~>Telu<~

1166 Kata
**Author POV** . . . "Reina, gendut." Suara bariton seorang pria menyapa Reina yang tengah berjalan di depannya. Tedi, sahabat gadis bertubuh gempal itu berjalan cepat menghampiri Reina yang enggan menoleh. Tedi tampan idola kantor. Sayang dua tahun lalu ia telah menikah dengan Indah yang adalah teman kuliah Reina. Kini mempunyai seorang anak perempuan. Begitu ia tiba di samping Reina tangannya merangkul, lalu tersenyum menunjukkan senyum kotaknya. Sementara tangan Reina dengan terampil menjitak kepala Tedi. "Sialan lo manggil gue gendut melulu." "Gue jujur ya, lo bakal tersinggung lho nanti kalau gue manggil Reina kurus." "Iya, enggak gitu juga panggil Reina aja gitu. Jangan sampe gue buang lo dari lantai delapan." Tedi menatap Reina memerhatikan sang sahabat yang hari ini terlihat sensi. "Lo PMS ya?" Reina menatap ponsel melihat tanggal di sana. "Iya, badan gue semuanya sakit." "Beli jamu deh sana. Biar bisa tetap kerja lo." Reina mengangguk setuju. Hari pertama datang bulan Reina biasanya cukup parah. Ia sering kesakitan dan terpaksa meminum obat pereda nyeri meski kadang tak berguna dan harus meneteskan air mata menahan sakitnya. Tedi hafal dengan kelakuan sahabatnya itu. Jelas saja, mereka sudah berteman sejak SD. Menurut Reina, persahabatan dirinya dan Tedi adalah bukti kalau, perempuan dan laki-laki bisa benar-benar bersahabat. Jika, salah satu di antaranya tidak good looking. Mereka berpisah di lorong, Reina berjalan menuju ruangannya. Ruangan Reina berada di ruangan bersebelahan dengan ruangan sang bos. Begitu tiba ia meletakan tas miliknya lalu menyeka sedikit keringat. Setelahnya, berjalan menuju ruangan Yogi. Atasannya belum tiba, kembali menutup pintu dan berjalan kembali ke ruangan. Belum sampai ke ruangan ia melihat sang bos yang melangkah masuk. Ia berdiri mematung menunggu Yogi yang kini berjalan masuk ke ruangan. Reina mengikuti dari belakang. "Selamat pagi Pak." "Hmm." Hanya berdeham lalu duduk di kursinya. "Hari ini ada rapat dengan Laurisa Nara, kita mau jadi salah satu penyuplai butik barunya." Yogi mengangguk. "Maaf Pak, untuk tawaran ini sebenarnya enggak sesuai dengan profit yang kita dapat lho Pak. Untuk ukuran butik high class kita tau jelas biasanya berapa pemesanan mereka." Yogi sibuk dengan laptopnya. "Bukan karena pesanan mereka. Saya dengar Laurisa itu akan ikut Indonesia fashion week di Paris. Kamu bisa bayangkan bagaimana kita bisa mengiklankan kain kita tanpa mengeluarkan biaya? Berapa banyak pengeluaran yang kita hemat untuk promosi gratis ini?" Yogi mengetuk jari telunjuknya ke kepala. Reina mengerti, ia mengangguk lalu kembali membacakan jadwal hari ini. Atasannya terlihat tak memerhatikan, tengah sibuk melihat bursa saham lalu biasanya membaca artikel. Meski terlihat tak memerhatikan, Yogi bisa mengingat semua dengan baik. "Oke," sahutnya begitu Reina selesai membacakan semua. "Baik, saya izin kembali ke ruangan Pak." Yogi mengangguk. Merasa disetujui sang sekertaris melangkah ke luar. Sebelum panggilan pria pucat itu menghentikan langkahnya lagi. "Reina, umur kamu sekarang berapa?" "Saya? Dua puluh delapan Pak." Yogi terlihat serius ia menatap bawahan. "Saya kira kamu lebih tua dari saya." Reina hanya tersenyum kecut, kenyataan badan tambun membuat ia terlihat lebih tua. Sejak SMU sudah terbiasa disapa dengan sebutan 'Ibu'. Tak masalah meski kesal ia rasa. Sabar Reina, sabar. "Orang tua kamu pernah tanya kapan nikah?" "Pernah Pak. Jangan tanya lagi, udah bosan mungkin juga sepertinya ibu sama bapak saya." "Kamu jawab apa?" Reina yakin pasti dan atasan ditanya oleh sang ibu perihal pernikahan. "Saya enggak akan nikah." "Loh kenapa?" "Bapak lihat saya." Reina mengarahkan tangannya dari wajah hingga lutut. Yogi menatap Reina, gadis tambun itu menyanggul rambut hitamnya, dengan riasan yang membuatnya terlihat lebih manis dan segar, mengenakan atasan kemeja berwarna cream dan bawahan celana panjang berwarna mocca. Setelah memerhatikan gadis id hadapannya. Yogi kembali menatap Reina, tatapan keduanya bertaut pria itu menatap dengan bingung. "Kenapa sama kamu?" "Bapak tertarik sama saya?" Yogi menggeleng-gelengkan kepalanya seraya menjawab. "Enggak." Reina tersenyum sambil menjentikkan jarinya. "Nah, itu juga yang laki-laki lain lihat Pak. Enggak ada yang tertarik sama saya." Yogi merasa tak enak. Ia kini terdiam, meski dingin kan ketus ia tetap manusia yang punya rasa bersalah. "Maaf, saya enggak bermaksud—" "Enggak apa-apa kok Pak. Saya sadari itu. Yang saya tau Ibu Nindi memang sering mengeluh masalah sakitnya. Maaf saya lancang nih Pak. Ibu kan punya penyakit jantung. Dan beliau ingin sekali lihat Bapak menikah. Saya rasa Mbak Disha sudah cukup untuk itu. Jangan sampai Bapak menyesal lagi." Reina mengingatkan perihal pernikahan juga hal yang ditanyakan oleh mendiang ayahnya. Reina tak ingin ia kecewa karena terus menunda. Meski itu juga hal yang harus ia pikirkan. Hanya saja ia tau masih ada Mas Jun yang bisa dikorbankan. Mas Jun bisa menikah lebih dahulu. Harapan untuk sang kakak tinggi sekali. Tampan, pintar dan mapan, siapa yang bisa menolak pesona sang kaka? Yang juga memiliki tubuh tegap dan punggung lebar yang pas untuk bersandar. Ditambah bonus lesung pipi yang dalam di kedua pipinya. Sementara Yogi anak tunggal. Tak ada yang lain yang bisa ia minta untuk mengabulkan permohonan sang ibu. Harapan satu-satunya adalah dirinya sendiri. Yogi sadar betul itu. Dan ucapan Reina seratus persen benar. Ia tak ingin kecewa, lalu bagaimana? Sejak awal ia juga sudah berjanji pada Disha untuk menghargai keputusannya untuk melanjutkan pendidikan dan melakukan kemauannya hingga ia berusia dua puluh delapan tahun. "Kamu boleh ke ruangan mu." Reina berjalan ke luar melangkah menuju ruangan setelah diminta. *** Perjalanan menuju butik baru milik Laurisa Nara sedikit terhambat. Ibu kota dengan segala kesibukannya. Jam makan siang dan pulang sekolah. Reina duduk bersama Juki sopir Yogi, Yang sudah lima tahun bekerja bersamanya. "Macet nih Mbak, anak pulang sekolah." keluh Juki. "Iya," Reina mengeluarkan permen kopi dari tas miliknya. "Makan ini Juk, biar enggak ngantuk." Reina memberikan pada Juki. Keduanya sibuk mengobrol sedari tadi. Lalu sang bos di kursi penumpang tengah sibuk berkirim pesan dengan sang kekasih. Beruntung Reina mengajak Yogi berangkat lebih awal. Entah bagaimana jika tadi mereka berangkat sesuai jadwal. "Mbak Rei, kemarin yang masak sambel bawang itu siapa?" "Aku. Aku suka banget makan sambel bawang sama nasi anget, sama tempe goreng. Di penyet sama sambel. Udah sama lalap." "Mantul, saya makan sama temen kos. Enak banget." Yogi sedikit melirik lalu kembali menatap ponsel miliknya. Ia biasa saja mendengar pembicaraan dari kedua orang di depannya. Setidaknya, ada suara yang bisa ia dengar membuat suasana tak terlalu sepi. Reina dan Juki banyak membahas maslaah sederhana. Sesama anak Jawa yang hidup di kota besar. Menyenangkan rasanya bisa berbagi tentang banyak hal. Tak lama mereka tiba ditujuan. Reina berjalan masuk di belakang Yogi. Laurisa Nara wanita berdarah Bali- kanada itu terlihat memang menunggu Yogi. Keduanya lalu saling berkenalan dan berbasa-basi. Duduk berbincang seputar fashion. Reina tau Yogi yak banyak mengerti. Ia cukup terkejut karena Yogi bisa menjawab banyak pertanyaan dari Rissa. "Jadi aku konsepnya itu Fairy. Nah, aku mau masukin konsep itu dengan batik yang sudah aku desain dengan warna pastel. Beberapa produk aku akan perbanyak. Tenang aja pokoknya aku tetap akan cantumkan Karuna Textile sebagai rekanan. Termasuk saat aku nih ikut fashion week. Apa bisa? Aku agak kaget nih ternyata malah bos-nya yang datang kemari." Risa menjelaskan. "Bisa, tenang aja pokoknya semua beres. Kami punya mesin baru untuk proses pembuatannya kain." Keduanya berjabat tangan setelah deal dengan kesepakatan. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN