Salma keluar dari perpustakaan seorang diri. Airin tidak ikut dengannya karena sahabatnya itu harus mengerjakan deadline tugas. Di perpus pun masih ada Evan dan Zidan, dan tadi, Salma terlibat percakapan singkat dengan kedua lelaki itu. Salma dan Zidan bahkan sampai pusing sendiri karena mendengarkan Evan dan Airin yang sering memperdebatkan banyak hal termasuk hal kecil sekali pun. Dan tentang Syauqi, sebenarnya Salma masih sebal karena Airin yang memberikan nomornya pada Syauqi, tapi ya sudahlah. Mau diapakan lagi, nasi sudah menjadi bubur.
Salma berjalan menuju parkiran untuk mengambil motornya yang terparkir di fakultas ilmu komunikasi. Setelah ini Salma ada jadwal kuliah sehingga ia harus segera sampai di gedung fakultasnya. Sesampainya di parkiran, Salma langsung berjalan menyusuri koridor menuju ruang kelasnya.
"Salma!"
Salma yang baru saja sampai di pintu kelas langsung di sambut oleh panggilan serta lambaian tangan seseorang. Salma memicingkan matanya menjurus ke seseorang yang memanggilnya. Pupil matanya melebar begitu ia tahu orang yang memanggilnya adalah Syauqi. Laki-laki yang tadi menjadi bahan pembicaraannya saat ia bertemu dengan Airin di perpustakaan.
Panggilan itu juga membuat seluruh penghuni kelas menoleh, menatap ke arah Syauqi dan juga Salma. Terkejut karena di kelas mereka terdapat tamu yang tak diundang. Sebagian mahasiswa melirik aneh, sedangkan yang mahasiswi mendesis dalam hati karena akhirnya di kelas mereka ada 1 laki-laki ganteng yang bisa dengan gratisnya mereka lihat sepuasnya. Semuanya berbisik saling bertanya tentang Syauqi.
"Salma, sini!" Suara Syauqi langsung menghentikan lamunan Salma. Syauqi terus saja menunjuk kursi kosong yang ada di sampingnya, meminta Salma untuk menempati kursi tersebut.
Merasa ada yang janggal, Salma langsung mundur keluar dari kelasnya. Ia harus mengecek papan nama yang tertera di atas pintu. Tapi benar kok kelasnya, Salma gak mungkin salah masuk ruangan. Salma kembali melirik jam tangannya, dan benar kok, ini memang jadwal Salma masuk kuliah. Lalu kenapa Syauqi bisa ada di kelasnya? Bukankah Syauqi beda jurusan dengannya?
"Salma Salma Salma, di sini!" Syauqi terus memanggil nama Salma sambil menunjuk kursi kosong yang ada di sampingnya.
Masih dengan rasa terkejutnya, Salma akhirnya kembali masuk ke kelasnya. Ia menatap ke sekelilingnya, dan memang benar semuanya adalah teman sekelasnya.
"Salma, duduk sini!"
Salma kembali melirik Syauqi. Ia menghela napas panjang begitu menyadari di kelasnya memang sudah tidak ada lagi kursi kosong. Kenapa bisa di kelasnya itu hanya sisa 1 kursi saja?
Syauqi berdiri dari duduknya lalu menghampiri Salma yang masih diam di posisinya. Salma langsung bergeser selangkah ke samping menjauhi tubuh Syauqi yang berdiri di sampingnya. "Kok malah berdiri di sini?" tanya Syauqi.
"Kamu ngapain bisa ada di sini?"
Syauqi tersenyum manis pada Salma, membuat Salma langsung menundukkan kepalanya. "Ya mau belajar lah," jawab Syauqi santai.
"Tapi kelas kamu bukan di sini. Jurusan kamu kan ekonomi." Ujar Salma dengan menatap Syauqi sedetik, sebelum akhirnya kembali menurunkan pandangannya.
"Aku lagi pengen belajar di sini."
"Mana bisa begitu? Emang boleh sama dosennya?"
"Udah, kamu tenang aja. Sekarang mending duduk di sana, jangan berdiri terus. Bentar lagi dosennya masuk."
Akhirnya mau tidak mau, Salma menduduki kursi kosong yang tersisa. Syauqi tersenyum puas dan ikut duduk di samping Salma. Salma hanya bisa duduk di kursi tersebut dengan mencoba untuk tetap tenang, dan mulai mengeluarkan buku catatannya.
Syauqi menopang wajahnya dengan tangan yang bertumpu di atas meja. Tatapannya ke arah Salma, yang sejak tadi diam dengan kepala menunduk ke arah buku catatannya. "Salma," panggil Syauqi.
"Hm," respon Salma tanpa mengalihkan matanya menatap Syauqi.
"Sal," panggil Syauqi mencoba mengalihkan tatapan Salma dari buku.
"Hm..."
"Salma,"
"Apa?" suaranya sudah mulai menekan tanda ia mulai jengah dengan Syauqi yang terus memanggil namanya tanpa maksud yang jelas.
"Apa doang?"
Salma mengerutkan keningnya. Ia menolehkan kepalanya dan langsung terkesiap dengan wajah Syauqi yang sepertinya menatap wajahnya sejak tadi. Salma langsung menggeser wajahnya menjauh. "Jangan liatin aku begitu."
Syauqi tersenyum geli. "Emangnya kenapa? Kan aku gak sentuh kamu."
Salma memejamkan matanya berusaha sabar. "Gak boleh. Bisa zina mata nantinya."
"Apa maksudnya zina mata? Setauku zina itu maksiat, yang hubungan suami istri dengan yang bukan pasangan halalnya itu, kan?" tanya Syauqi dengan wajah polosnya.
"Zina mata itu keadaan di mana seseorang seseorang melihat sesuatu yang dilarang dalam agama. Nah, salah satunya adalah ketika memandang lawan jenis sampai menimbulkan s*****t atau nafsu. Karena bibit hawa nafsu adalah mata yang berambisi”.
Karena bagaimana pun, mata merupakan organ yang pertama kali menilai tentang orang lain secara fisik. Lalu dari penilaian tersebut lah, akan memunculkan penilaian suka atau tidak suka, terutama terhadap lawan jenis. Tak dapat dipungkiri setiap hari aktivitas seseorang selalu betemu dengan lawan jenis. Tak dapat dipungkiri pula bahwa fitrah perasaan manusia terkadang timbul dari hasil penilaian pandangan tersebut. Maka dari itu, Islam mengajarkan bagaimana kita harus selalu menjaga pandangan dati yang bukan mahramnya.
"Oh ya?"
"Iya," jawab Salma.
"Tapi aku gak liat kamu dengan keadaan seperti itu. Aku bukan cowok yang suka berpikiran kotor seperti itu."
"Nah, makanya. Kita harus bisa menundukkan pandangan kita jika dengan lawan jenis, atau biasa disebut dengan gadhul bashar."
Syauqi mengerutkan keningnya bingung karena mendengarkan penjelasan Salma. Tapi ia tetap mengangguk, pura-pura mengerti walau ia juga masih bingung. Tapi kalau dipikir-pikir, ini adalah pertama kalinya Salma bicara panjang pada Syauqi. "Oke, aku akan kurangin 3 detik waktu yang aku butuhkan untuk menatap kamu."
"Kenapa cuma dikurangin 3 detik. Yang ada justru kita jangan sampai menatap yang bukan mahramnya lebih dari 3 detik."
"Kayaknya aku gak bisa deh kalau gak boleh lebih dari 3 detik."
Salma menolehkan kepalanya. "Loh kenapa?"
"Karena kamu cantik, dan mirip Mama." Tapi itu hanyalah yang bisa Syauqi ucapkan dalam hatinya, tanpa terucap di lisan.
Syauqi menggebrak mejanya pelan. "4 detik!"
"Apanya?"
"Barusan kamu natap aku 4 detik, di tambah yang sekarang jadi 8 detik."
Salma langsung mengerjap dan seketika ia membuang wajahnya ke samping. Astaghfirullah! ucap Salma dalam hati.
"Nananana..." Evan bersenandung lagu dangdut kesukaannya, dengan nada dan cengkok yang sembarang keluar dari mulutnya. Everywhere and everytime, ia selalu mendengarkan lagu dangdut yang seperti sudah mendarah daging dalam tubuhnya itu.
Ia melirik wajahnya sekilas pada kaca spion motornya, sedang menunggu seseorang di depan sebuah rumah. Evan mengenakan kaos v neck berwarna abu dibalut dengan jaket denim serta celana berwarna khaki selutut. Karena lama menunggu, ia akhirnya menekan bel rumah tersebut beberapa kali.
"Bentar Van!" seru Zidan yang tiba-tiba muncul di pintu rumahnya dan sedikit berlari menuju pagar. Zidan mengenakan sweater berwarna cokelat serta celana panjang berwarna hitam.
Evan mendatangi rumah Zidan, karena mereka berdua janjian untuk main ke rumah Syauqi malam ini.
Evan berdecak saat melihat Zidan yang sudah ia tunggu selama 15 menit itu baru memunculkan batang hidungnya. Evan berkacak pinggang di depan motornya, siap mengomeli sahabatnya itu. "Dikira gue jemput putri Solo kali ya, etdah! Dandan lo lama banget, Dan."
"Duh, sorry Van Kakak ane baru pulang ke rumah, jadi sedikit rusuh." Ujar Zidan dengan membuka gerbang rumahnya.
"Kak Eli di rumah?" tanya Evan antusias, dan dijawab anggukan kecil oleh Zidan. Evan sontak cengengesan seketika, dan langsung berlari masuk melewati pagar rumah Zidan yang sudah terbuka.
Dengan sigap, Zidan langsung menarik kerah jaket jeans milik Evan. "Ett.. mau kemana sahabatku?" tanya Zidan dengan tersenyum yang sangat-tampak dipaksakan.
Evan berdecak kesal. "Lepas ah, Dan. Gue mau ketemu sama calon makmum gue dulu. Sebentaaar aja." rayu Evan dengan terus berusaha melepas cekalan tangan Zidan di kerah jaketnya.
Masih dengan wajah tersenyum paksa, Zidan sedikit menyeret Evan keluar pagar. "Masukin motor ente cepet, nanti kemaleman." Evan mengerucutkan bibirnya, ia sangat ingin menemui Elina, kakak Zidan yang saat ini tengah menyelesaikan kuliah di Yogya jurusan kedokteran.
"Ish!" Dengan mulut komat kamit, akhirnya Evan menurut dan memasukkan motornya ke garasi rumah Zidan. Dengan langkah yang dipasksakan, Evan akhirnya masuk ke dalam mobil Zidan. Zidan terkekeh melihat Evan yang masuk ke mobilnya dengan wajah ditekuk, ia langsung menginjak pedal gasnya dan memundurkan mobilnya keluar dari garasi.
Tangan Evan terulur mencari sinyal radio yang memutar lagu dangdut. Zidan berdecak, "Jangan dangdut kenapa sih, Van. Gak suka," ucap Zidan dengan mata fokus menatap ke jalan.
"Lagu rock, mau?" tanya Evan asal, membuat Zidan menoleh tajam sekilas ke arahnya. Zidan hanya menyukai nasyid, ataupun kalau mendengarkan lagu ia hanya menyukai musik jazz, dan itu bukan Evan banget. Evan terkekeh sejenak, lalu ia tetap memutar lagu dangdut dan mengabaikan Zidan yang terus menggerutu.
"Ih, Ya Allah. Dan, tangan gue kok bau banget gini ya? hoek!" Evan yang tadinya ingin menggaruk hidungnya yang gatal, langsung meringis dan ingin muntah saat mendapati tangannya yang bau.
Zidan menoleh pada Evan sedetik, lalu bertanya. "Bau apaan?"
"Nih, coba deh!" Evan menyodorkan tangannya tepat pada depan hidung mancung Zidan yang sedang menyetir.
"Astaghfirullah, Van! Ente habis megang apaan sih?" kesal Zidan atas kelakuan sahabatnya itu. Zidan bahkan hampir banting stir ke kanan saat Evan menyodorkan tangannya ke hidungnya. Untung saja Zidan masih bisa mengontrol kemudinya.
Evan tertawa geli sesaat, lalu dalam sekejap ia kembali meringis, "Terus bau apaan dong ini tangan gue?.." Evan kembali mencium telapak tangannya yang beraroma tak sedap itu. "Kena t*i burung kali yak?" Evan berniat memberikan lagi tangannya di depan wajah Zidan, tapi dengan cepat tangan kiri Zidan langsung menepisnya.
"Sekali lagi, ane bakalan turunin ente di sini loh, Van. Gak bercanda nih ane, serius." Ujar Zidan kesal, membuat Evan hanya bisa tertawa tak berdosa.
Syauqi keluar dari kamar mandinya, air menetes dari beberapa helai rambutnya yang basar. Ia memakai handuk putih untuk menutupi tubuh bagian bawahnya sehingga tubuh atasnya tak tertutupi, serta handuk kecil berwarna putih juga berada di atas kepalanya.
Syauqi melangkah menuju lemari bajunya, dan berdiri di depan cermin full body yang menempel di lemarinya. Kedua tatapan yang berasal dari mata yang sama itu saling menatap satu sama lain.
Ia mendekatkan wajahnya ke cermin, dan menatap rambut basahnya. Ia mengacak rambutnya itu, lalu mulai beraksi dengan rambutnya. Syauqi tertawa melihat pantulan dirinya sendiri di cermin, ia membentuk rambutnya ala anak punk, belah tengah, klimis, berdiri, dan gaya lainnya. Syauqi kembali menormalkan rambutnya kembali, rambut hitam lurusnya yang menutupi sebagian dahi.
Ceklek!
Syauqi langsung melirik ke arah pintunya yang di buka dari luar. "Abang, ada Bang Zidan sama Bang Evan tuh di bawah." Aziz memunculkan sedikit kepalanya pada sela pintu kamar Syauqi yang sudah ia buka.
Syauqi langsung menutupi bagian dadanya yang tak tertutup handuk dengan kedua tangannya, karena melihat kepala Aziz muncul di pintu. "Ngintip aja sih bocah. Bintitan tau rasa." Omel Syauqi.
Aziz memutar bola matanya malas, "Kurus begitu, apa juga yang mau dilihat." ucapnya membuat Syauqi langsung menatap tajam ke arahnya. Padahal tubuhnya itu sudah tak sekurus dulu, karena Syauqi semakin rajin berolahraga sehingga otot tubuhnya juga sudah mulai berkembang.
"Suruh langsung naik aja, biasanya juga langsung naik tuh anak berdua." Syauqi berbalik badan dan membuka lemari pakaiannya, ia memilih memakai kaos oblong berwarna hitam serta celana pendeknya.
"Mereka ngobrol sama Papa di bawah." Tutur Aziz masih dengan melongokkan kepalanya di pintu Syauqi.
"Oh iya, Papa. Aduh gawat dah," Syauqi menepuk jidatnya dan langsung membuka pintunya dan berlari keluar dari kamarnya meninggalkan Aziz begitu saja.
"Aww! Abang!"
Rasanya seperti deja vu, karena Aziz pernah merasakan hal ini sebelumnya. Dengan latar tempat dan kejadian yang hampir sama persis. Perlahan air mata mengalir di wajahnya. Aziz menatap kedua tangannya yang memerah. "Dasar Abang jahat."
Syauqi melangkah dengan cepat menuruni anak tangga satu persatu, mengabaikan Aziz yang tadi berteriak memanggil namanya. Habis mau bagaimana lagi, Syauqi paling suka yang namanya menjaili adiknya itu. Apalagi kalau anak itu sampai menangis.
"Pa.. " panggil Syauqi saat melihat Heri sedang bicara santai dengan Evan dan Zidan, saat ia sudah sampai di ruang tamu. Heri juga sudah menganggap Evan dan Zidan seperti anaknya sendiri. Heri bahkan sangat bersyukur Syauqi bisa mendapatkan 2 sahabat baik seperti mereka. Evan dan Zidan juga sudah sangat sering berkunjung ke rumahnya, sehingga membuat mereka sudah sangat akrab satu sama lain. Syauqi mengambil duduk di samping Heri setelah bersalaman singkat dengan kedua sahabatnya.
"Ngomongin aku ya?" tanya Syauqi dengan memicingkan matanya pada Heri.
"Geer kamu. Berasa orang penting aja diomongin." Heri menatap wajah Syauqi dari balik kaca matanya.
"Habis kayanya serius banget sih," ucap Syauqi dengan memicingkan matanya pada kedua sahabatnya itu.
"Papa cuma bilang sama Evan dan Zidan, agar bisa sabar menghadapi kamu."
"Kalau Zidan sih pantes, dan Syauqi juga percaya, Pa. Tapi kalau Evan, yang ada harus Syauqi yang sabar ngadepin dia." Jawab Syauqi dengan melototkan matanya pada Evan. Evan yang dilihat seperti itu oleh Syauqi hanya menggerutu tanpa suara ke arah Syauqi.
"Papa..." Aziz memanggil Papanya, Heri dengan air mata yang mengalir deras di wajahnya dan sesenggukan. Ia berjalan menuju Heri sambil menunjukkan kedua telapak tangannya yang memerah karena ulah Syauqi.
Lagi, Heri melihat anak bungsunya menangis. Heri lerangsung melirik datar ke arah Syauqi sebelum bangkit berdiri dan menghampiri Aziz.
"Kamu kenapa?" Heri bertanya dengan wajah khawatir pada anaknya. Aziz yang sesenggukan itu mengarahkan telunjuk mungilnya ke arah Syauqi. Syauqi yang tahu akan nasibnya sebentar lagi, ia menutup mulutnya rapat dan langsung bangkit berdiri tanpa suara.
"Pssstt! Naik! Naikk!!" Syauqi berbisik pelan dan bicara tanpa suara. Syauqi menunjuk ke arah atas, dan menyuruh Zidan dan Evan untuk mengikutinya naik. Walaupun Syauqi bicara tanpa suara, tapi gerakan bibirnya mampu dibaca jelas oleh Evan dan Zidan, sehingga Evan dan Zidan mengikuti langkah Syauqi. Mereka bertiga malah persis tampak seperti maling yang tertangkap basah.
Sreettt!
"Mau kemana kamu?" Heri menaikkan turunkan alisnya sambil menatap Syauqi. Ia sudah memegang baju belakang Syauqi. Syauqi memutar kepalanya ke belakang, dan menghiasi wajahnya dengan cengiran.
Zidan dan Evan pun ikut menghentikan langkahnya, dalam diam mereka menjauh teratur dari Syauqi, tak ingin ikut terkena hukuman dari Heri.
Heri melepas cekatan tangannya dari baju belakang Syauqi. "Kamu apain Aziz, lagi, Syauqi?" tanya Heri penuh penekanan di setiap katanya.
"Aziz jatuh sendiri, Pa. Aku gak apa-apain dia." Syauqi menjelaskan pada Heri dengan menatap sebal ke arah Aziz.
"Waktu itu juga kamu bilang Aziz jatuh sendiri. Dia gak akan jatuh kalau kamu gak buka pintunya tiba-tiba."
Syauqi mendesis panjang sambil menatap lelah ke arah Aziz. "Oke, Abang minta maaf ya."
"Gak mau. Abang mah minta maaf, tapi diulangin terus!"
Heri tersenyum melihat tingkah dua anak laki-lakinya yang semakin tumbuh dewasa itu. "Ayo anak Papa yang sudah pada besar, kalian selesaikan urusan kalian sendiri ya. Aziz jangan tidur malam-malam. Papa masuk kamar duluan ya." Heri menyentuh puncak kepala Aziz dan juga Syauqi sebelum melangkah naik, menuju kamarnya. Tak lupa ia juga memberikan senyum kepada Evan dan Zidan.
Aziz yang tangisannya sudah mulai reda menatap Syauqi dengan kedua alisnya yang menyatu. Syauqi juga tak segan melayangkan tatapan tajamnya pada Aziz. Mereka berdua saling bertatap sengit satu sama lain.
"Muke lo, Qi.." Evan mengusap kasar wajah Syauqi dengan tangan kanannya. Evan yang melihat kelakuan Syauqi pada Aziz jadi gemas sendiri. Bagaimana bisa sahabatnya itu memperlakukan adiknya yang baru berumur 6 tahun seperti itu?
Syauqi berdecak kesal dengan kelakuan Evan. "Anjir bau banget! Tangan lo abis megang apaan sih? bau banget, Van!" kesal Syauqi karena bau yang dihasilkan oleh tangan Evan tertangkap hidungnya.
berusaha menghilangkan bau yang berada di sekitar hidungnya, dengan tangan menepis udara. "Sumpah, gue gak bohong." Syauqi masih terus mengibaskan tangannya ke udara di depan wajahnya agar baunya menghilang.
Alih-alih menjawab, Evan malah menunggingkan pantatnya ke arah Syauqi dengan santai, membuat Syauqi langsung melotot tajam ke arahnya. "Gila lo ya? Bekas p****t lo, Van?!" Syauqi langsung menendang p****t Evan dengan kakinya.
Evan sontak mengalihkan pandangannya dari Syauqi. Sepertinya ia akan kelepasan tertawa. Karena dengan konyolnya ia seperti mengatakan bahwa bau di tangannya itu memang berasal dari bagian bokongnya. Padahal Evan sendiri juga tak tahu kenapa tangannya bisa bau seperti itu. Bahkan Zidan sampai ingin menurunkannya di tengah jalan tadi, saat Evan menempelkan tangannya di wajah Zidan yang sedang sibuk menyetir.
Evan langsung terbahak-bahak tak tahan melihat reaksi Syauqi. Zidan juga ikut tertawa karena kelakuan Evan dan Syauqi. Mereka berhasil mengerjai Syauqi seperti itu. Bahkan Aziz yang tadi masih menangis, jadi ikut tertawa karena melihat Syauqi mendapatkan balasannya.
"Ayo naik." Kini Zidan sudah berjongkok di depan Aziz. Ia tak ingin melihat kekonyolan selanjutnya yang akan dicipatakan oleh dua sahabatnya itu. Aziz menatap punggung Zidan sejenak, lalu akhirnya naik ke punggunya. Jika ada Zidan dan Evan, Aziz akan merasa seperti punya kakak sungguhan. Tak seperti Syauqi yang sifatnya seperti bunglon, kadang seperti peri namun selanjutnya ia bisa jahat bak penyihir pada Aziz.
"Lo ngeselin banget sumpah, Van." Pungkas Syauqi tak terima. Demi apa lo kasih gue bekas p****t lo yang bau itu?!" Syauqi melempar bantal sofa yang ada di dekatnya ke arah Evan.
"Lo habis kentut atau cepirit sih? cebok nggak sih lo sebenernya?!" Syauqi masih sangat kesal dengan Evan karena wajah tampannya telah dinodai oleh bau yang menyengat itu.
Evan semakin terbahak sambil memegang perutnya yang sakit karena banyak tertawa. Ia langsung buru-buru ngacir ke atas menyusul Zidan dan Aziz yang sudah naik.
"Woi, Vanii!" Syauqi melempar bantal sofanya lagi ke Evan yang sedang berlari naik sambil tertawa. Dengan wajah kesalnya, ia langsung ikut lari menyusul Evan ke atas.
"Jadi, apa tujuan kalian ke rumah gue malem-malem begini?"
"Oh!" Evan yang tadinya sedang membaca komik sambil tiduran di kasur Syauqi langsung bangkit duduk. "Ada yang mau kita konfirmasi ke lo. Ya, kan, Dan?"
Zidan mengangguk kecil dengan mengakihkan tatapannya dari yang semula menatap pigura foto Syauqi dengan mamanya, jadi menatap Syauqi yang berdiri bersandar di lemari dengan menatap Zidan dan Evan bergantian.
"Konfirmasi apaan?"
"Denger-denger lo minta nomor Salma?"
Syauqi mengerutkan keningnya. Ia mengangkat bahunya santai, lalu bergerak menuju jendela kamarnya. Dari jendelanya, ia bisa melihat jelas rumah Salma yang berdiri kokoh di depan rumahnya. "Kenapa emangnya?" tanya Syauqi.
"Kenapa ente minta?" tanya Zidan balik.
Syauqi menoleh dengan kening berkerut. "Loh, emang kenapa? Salah ya?"
"Gak salah, sih. Tapi aneh aja," sahut Evan.
"Anehnya?"
"Lo kan gak pernah minta nomor cewek. Terus sekarang kita tahu, kalau lo ternyata udah minta nomornya Salma."
"Gak aneh, Van. Gue kan normal, sukanya juga sama perempuan."
Evan dan Zidan sontak saling bertukar pandang. "Ente suka Salma?"
Syauqi menatap kedua wajah sahabatnya bergantian. Ia mengeluarkan senyum tipisnya. "Gak boleh, ya?" tanya Syauqi yang hanya berani ia sampaikan dalam hati.
"Gak kok, gue biasa aja sama Salma."
"Kalau biasa aja kenapa pake lo minta nomornya?"
"Emang kenapa, sih? Kaya sesuatu yang haram untuk gue lakuin aja."
"Bukan gitu Qi, maksud kita."
Syauqi berdecak pelan saat tahu ujung pembicaraan Zidan dan Evan nantinya. "Gue tahu. Gue paham, tenang aja."
"Lo harus tahu, kalau kita peduli sama lo, Qi. Ini semua karena kita sayang sama lo. Kita gak mau nantinya lo malah tersakiti dengan perasaan yang gak seharusnya. "
Syauqi mendengus geli mendengar kalimat sayang dari Evan. "Alay, lo."
"Tapi tenang aja. Karena gue gak akan suka Salma." Setidaknya itu yang masih Syauqi yakini hingga detik itu di kepalanya. Ya kepala, karena kini Syauqi malah ragu dengan yang dirasakan oleh hatinya.