Nine

1832 Kata
Prily memarkirkan motornya di parkiran kontrakan barunya. Yap, setelah Abiya menyetujui bahwa mereka tinggal bersama. Ia langsung mengajak ibu satu anak itu mencari kontrakan yang sesuai dengan kriteria mereka. Dan akhirnya dapatlah kontrakan yang memiliki dua kamar, ruang tamu cukup, dapur serta kamar mandi di dalam. Dan, yang paling penting lingkungan disini sangat aman dan baik. "Kenzoooo...."  "Cuci tangan sama kaki dulu Prilii. Lo dari mana-mana!" Prily yang baru saja hendak merain Kenzo di kereta dorongnya terhenti ketika mendengar omelan Abiya. "Iya Bunda Biyaa," sahut Prily. "Gue capek banget sumpah, tadi malam tidur kemalaman karena beres-beres terus tadi ngajar. Untung wajah gue masih glowing." Mereka memang langsung pindah malam itu juga dengan bantuan menyewa mobil pick-up untuk mengangkat barang-barang mereka. "Lho, kok kamar gue udah bersih? Kan gue bilang biar gue aja." Prily yang baru saja mengganti pakaiannya menjadi daster selutut—hasil endorsed— keluar dari kamarnya yang telah rapi, padahal keadaan tadi pagi masih berantakan karena mereka membereskan ruang tamu dan dapur lebih dulu. "Tadi Kenzo tidurnya lama, jadi gue ada waktu buat bersihin deh. Enggak tahan liat replika kapal pacah di kamar lo." "Makasih Bibi Biya," sahut Prily sambil tersenyum manis. Prily kemudian menuju dapur untuk ke kamar mandi. Perhatiannya yang semula ingin segera mencuci tangan agar bisa bermain dengan Kenzo kemudian teralihkan saat melihat tudung makan yang mengeluarkan aroma yang sangat harum. Ah, ini salah satu alasan yang sangat menguntungannya jika tinggal hersama Abiya. Bunda Kenzo itu sangat pintar memasak.  Akhirnya Prily bisa melambaikan tangannya ke arah bungkusan mie dan telor yang menemaninya selama ini.  Setelah mencuci tangan dengan bersih. Gadis itu langsung mengambil piring dan mengisinya dengan nasi serta lauk yang dibuat Abiya. Lalu membawanya ke depan. Kebiasaan yang tak pernah bisa ia hilangkan. Mengobrol saat makan. "Makan itu di dapur, Pril. Nanti nasinya berserakan," omel Abiya. "Ada endorsed lagi enggak nanti, Bi?" tanya Prily sambil melahap makanannya. Abiya berdecak karena gadis itu mengalihkan pertanyaannya. "Ada, gamis sama sepatu," jawab Abiya. "Cuman dua?" tanya Prily dan dijawab anggukan Abiya. Prily mengunyah nasihnya lebih lama, endors-nya dari hari ke hari mulai menurun. Bukannya ia tidak bersyukur, ia sangat berterima kasih karena masih diberikan rezeki. Namun ia harus segera mengumpulkan biaya untuk semesterannya yang cukup besar. Tabungannya telah habis karena membayar kontrakan ini penuh setahun. "Pril, lo mau enggak datang ke grand opening cafenya Andre?" tanya Abiya. "Andre siapa? Eh, jangan bilang selebgram yang lagi naik daun itu." "Iya, Manejernya ngajak lo untuk ke acaranya. Tapi, lo lagi capek kan?”  "Gue mau. Lumayan nanti dapat tagnya. Pansos dulu, Bun." ——- Prily turun dari taksi online yang membawanya ke salah satu caffe yang nampak ramai. Di depannya berjejer papan karangan bunga yang mengucapkan "selamat sukses!" dan lain-lainnya. Gadis itu sengaja tidak menggunakan motornya dengan alasan akan sangat sulit untuk mengemudikannya. Dan, lagi pula tidak ada yang mengenakan sepeda motor matic sepertinya disini. Ketika sampai di pintu masuk, manik mata Prily bertemu dengan sesuatu yang membuat bola matanya berbinar. Buru-buru ia mendekati wanita itu yang merupakan salah satu selebritas sosial media yang memiliki banyak pengikut daripadanya. "Hai!" sapa Prily ramah. Wanita itu menoleh dan sedikit terkejut dengan kehadiran Prily, mungkin keahliannya gadis itu dengan cepat tersenyum. "Gue kayak kenal lo, deh, tapi lupa," ujarnya. "Udah centang biru belum?" "Gue Prily," kata gadis itu sambil tersenyum manis. "Belum hehe..." "Oh, iya, Prily yang pengikutnya setengah dari gue itu kan? Lho diundang sama Andre juga?" tanya wanita itu membuat Prily rasanya ingin mengumpat di depannya. Prily mengangguk cepat. "Eh, dress lo keren. Foto di batch itu yuk?" tunjuk Prily pada batch foto yang disediakan caffe ini. Wanita itu tersenyum lebar karena merasa senang puji. "Lebih cantik dress lo, deh." Yaiyala. Gue emang cantik. Batin Prily. Namun, ia hanya menanggapinya dengan terkekeh. "Duh, ponsel gue low nih batrenya." "Pake ponsel gue aja," ujarnya membuat Prily bersorak dalam hatinya.  Setelah mengambil foto yang entah ke berapa kalinya. Akhirnya mereka menemukan foto yang cukup bagus. "Gue tag lo ya," ujar wanita itu yang sedari tadi ucapannya Prily tunggu. "Okey." Ting! Ting! Ting! Prily tersenyum lebar ketika melihat notif ponselnya yang tiba-tiba ramai. Welcome pengikut baruku, teriaknya dalam hati. Mereka kemudian berpisah, Prily kemudian buru-buru membuka ponselnya dan hatinya langsung berbunga ketika notifnya menjadi ramai. Ia kemudian mereaply postingan wanita itu kembali di cerita media sosialnya. Gadis itu kemudian mengedarkan pandangannya ke arah seluruh caffe ini yang cukup ramai walau pun masih soft opening dan hanya mengundang orang-orang yang dikenal saja. Sebenarnya membangun bisnis juga merupakan salah satu impiannya. Ia ingin membangun rumah makan yang kepala juru masaknya adalah Abiya. Namun, sayangnya Prily tidak mempunyai otak yang cukup untuk banyak mengerjakan sesuatu. Daripada nanti semua ia kerjakan namun hancur, lebih baik satu-persatu. "Eh, hai Prily!" Seorang laki-laki yang nampak bersinar di acara ini sebab adalah pemiliknya menghampiri Prily yang tengah sibuk memilih minuman. "Hai, congrats ya!" sapa Prily balik. Ia kemudian menyadari tatapan orang-orang di sekitar melihat ke arahnya.  "Thanks, gue kira lo enggak datang. Sibuk jadi guru ya kan?" tanya pria itu sambil tersenyum membuat Prily heran.  "Gue salah satu penonton lo story media sosial," ujarnya kemudian membuat Prily mengangguk paham. "Gimana? Kira-kira tempatnya cozy dan bagus enggak sih untuk anak muda?" tanya Andre tiba-tiba. Laki-laki yang mengenakan kaos putih dan jas hitam itu nampak memikat dengan wajahnya yang tampan. Prily mengedarkan pandangannya ke arah caffe ini. Tempatnya nyaman dan umumnya seperti caffe pada umumnya. Namun tidak ada yang membuat Prily ingin kembali kesini. "Menurut gue enggak ada yang spesial disini tapi enggak tahu makanan sama minumannya," ujar Prily jujur.  "Sorry," sambunn gadis itu merasa tak enak. "Its okay. Jawaban lo paling beda dari yang lain," kata Andre membuat Prily jadi tak enakan. "Sorry," katanya lagi. "Nope, jawaban lo benar kok," kata Andre. "Karena gue lagi naik, jadi manejer gue mintak unuk segera launching. Pengennya gue sih bikin rumah makan." "Serius? Sama dong," sahut Prily yang mulai nyaman. "Tapi karena lagi sibuk kuliah jadi nunda dulu, takut terjadi apa-apa karena maruk banget ngambil semuanya," gelaknya sendiri. "Satu-satu aja dulu, lagi pula kalo lo udah nikah, urusan cari nafkah itu pria." Prily mengerutkan dahinya ketika mendengar perkataan Andre namun  ia hanya menanggapinya dengan terkekeh.  "Eh, nanti kita collab bareng, yuk?" "Bikin rumah makan?" tanya Prily. "Iyaps." "Bisa, deh," angguknya. "Eh, bentar. Bang sini!" Prily tidak tahu siapa yang Andre panggil sebab yang terpenting sekarang ia harus cepat memilih minuman agar bisa mengairi tenggorokannya. Terlalu banyak minuman disini, namun akhirnya bola matanya tertuju pada segelas jus jeruk. "Pril, ini kenali Kakak tingkat gue dulu." Byurr... "Astaga, maaf," ujar Prily sambil memelotokan matanya kaget bukan main. Pria itu tak menjawab, namun menatap ke arah jasnya yang basah karena semburan Prily. "Nih, bang." Andre memberikan selembar tisu pada pria itu. "Eum, sekali lagi maaf," ujar Prily pada pria yang berada disamping Andre. Pria yang membuatnya tak bisa mengedipkan mata dan tak disangka akan bertemu disini. "Santai, Pril. Bang Dipta orangnya baik," sahut Andre. "Gue ada jas cadangan di mobil Bang, mau?" tawar Andre. "Enggak papa, cuman basah sedikit." Prily tersenyum tak enakan mendengarnya. "Kenalin Pril. Ini Bang Dipta namanya." Prily menjulurkan tangannya ke arah pria itu dan kembali merasakan hangatnya tangan Pradipta. "Pradipta." "Prily." Prily berusaha menahan untuk bersikap seperti biasa saja. Namun tidak untuk jantungnya yang serasa sedang mengadakan konser dadakan. Ah, ia jadi ingat kejadian di sekolah tadi. Ia tidak jadi mengantarkan makanan Pricilia sebab ia memilih menitipkannya dengan Gendis karena sesuatu yang harus ia hindari. Apa Pradipta marah? "Minum,Pak," tawar Prily pada Pradipta. "Jus jeruknya seger," kata Prily. Pradipta mengangguk, namun tidak mengambil minuman membuat Prily ingin menghilang saja dari sini. "Bang Dipta minumnya kopi, Pril." "Kayak biasa kan, Bang?" tanya Andre. "Nanti saya ambil sendiri," kata Pradipta. "Enggak enaklah, Bang. Pengacara sekeren lo kesini masa enggak dilayani." Prily mengerjapkan matanya ketika mengetahui bahwa pria yang kini berada disampingnya adalah seorang Pengacara.  Namun, ia tidak tahu siapa sosok Pradipta sebenarnya. Ia jarang melihat pria itu berada di tv untuk mengurusi masalah artis. Apa dia tidak terkenal? Tapi, rasanya dengan wajah seperti itu sangat mustahil bahwa Pradipta tak terkenal. Buru-buru ia mengambil ponselnya dan mengetikan nama pria itu di kolom pencariaan. "Kenapa?” “Hah?” “Kenapa kamu menuliskan nama saya di kolom pencarian?” "Eumm... itu.” Prily meneguk ludahnya kasar ketika mendengar suara berat yang ada disampingnya. Ah, sial. Sial! Kenapa ia lupa bahwa Pradipta masih ada disampingnya? Dan kemana Andre? Jadi sedari tadi mereka berdua saja? "Oh ini emm.... saya kayaknya pernah denger nama Bapak. Kalo enggak salah kemaren pengacara kasus pembunuhan itu kan?" "Saya tidak pernah menangani kasus pembunuhan," jawab Pradipta. "Ohh, berarti salah dong ya," ujar Prily tersenyum manis. Tapi, percayalah saat ini ia ingin sekali mengumpat dan menghilang. Prily masih menunggu-nunggu Pradipta membahas tentang Pricilia di sekolah. Namun, lelaki itu sama sekali tidak bertanya atau pun mengatakan sesuatu membuat Prily terdiam. "Ini minumannya, Pak. Pesan Pak Andre tadi, dia enggak bisa gabung dulu karena sedang ada urusan." Pradipta mengangguk, ia mengambil minumanan itu dan menyesapnya sedikit. Prily melihat ketika jakun pria itu bergerak seiring dengan tegukan yang membawa cairan kopi itu. "Kenapa?" tanya Pradipta membuat Prily tergegap. "Kopi rasanya apa, Pak?" Pradipta mengerutkan dahinya. Merasa aneh, namun tetap menjawab. "Enak." Prily mengangguk, ia kemudian memalingkan wajahnya dan menyesap minumannya. Ia berusaha mengalihkan pandangannya ke arah lain. Sumpah demi apapun sekarang pipinya tengah memerah! Tidak tahu bahwa saat ini Prily sedang ditatap oleh Pradipta. Pria itu kembali tak menyangka bahwa akan bertemu dengan gadis ini lagi. Melihat kehadirannya disini, Pradipta yakin bahwa gadis ini adalah salah satu artis media sosial sama seperti Andre, adik tingkat yang cukup dekat dengannya. "Gimana keadaan Pricilia, Pak?" tanya Prily yang akhirnya. "Dia baik-baik saja." "Enggak mungkin, Pak. Saya aja tahu kalo dia masih sakit gitu," ujar Prily. Namun jahatnya ia tidak membantu gadis itu sama sekali. "Dia tidak mengatakan sesuatu pada saya." Lelaki yang mengenakan jas bewarna hitam itu meletakan americano coffee di atas meja. "Jadi saya harus harus mengatakan isi hati saya dulu ini Pak, biar bapak paham?" "Apa?" Prily menggeleng. "Maksudnya masa Pricilia harus mengatakan isi hatinya bahwa ia lagi enggak baik-baik aja." "Tapi, emang sih, biasanyakan anak perempuan kalo cerita itu sama ibunya." Ah, Prily jadi mengingat masa lalunya, tragisnya dulu ia tidak memiliki seseorang untuk mendengar kisahnya. "Tapi, kalo bisa bapak juga dengerin dia, deh. Katanya, ayah itu cinta pertamanya anak perempuan." Tentu tidak dengan Prily, ayahnya adalah orang pertama yang membuatnya mengenal patah hati. "Isteri saya sudah meninggal." Prily sontak menoleh ke arah Pradipta yang kini tengah menatapnya. Gadis itu tak mengubah ekspresi wajahnya ketika bisa melihat seluruh wajah Pradipta. Namun sayang belum selesai dia memuji seluruh yang ada di wajah pria itu. Sebuah suara menginstrupsi mereka. "Gimana seru ngobrolnya? Heheh, maaf ya Pril. Bang Dipta emang agak kaku," ujar Andri yang baru kembali.  Prily mengangguk. Ia kemudian memilih untuk berpindah pada meja yang lain. Alasanya untuk mengambil cemilan. Gadis itu tidak tahu harus berekpresi seperti apa sekarang. Sedih atau bahagia? Namun, pertama-tama harus mengucapkan turut berduka pada Pradipta. Dan kedua mengucapkan selamat karena akan menjadi target Prily.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN