<~Papat~>

1060 Kata
**Reina POV** . . . Sepulang dari pekerja hari ini, aku telah membuat janji akan bertemu dengan Indah dan Tedi. Kami akan bertemu di salah satu restoran cepat saji yang jagonya ayam. Kami bertiga sibuk dengan kegiatan masing-masing. Hingga lama tak memiliki waktu untuk saling jumpa. Aku telah sampai, tak biasa terlambat kecuali aku benar-benar ada keperluan mendesak. Seperti biasa, di sini didominasi oleh anak-anak jaman sekarang. Ada juga para orang tua yang sekadar menyenangkan buah hati mereka. Di tempat ini kami sering berkumpul. Saat SMU aku, Tedi yang di antar saudara kembarnya, Jimmy. Kembar yang tak serupa. Jimmy sosok laki-laki impianmu dulu. Baik, ramah, sifatnya terbalik dengan Tedi yang usil dan aktif. Hanya saja, aku sadar diri. Seorang Jimmy terlalu sempurna untukku. "Beeep!" teriakan Indah membuatku menoleh. Sialan ya emak satu ini. Bodynya masih sama aja padahal udah hamil dan melahirkan. Aku berdiri kami saling peluk. "Mana si Teted?" "Lagi parkir mobil. " Kami duduk, tatapan Indah mengedar menatap meja. "Lo belum pesan apa-apa?" tanyanya. Kugelengkan kepala. "Gue nunggu kalian." "Ya ampun, aku jadi enggak enak ditungguin." Tedi datang meledek dengan suara bariton yang di buat imut, terdengar seperti banci. "Bencong lo," kesalku. Sebuah pukulan di kepalaku mendarat. "Jangan mulut anda ya," kelakarnya benar-benar menyebalkan kalau dia lagi iseng begini. "Sakit ih!" Aku protes. "Udah udah! Akur sih, betah banget dari dulu berantem mulu." Seperti biasa Indah jadi penengah di antara pertikaian aku dan Tedi yang memang tak bisa akur. Meski kami saling pukul. namun, saling membela jika ada yang dilukai; saling memberi solusi saat kami ada masalah. Persahabatan kami benar-benar murni. Sementara Tedi masih meledek dengan mencebik dan bermain mimik wajah. Dasar bocah tua! "Berisik ya lo karpet!" "Udah ah, berantem sana kalian! Udah pada mau tiga puluh tahun juga." Indah bangkit lalu berjalan ke dalam untuk memesan. Aku berjalan mengejar Indah sementara Tedi duduk menunggu di kursi kami. Kami memesan tak lama karena hari ini sepertinya restoran yang paling jago masalah ayam ini, sepi. Paling senang aku memesan paket rahasia mereka koll olstar satu. Hanya tiga puluh lima ribuan,kita dapat burger, ayam, kentang goreng juga satu gelas kola. Setelahnya kami kembali duduk. "Tadi gimana lancar di sana?" tanya Tedi. "Lancar lah, lo tau kan Pak Yogi tuh pinter banget nge-lobby orang?" "Iya, gue akuin sih dia jago dalam bisnis. Cuma gue suka nggak sanggup kalau dia udah kasih target. Mana galak banget." "Ya emang gitu, tegas. Pak Yogi tuh sebenernya gitu ya demi kebaikan juga." Aku sedikit banyak setuju dengan sikap tegas bosku itu. "Liat tuh Yank, segitu ngebelanya sama bos." Tedi merangkul Indah. "Ya, bosnya ganteng. Dibela deh, ya nggak Rei?" Indah melirikku, sambil sibuk menyeruput kola miliknya. "Yaelah, gantengan juga aku Yank." Seperti biasa Tedi mengeluarkan jurus narsisnya. Sementara Indah mencoba tak peduli pada sang suami yang terus mengoceh ingin juga dapat pujian. "Tadi juga dia tanya apa gue pernah ditanya kapan nikah." "Loh dia punya pacar kan?" tanya Indah. "Ada cuma LDR, menurut sumber yang dapat dipercaya,," sahut Tedi dengan mulut yang penuh dengan spaghetti. "Lagian, kayanya Mbak Disha itu tipe yang enggak mau nikah muda deh." Aku menimpali pergibahan kami hari ini. Tedi mengangguk setuju. "Sekolah terus, kuliah terus, gila apa ya itu otak kapasitasnya." "Ya bagus daripada kamu," celetuk Indah. "Ya Allah aku kenapa lagi Yank?" "Btw, Zhi mana?" tanyaku karena tak melihat keponakan cantikku itu. "Di rumah emak gue," jawab Indah. "Eh, kok di sana?" "Dia tuh kalau enggak sama neneknya suka demam. Bingung Gue, ada apa sama neneknya sampe segitunya." "Dia tau kebutuhan bapaknya. Hahahaha." Tedi tertawa terbahak-bahak setelahnya. Membuat sebuah pukulan mendarat ke pahanya. Siapa lagi kalau bukan Indah pelakunya. "Aiiihh, sakit Yank. Ya ampun, enak banget mukul paha orang." "Wahahhahaha, rasain lo." Aku tertawa lepas bahagia sekali lihat Tedi di pukul Indah. Sungguh menyenangkan sekali melihat Tedi tersiksa seperti itu. Memang si menyebalkan itu harus sesekali dihukum. *** Setelah berkumpul dengan Tedi dan Indah aku rasa penatku berkurang. Tak perlu hiburan mahal untuk menghilangkan rasa bosan. Karena memang tak ada waktu untuk itu. Bekerja bersama Pak Yogi benar-benar dituntut teratur dengan jadwal yang padat. Ada saja yang ia kerjakan, termasuk menjadi pengisi seminar juga menjadi perkumpulan pebisnis nasional. Melaju di tengah Jakarta dengan matic kesayanganku. Sebenarnya, aku sudah menabung untuk membeli mobil. Namun, semakin banyak uang tabungan aku kumpulkan, semakin sayang untuk digunakan. Sampai di rumah, Mas Jun telah menunggu. Siang tadi ibu dan bapak telah berangkat ke rumah nenek. Tanpa bisa aku temani. Setelah memarkirkan motor berjalan menghampiri Kakakku yang tengah mengunci gembok pagar rumah kami. "Mas kok di depan?" Ia mengangguk, lalu kami berjalan masuk. "Mas nunggu kamu. Sekalian mau kunci pagar. Di dalem ada Bumi lagi tidur." "Loh, Mas Bumi ke sini?" "Mau lihat progres restoran." Aku dan Mas Jun berjalan masuk kami duduk di ruang makan. Sembari aku duduk, kuteguk air putih setelah mengambil dari teko yang berada di meja. "Mas kalau aku beli mobil gimana?" tanyaku. Entah sudah berapa kali. "Kan Mas udah bilang, kalau mau beli ya beli aja. Itu buat kamu juga. Masa sekertaris make matic terus." Mas Jun bicara dengan sedikit terkekeh "Ya kan matic juga aku beli pake uang gajiku dulu." "Mending kamu beli mobil, daripada jajan makanan terus. Kalau hujan juga enak, enggak kehujanan." Omongan mas Jun memang benar. Hanya saja ... "Aku takut Mas." "Bismilah, yang penting doa dan hati-hati. Mau baik motor atau mobil kalau sudah ajal enggak ada yang bisa melawan. Yang penting kita udah berdoa dan hati-hati. Lagian kan, kamu udah bisa nyetir mobil." Ya, aku belajar mobil sudah hampir setahun yang lalu. Punya niat memiliki mobil sendiri sejak lama. Dan seperti memang harus disegerakan. Mas Jun bisa melihat keraguanku. Ia melirik, lalu ikut mengambil air minum dan meneguknya. "Daripada buat jajan. Kalau punya mobil kamu enggak akan kepanasan atau kehujanan. Bapak sama ibu juga bakal lebih tenang nanti kalau kamu pulang pas hujan." "Yaudah aku beli nanti liburan, cari yang cicilannya murah," sahutku. "Jangan cicilan ah, itu kalau dihitung bunganya gede juga. Kamu cari mobil yang sesuai budget. Nanti kalau kurang dikit-dikit Mas bisa tambahin. Jangan biasakan ambil cicilan, kita enggak tau kedepannya bisa bayar atau enggak." Mas Jun memperingatkan. Sebenarnya benar juga kelebihan dari cicilan bisa di tabung atau untuk menanam saham. "Yaudah aku ke kamar dulu ya Mas." Aku berdiri lalu mencium tangan kakakku. Aku lupa saat tiba tadi. "Langsung tidur enggak usah main hape." "Oke Bos." Sahutku sambil lalu. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN