Amalia menggelengkan kepalanya ketika mendengar penjelasan Prily sebagai guru yang bertanggung jawab di kelas itu. Ia sudah mendengar semuanya. Tatapannya terlihat bosan dengan apa yang dilakukan Ratu. Ia kemudian menghela nafasnya. "Ratu, kamu sudah tahu berapa kali bertemu ibu di ruangan ini?" tanyanya.
Ratu yang sedari tadi sibuk membalas tatapan tajam dari Pricilia, mengerjapkan matanya beberapa kali ketika mendengar pertanyaan Amalia.
"Kamu baru beberapa bulan sekolah disini tapi sudah tiga kali bertemu ibu. Dan, semua masalah itu kamu yang bersalah. Jika masalah ini juga kamu yang bersalah, ibu tidak akan segan-segan men-skor kamu."
"Kali ini apa alasan kamu?" tanya Amalia membuat Ratu tergagap. Namun, entah apa yang dipikirkannya gadis itu tiba-tiba saja tersentak, ia kemudian mengepalkan kedua tangannya.
"Dia merebut pacar saya, Buk," seru Ratu menunjuk Pricilia tajam.
Amalia yang mendengarkannya tertawa. Baginya, alasan gadis itu benar-benar tidak masuk akal. Ia sangat amat menyayangkan anak seusia Ratu sudah mengenal cinta dan menjadi tergantungan. Pricilia yang ikut mendengar alasan itu menggelengkan kepalanya, benar-benar alasan yang tak berguna. Namun, Prily dan Pradipta yang mendengarnya tak menunjukan ekspresi apapun.
Ratu yang melihat itu perlahan menurunkan tangannya, bola matanya menatap nanar ke arah Amalia. Apa mereka menganggapnya hanya gadis belia yang sedang dimabuk cinta? Apa mereka tak tahu? Kenapa mereka tak bertanya?
"Ibu benar-benar harus memberikan hukuman agar kami jerah, Ratu." Tak ada yang lagi bisa dilakukan gadis itu kecuali menundukan kepalanya. Bahunya nampak lemas, di kepalanya kini sudah terbayang apa yang akan ia dapatkan di rumah nanti.
"Dan, orang tua kamu? Bagaimana?" tanya Amalia. "Mereka juga sudah dua kali tidak hadir saat ibu pinta. Sebenarnya apa kamu masih memiliki orang tua atau tidak?"
Pertanyaan itu sontak membuat Ratu mengangkat kepalanya. Ekspresi wajahnya terlihat takut, seperti ada sesuatu yang ia sembunyikan. "Papa dan Mama saya sibuk kerja, Buk," cicitnya ketika Amalia terus menatapnya.
"Tidak ada yang lebih penting dari anak bagi orang tua," kata Amalia. "Yang menyayangi anaknya," sambungnya.
"Tapi, Buk."
"Ibu minta kamu sekarang telpon kedua orang tua kamu," keukeh Amalia.
Ratu menggelengkan kepalanya, menolah. Ekspresinya semakin menjadi. "Orang tua saya sibuk, buk."
"Saya akan membawa ini ke Kepala sekolah jika kamu tidak menghubungi orang tua kamu," ancam Amalia membuat Ratu semakin panik. Gadis itu meremas roknya gelisah.
"Tapi—-" Amalia menggelengkan kepalanya dengan tatapan serius membuat Ratu akhirnya mengeluarkan ponselnya.
Ia kemudian mencari kontak ponsel Papanya dengan tangan bergemetar. Lalu setelah menunggu cukup lama, Ratu memberanikan diri untuk menekan tombol panggil. Panggilan pertama ditolak. Begitu juga dengan panggilan kedua dan ketiga. Hingga akhirnya ponsel itu tersambung.
"Halo, Pa?" Bulir air mata yang sedari tadi ia tahan akhirnya turun dengan cepat. Bibir gadis itu bergetar diriingi dengan isakan tangisnya. Ia kemudian meletakan ponselnya di atas meja membuat yang lain terkejut.
"Ada apa kamu menelpon saya?!" Amalia yang hendak mengambil ponsel terhenti ketika mendengar seruan yang cukup keras.
"Apa lagi yang kau perbuat anak sialan!? Ini berapa kali saya bilang jangan turutin sifat jalang Mama kamu yang kabur itu!! Berhenti saja sekolah kalo kerja kau merugikan aku terus!"
Ratu menahan isakan yang semakin dashyat ketika mendengar kata-kata kasar yang harusnya tak keluar dari mulut cinta pertamanya, ah, itu pun kata orang-orang.
"Saya nyesal punya anak sialan kayak kau!"
Semua yang disana terkejut ketika Prily mengambil ponsel itu. "ANAK BAPAK JUGA ENGGAK MAU KALI LAHIR KALO BAPAK SIALAN BEGINI!"
Tut!
Prily kemudian berpindah tempat menjadi di samping Ratu, ia memeluk gadis itu sambil mengusap bahunya. "Hiksss—Miss."
"Ssst, tenang," bisik Ratu sambil mengusap rambut Ratu.
Tiba-tiba terdengar suara gaduh dari luar, hingga pintu dipaksa buka oleh seorang siswa laki-laki. Prily mengenalinya, dia salab satu siswa lelaki dari kelas IPS yang satu-satunya tidak menggodanya.
Tanpa banyak bicara lelaki itu mendekati Ratu dan gadis itu secara sadar melepaskan pelukannya dari Prily lalu beralih ke pria itu. "Kok kamu bodoh lagi, sih," katanya membuat tangis Ratu semakin deras. Namun, tangannya dengan lembut mengusap bahu Ratu.
Semua yang berada disana secara naluri tahu bahwa lelaki itu amat menyayangi Ratu. Tatapannya yang begitu menjelaskan bahwa ia khawatir saat membuka pintu berubah menjadi sendu ketika memeluk gadisnya.
"Hiks, kamu mau sama Pricilia huhuhu. Kamu bilang dia cantik huhu..." ungkap Ratu sambil menangis.
Lelaki itu terkekeh, ia melepaskan pelukannya dan duduk di atas meja menjadi berhadapan dengan Ratu. "Aku emang bilang Pricilia cantik. Tapi apa aku bilang aku mau sama dia?" tanya lelaki itu membuat tangis Ratu perlahan merada.
"Terus pasti yang bikin kamu nangis sekarang ini pasti calon mertua sialan itu kan?" tanyanya tepat sasaran.
Ratu mengangguk, ia mengucek-ucek matanya namun segera di tahan oleh lelaki itu. "Entar perih, Ratuu.."
"Kamu apain Pricilia?" tanyanya ketika melihat tatapan Prily yang menyipit.
"Aku lempar pake botol minum," ujarnya membuat lelaki itu membalikan kepalanya dan melihat keadaan korban dari kekasihnya. Ia kemudian meringgis saat melihat luka itu dan bertambah sedap ketika melihat papa Pricilia.
Lelaki yang belum diketahu namanya itu kemudian bangkit dari duduknya. Ia kemudian menatap Pricilia serta Ayahnya. "Saya sebagai walinya Ratu, sangat minta maaf, Pricilia dan Om. Saya yang akan tanggung jawab semuanya termasuk biaya pengobatan Pricilia."
Kemudian kepalanya beralib ke arah Ratu. "Kamu juga minta maaf cepat."
"Pri, gue minta maaf. Gue tahu gue salah, gue cuman takut kehilangan Yoga. Mungkin lo enggak tahu rasanya, tapi cuman dia yang selalu ada untuk gue. Gue enggak mau kehilangan dia."
"Saya juga minta maaf, Om." Kemudian ia alihkan tatapannya ke arah Pradipta dan menunduk.
Pricilia yang sedari awal sudah sedih dengan hidup Ratu, menatap Papanya meminta pendapat. "Gimaana, Pa?"
Prily yang melihat Pradipta akan bersuara setelah sedari tadi diam cepat-cepat membuat lebar telingannya untuk menyimpan suara lelaki itu. Ah, ini bisa jadi bahan halunya untuk nanti malam.
"Saya memaafkan," ujar Pradipta dengan suara beratnya. "Tapi tetap harus ada hukumannya karena bagaimana pun kamu sudah membahayakan orang lain," lanjutnya.
Yoga yang mendengarnya mengangguk setuju. "Saya juga setuju, Om. Biar dia jerah," katanya sambil berkacak pinggang menatap ke arah sang kekasih. Ratu hanya bisa mengangguk pasrah. Namun wajahnya saat ini terlihat lebih baik dari sebelumnya.
"Hukumannya, kamu harus membersihkan toilet perempuan selama satu minggu," kata Amalia.
"Baik, Buk," angguk Ratu.
"Tenang aja nanti aku temenin," kata Yoga.
"Heh, ini toilet cewek! Menang banyak nanti kamu," sahut Prily membuat Yoga tergelak.
Keduanya kemudian pamit undur di ke kelas. Kini tersisa keempat orang itu yang berada di dalam rungan cukup luas dan hanya berkipas angin.
"Pricilia, bagaimana jika kamu pulang lebih awal saja?" saran Amalia membuat Pradipta menatap anak gadisnya yang sedari tadi tak berhenti meringgis.
"Apa boleh, Bu?" tanya Pradipta.
"Boleh, Pak," jawab Amalia sambil tersenyum manis.
Prily memutar bola matanya. Kenapa wanita itu yang memperbolehkan? Harusnya dirinyalah sebagai guru yang bertanggung jawab di kelas itu. Huh!
"Bagaimana Miss Prily? Boleh?"
Prily tiba-tiba tersentak ketika mendengar pertanyaan itu. Tunggu, sebenar, kenapa panggilan Miss Prily sangat tidak cocok jika Pradipta yang mengatakan? Apa boleh dipanggil sayang? Pasti lebih cocok?
"Miss?"
"Ah, boleh. Tapi—"
"Aku enggak mau, Pa. Sehabis ini ada pelajaran geografi, aku enggak mau absen aku enggak bersih," potong Pricilia.
"Nah itu, Pak," kata Prily sedikit sebal.
"Gimana kalo ke UKS?" tawar Amalia. "Saya akan temani kesana."
Pricilia yang kepalanya sudah terasa mulai pun pusing akhirnya mengangguk. Namun, saat mereka baru saja ingin keluar dari ruangan itu. Tiba-tiba saja datang seorang guru dengan dua orang murid membuat Amalia terpaksa tidak ikut.
Tentu saja Pricilia yang melihat itu jadi sangat senang. Ia kemudian berjalan menggiringi Pradipta dan Pricilia yang berada di tengah mereka. Apakah mereka sudah seperti keluarga bahagia? Tapi lebih bahagia jika Pricilia menghilang digantikan dengan kedua anak mereka nanti. Hahaha.
"Miss mau kemana?" tanya Pricilia membuat Pradipta melihat ke arahnya.
"Miss mau mengantarkan kalian," jawabnya sambil mengangguk-angguk.
"Saya tah—"
"Kepala kamu kan masih sakit? Gimana nanti tiba-tiba di jalan kamu amnesia nanti enggak sampai ke UKS-nya."
Pricilia yang kepalanya sudah semakin sakit hanya bisa diam. Ia melanjutkan jalannya menuju UKS.
"Miss boleh pergi," kata Pricilia membuat Prily mengangguk walau tak ikhlas.
Tiba-tiba pintu UKS terbuka, seorang wanita yang mengenakan almamater yang sama dengan Pricilia keluar. "Eh, Pril, tolong jaga UKS bentar ya, gue dipanggil guru tiba-tiba."
"Iya, yang lama ya. Eh, maksudnya hati-hati," ujar Prily melambaikan tangannya pada sang teman.
Pradipta kemudian membantu membaringkan Pricilia di brangkar. Sedangkan Prily sedang membuat teh di dapur. "Tambahin garam enggak yah?" tanyanya berbisik.
"Jangan deh, ada Papa Dipta. Nanti Mama Prily bisa kena marah hahah..." kemudian ia tertawa sendiri sambil membuat teh itu.
"Pa, ini tehnya."
"Pa?" tanya Pradipta.
"Oh, Pak. Telinga bapak kayaknya ada yang salah," ujar Prily sambil pura-pura terkekeh. Padahal di dalam hatinya tengah mengumpat kasar karena kebodohannya yang sampai salah menyebutkan panggilan.
"Kamu udah makan?" tanya Pradipta. Prily yang ingin mendengar pertanyaan itu hampir saja menjawabnya jika Pricilia tak lebih dulu membalas. Astaga, tahan, Pril.
"Belum," jawab Pricilia memejamkan matanya setelah meneguk teh dari Prily. "Tehnya enggak enak," kata anak itu membuat Prily tersenyum kecil. Sialan! Batinnya. Saat sakit saja tingkahnya masih sangat menyebalkan.
"Dimana kantin?" tanya Pradipta.
Prily yang mengira pertanyaan itu untuk anaknya seperti sebelumnya, hanya diam. Namun, ketika melihat Pradipta menoleh ke arahnya. Barulah ia tahu bahwa pria itu berbicara dengannya.
"Enggak jauh dari lorong kelas Pricilia kok, Pak," jawab Prily.
Namun melihat wajah Pradipta yang nampak bingung, Prily yakin bahwa Pradipta tidak tahu dimana letak kelas anaknya.
"Biar saya aja yang belikan kalo gitu, Pak," kata Prily.
"Apa tidak memberatkan?" tanyanya.
Prily kemudian melirik jam tangannya. "Jam mengajar saya sudah habis, Pak. Jadi enggak papa, deh. Laper juga saya."
Pria itu langsung mengeluarkan dompetnya dan memberikan uang bewarna merah. Dan, Prily langsung menggeleng. "Pake uang saya aja dulu, Pak. Uangnya besar banget, takut enggak ada kembalian."
"Pericil, kamu mau makan apa?"
"Bubur ayam," jawabnya. "Tapi enggak usah pake kacang, terus kecapnya dipisah karena kadang kebanyakan dikasih, terus enggak pake toge juga. Kerupuknya dibungkus terpisah biar enggak lempem. Terus tambah bakwan dua."
Ingin rasanya Prily berteriak. "BELI SENDIRI WOY!"
Namun yang keluar malah. "Oke, minumnya apa?"
"Air mineral aja tapi yang mereknya aqua. Jangan yang lain."
Prily yang berada disamping Pradipta hanya bisa menghembuskan nafasnya perlahan, untung ada Pradipta disini. Jika tidak, ah, entalah. Ia sendiri tidak bisa membayangkannya.
"Biar saya saja yang membelikannya," kata Pradipta tak enakan dan hendak bangkit namun buru-buru di tahan oleh Prily. Dengan lancangnya kedua tangan gatalnya itu menempel di pundak lebar Pradipta. Ouh, mantap!
"Biar saya aja, Pak," ujarnya sambil menatap Pradipta. Pria itu hanya memandangi kedua tangan putih Prily yang adi di bahunya lalu mengangguk.
"Duh, gue jadi pengen cepat-cepat nikah sama Pak Pradipta terus jadi ibu tiri yang kejam untuk Pericil itu," gumamnya sambil menutup pintu UKS.
Baru saja hendak meninggalkan teras ruang kesehatan, Prily terpaksa menghentikan langkahnya ketika melihat dua orang siswi menujunya.
"Miss, gimana keadaan Cia?" tanya Gendis langsung berlari mendekati Prily, sedangkan gadis yang disampingnya itu melambatkan langkahnya.
"Miss?" tanya Gendis lagi membuat bola mata Prily yang awalnya tertuju pada sesosok yang tadi menemani Gendis terputus.
"Oh, Pericil-nya enggak papa. Belum sampe geger otak kok," jawab Prily lalu mempersilahkan Gendis untuk masuk.
Prily yang tak mau lama-lama disana segera melangkahkan kakinya. Namun tertahan ketika mendengar panggilan yang dulu selalu ia dengar dengan manja.
"Miss— Mbak Ily."
——-