogeman menghantam perutnya. Leaki itu terbatuk-batuk dengan tubuh tergeletak di lantai. Baru saja Dion hendak kembali meninju, tiba-tiba bajunya ditarik ke belakang dan langsung dibanting dengan kuat. Semua yang berada di kantin terkejut ketika mendepati seorang Brian, ketua Osis sekolah mereka berada di kantin. Lelaki yang menjadi idola setiap murid perempuan itu dengan mudahnya menjatuhkan Dion dengan sekali tangan. Brian tiba-tiba melepaskan almamater Osisnya. "Kalo lo mau berantem itu sama cowok bukan cewek." Bugh! "KALIAN SEMUA KE BK!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN