Pukul 05.20, Salma keluar dari kamarnya dan menuju ke dapur. Saat ia keluar dari kamarnya, hawa yang ia rasakan adalah sepi dan dingin. Sepi karena saat itu baru ada Bi Irah, dan dingin karena rumahnya tak lagi menghangatkan seperti dulu. Salma langsung mendekat ke samping Bi Irah. "Pagi Bi," sapa Salma singkat. Tak lupa dengan senyum tipis di wajahnya.
"Eh, pagi Non." Bi Irah langsung bergeser, refleks.
"Bibi lagi buat apa? Sini Salma bantu."
"Gak usah, Non. Non Salma duduk aja, biar kalau masakannya udah siap Non Salma tinggal makan."
Salma mendesis panjang sambil menatap Bi Irah dengan kening berkerut. "Gak papa, Bi. Bibi lagi buat apa sih, emangnya?" tanya dengan mengintip panci yang isinya sedang Bi Irah aduk dengan centong
"Bubur kacang hijau."
"Ya udah sini, aku bantu aduk deh." Salma mengambil alih centong yang dipegang Bi Irah. Karena kalau kebanyakan acara merayu, Bi Irah pasti tidak akan mengizinkannya.
"Eih, Non Salma ini." Bi Irah menepuk lengan Salma gemas, sementara gadis itu hanya membalasnya dengan senyum. "Ya udah nih tambahin daun pandan biar masakannya lebih wangi." Salma menerima daun pandannya, dan memasukkan daun itu ke dalam panci yang telah berisi kacang hijau.
Bubur pun selesai di masak. Selain bubur kacang hijau, Bi Irah dan Salma juga menyiapkan roti tawar dan juga s**u putih. Memang hanya itu, karena keluarga Salma memang terbiasa tidak pernah sarapan nasi.
"Bi, Salma ke atas dulu ya. Mau ke kamar Farhan." Salma beranjak pergi begitu mendapat anggukan dan juga senyuman ramah dari Bi Irah.
"Farhan.." Salma mengetuk beberapa kali pintu kamar adiknya itu. Pintu dengan warna putih itu terbuka, memperlihatkan Farhan, adiknya yang sepertinya baru bangun dari tidurnya. Salma ikut masuk ke dalam kamar Farhan dan menutup pintu kamar Farhan.
"Kamu baru bangun?" tanya Salma, yang hanya dijawab anggukan oleh Farhan. Anak laki-laki itu masih sibuk mengucek matanya.
Salma mengelus puncak kepala adiknya, "Gak solat subuh, dong?" tanyanya. Farhan menggeleng lemah, ia memeluk pinggang Salma, karena memang tinggi Farhan yang hanya sepinggangnya. Farhan lahir saat Salma kelas 2 SMP, sehingga menyebabkan umur mereka terpaut jarak yang cukup jauh, 13 tahun.
Salma tersenyum kecil dan semakin membelai lembut puncak kepala Farhan. "Kamu mandi sekarang ya, nanti Kakak siapkan seragam dan keperluan sekolah kamu." Salma melepas pelukan Farhan padanya, dan menuntun adiknya menuju kamar mandi.
Salma duduk di atas ranjang Farhan, matanya mengabsen satu-satu barang yang ada di kamar adiknya tanpa terkecuali. Kamar dengan dekorasi ruangan berwarna putih. Kamar yang memiliki dekorasi warna yang berbeda dengan yang di rumahnya dulu. Dulu, kamar Farhan memiliki dekorasi berwarna biru karena ia yang menyukai karakter Doraemon. Tapi untuk susunan dan tata letak kamarnya saat ini masih sama seperti dulu, hanya saja beberapa barang bergambar doraemon sudah tak banyak lagi menghiasi kamar itu sekarang. Bukan hanya dekorasinya, aroma vanila yang mereka punya saat di rumah dulu pun sudah tak lagi ada di rumah mereka yang baru. Aroma vanila, aroma manis dan lembut yang sangat Salma sukai. Aroma yang kini sudah lagi ada di rumah mereka yang sekarang. Karena hanya di rumah dululah, aroma itu menyebar dengan begitu manisnya.
Pandangan Salma berhenti pada benda persegi panjang yang menempel di dinding, sebuah foto berbalut bingkai dengan ukuran 20x30cm. Bingkai tersebut mengabadikan 4 orang yang sedang tersenyum lebar penuh bahagia. Foto yang diambil saat Salma kelas 1 SMP. Sekar, Umi Salma tampak tersenyum sangat bahagia dengan perutnya yang besar menunggu kelahiran anak ketiganya. Teguh, Abi Salma juga tak kalah menampilkan senyum bahagianya dengan menggunakan seragam polisinya. Salma berdiri di samping Sekar, sedangkan Ali berdiri di samping Teguh.
Salma menatap foto tersebut penuh haru. Menatap wajah bahagia keempat orang yang ada di dalam foto tersebut. Teguh yang tampak sangat gagah dalam foto tersebut, serta Sekar juga tampak sangat cantik di balik kerudungnya itu. Salma yang masih remaja saat itu memeluk erat tangan kanan Sekar yang ada di sampingnya. Sedangkan Ali yang saat itu sudah menginjak bangku kelas 3 SMA, tampak tersenyum lebar di foto tersebut.
Salma kembali mengedarkan pandangannya ke meja belajar Farhan. Di sana kembali terdapat sebuah figura dengan ukuran yang lebih kecil. Foto tersebut diabadikan oleh Salma, tepat 2 hari setelah Sekar melahirkan Farhan, adiknya. Sekar mendekap erat Farhan yang masih sangat kecil di dalam pelukannya, Teguh merangkul pundak istrinya dengan senyum harunya, serta Ali yang juga tampak meletakkan kepalanya di pundak Sekar dan tersenyum bahagia.
Semua masa lalunya seakan kembali melintas dengan indah di pikirannya. Masa-masa bahagianya 6 tahun yang lalu memenuhi isi kepalanya. Kehangatan dalam rumah ini, tawa canda bersama, kasih sayang dari kedua orang tuanya dulu. Semuanya membuat Salma sakit.
Pandangan mata Salma menjadi buram. Air matanya telah banyak bergerumbul di pelupuk matanya. Tatapannya semakin nanar menatap ke arah foto tersebut. Rasanya sesak dan menyakitkan. Bulir air mata Salma mengalir sedikit demi sedikit, tak ada suara isakan yang keluar dari bibirnya. Hanya tatapan nanar dengan air mata yang semakin mengalir dengan deras. Manisnya kenangan itu membuat hatinya merasa sesak.
Salma langsung menghapus semua air matanya dengan punggung tangannya, ia tak ingin melanjutkan kesedihannya. Ia juga tak boleh bersedih di hadapan Farhan. Ia berdiri ke arah lemari Farhan dan mengeluarkan seragam adiknya. Ia juga merapihkan alat gambar Farhan yang berserakan di atas meja belajarnya.
"Kak.." Salma menoleh saat Farhan memanggil namanya. Adiknya keluar dengan rambut yang basah dengan handuk yang meliliti tubuh kecilnya. Salma berjalan ke arah Farhan dan membawa Farhan ke tepi ranjang. Salma duduk di tepi ranjang dan tersenyum hangat ke arah Farhan.
"Kita pakai ini dulu ya.." Salma mengangkat minyak telon serta bedak bayi yang sudah dipegangnya. Farhan mengangguk setuju.
Setelah Salma selesai mengurus adiknya, Salma langsung mengajak Farhan turun untuk sarapan pagi di bawah.
"Pagi Abi.. " sapa Salma pada Teguh yang sudah duduk di kursinya. Salma mengambil kursi di hadapan Teguh, serta Farhan yang duduk di sampingnya.
"Pagi," balas Teguh dengan singkat.
"Abi, pulang jam berapa tadi malam?" tanya Salma pada Teguh yang tengah menyantap sarapannya.
"Jam 10 lewat," jawab Teguh tanpa memandang Salma dan juga Farhan yang duduk di hadapannya. Salma yang awalnya ingin bertanya kembali pada Teguh, langsung mengurungkan niatnya begitu mendapat jawaban sangat singkat dan jelas dari Teguh, abinya.
Salma menatap Farhan yang menunduk dan hanya mengaduk-aduk bubur kacang hijau yang ada di hadapannya. Terkadang, Salma merasa hidup ini sangat tak adil untuk Farhan, adiknya. Di saat ia dan Ali, kakaknya merasakan kasih sayang kedua orang tuanya, sedangkan Farhan, memikirkannya saja membuat hati Salma kembali sakit.
"Abi sudah selesai. Kalian habiskan sarapannya." Teguh langsung bangkit berdiri, kemudian merapihkan seragamnya sedikit, dan melangkah menuju pintu. Salma mengenggam tangan Farhan dan menuntunnya untuk ikut menyusul Teguh ke luar.
"Abi hati-hati ya.." Salma bicara dengan sedikit berteriak karena melihat Teguh yang sudah mau masuk ke dalam mobil dinasnya beserta sopir pribadinya. Teguh mengangguk, dan kemudian masuk ke dalam mobilnya. Mobil tersebut pergi meninggalkan pekarangan rumahnya. Untuk salam pun bahkan tak bisa.
"Ayo, masuk lagi." Salma kembali menggenggam tangan Farhan, mengajak adiknya masuk dan menyelesaikan sarapannya. Farhan hanya mengikuti langkah Salma pasrah.
"Nanti siang jemput, Bang."
"Gak mau, sibuk." Tolak Syauqi.
"Iihhh, mau dijemput!"
"Jalan kaki aja, deket."
"Ih Abang nyebelin!" ucap Aziz dengan memukul pelan perut Syauqi, membuat Syauqi meringis dilanjut dengan tertawa.
"Ya udah, masuk sana. Bawel banget ya kamu."
Aziz mengerucutkan bibirnya sebal. Ia mencium punggung tangan Syauqi, lalu memutar badannya. Ia mulai melangkahkan kaki menjauhi abangnya dan memasuki gerbang sekolah.
Syauqi terkekeh kecil saat melihat adiknya yang berjalan gontai. "Kalau mau dijemput gak boleh ngambek!" Aziz langsung berbalik dan tersenyum dengan lebar karena teriakan Syauqi. Keduanya saling bertukar lambaian pagi.
Setelah mengantar Aziz, Syauqi langsung berjalan pulang. Beruntungnya ia, melihat Salma yang juga baru saja mengantar adiknya. Syauqi bersembunyi di balik pohon sambil tersenyum geli.
Salma berjalan pulang saat Farhan sudah masuk ke dalam TKnya. Salma melangkah dengan langkah pelan dan terkesan tak bersemangat. Sibuk dengan pikirannya sendiri dan mengakibatkan ia yang menatap kosong jalan di depannya. Mungkin karena kejadian tadi pagi, saat berhadapan dengan Farhan dan juga Teguh.
"Aw!" Salma meringis saat kakinya ternyata tersandung sebuah batu. Rasanya sakit dan perih karena ia hanya memakai sandal sehingga tak ada yang melindungi jari kakinya yang terbalut kaos kaki.
"Salma!" Syauqi yang sejak tadi berada di belakang Salma langsung berlari menghampiri gadis itu. Belum sempat Salma menoleh, Syauqi sudah lebih dahulu menarik lengan Salma agar dapat menghadapnya. "Kamu gak papa?"
Salma sontak membulatkan matanya. Ia bisa melihat wajah Syauqi begitu dekat dengannya. Jika Salma terkejut karena kehadiran Syauqi, Syauqi justru khawatir dengan keadaan Salma. Salma langsung mendorong tubuh Syauqi menjauh.
"Ka.. kamu-" Belum sempat Salma melanjutkan kalimatnya, secara mendadak ia merasa tubuhnya ditarik ke depan.
Sreeett!
"Kamu tuh ngapain sih? bahaya tau gak!" Omel Syauqi pada Salma yang kini tinggal berjarak sejengkal untuk mereka saling berpelukan. Baru saja lewat mobil berwarna putih dengan kecepatan tinggi.
Salma mengerjap. Ia kembali memundurkan tubuhnya ke belakang namun malah ditahan oleh tangan Syauqi yang masih memegang lengannya yang tertutup dengan khimar berwarna hitam. "Kalau kamu mundur lagi, kamu bakalan semakin berada ke tengah jalan." Ujar Syauqi dengan menatap khawatir Salma yang menundukkan kepalanya. Ia juga bisa melihat kedua tangan Salma yang saling menyatu di depan d**a bergetar.
Syauqi akhirnya memundurkan tubuhnya dan melepas tangannya yang sejak tadi memegang lengan Salma dengan erat. "Kamu.. gak papa?" tanya Syauqi sedikit ragu.
Salma yang masih menetralkan degup jantungnya akhirnya mengangkat kepalanya. Saat sudah sadar sepenuhnya, Salma melepas tas selempangnya, dan langsung memukul punggung Syauqi dengan tasnya hingga beberapa kali. "Kamu tuh ih! Jangan pegang-pegang!"
"Aw aw aw! Sakit Sal.." Syauqi mengerucutkan bibirnya dan berteriak sakit. Sebenarnya menurut Syauqi pukulan Salma tak terlalu sakit, tapi kalau dipukul terus ya tentu saja akan sakit rasanya. "Lagian aku pegang kamu kan karena kamu mau ketabrak tadi!" Jawab Syauqi dengan kesal.
"Karena kamu megang aku, jadinya aku kaget dan gak sadar kalau aku malah mundur ke jalanan."
"Itu karena kamu tadi kesandung. Aku jadinya khawatir," ucap Syauqi dengan suara memelan.
"Aku gak papa. Makasih, aku pulang duluan."
"Loh Sal, kok aku ditinggal sih?" Syauqi langsung berjalan cepat untuk menyamakan langkahnya dengan langkah Salma.
"Salma, kaki kamu gak papa? Jalan kamu jadi pincang begitu ya?"
"Gak papa. Cuma keseleo aja."
"Salma, kamu marah sama aku?"
"Enggak."
"Kok kamu jadi jutek gitu, sih?"
"Bawel banget ya kamu," ucap Salma dengan menoleh dan menatap tajam ke arah Syauqi yang sedari tadi tak berhenti bicara.
Syauqi langsung menutup bibirnya rapat-rapat, kemudian ia malah terkekeh geli. "Bisa melotot juga kamu ternyata. Hati-hati lebih dari 3 detik nanti dosa loh."
"Astaghfirullah, Syauqi!" Salma langsung berjalan cepat ke depan. Mengabaikan panggilan Syauqi yang terus menyebut namanya. Memasuki rumahnya dengan cepat tanpa mengucap salam perpisahan.
Langit biru telah berganti dengan langit merah oranye. Cerahnya langit telah berganti dengan sendunya senja. Burung-burung berterbangan di angkasa, pulang ke sangkarnya untuk bertemu dengan anak-anak yang menunggu kepulangan mereka dikala mereka mencari makan.
Syauqi tersenyum tipis memandang langit. Ia menutup jendelanya setelah mengucap salam perpisahan kepada senja yang sebentar lagi akan menghilang dalam kabutnya gulita malam. Syauqi menutup jendela kamarnya lalu duduk di kursi belajarnya. Lebih baik ia mengerjakan tugas kuliahnya, mumpung ia juga belum menyentuh mainan PS miliknya sehingga masih ada kesempatan untuk Syauqi mengerjakan tugas. Karena ketika PS sudah ada di tangannya, maka sulit bagi Syauqi untuk berhenti.
Pukul 17.56 sore, waktu adzan Maghrib berkumandang. Suara merdu dan lantang itu terdengar begitu jelas masuk sampai ke sudut kamar Syauqi. Memanggil seluruh hamba Allah untuk bersujud bersama, dalam untaian takbir menghadapNya.
اَللهُ اَكْبَر، اَللهُ اَكْبَر (2x)
Syauqi termenung di kursinya. Ia tersenyum miris mendengarkan suara yang mulai terdengar dari masjid di dekat rumahnya. Tanpa sadar kedua tangan Syauqi yang berada di meja mengepal dengan kuat. Mendengar suara itu, entah kenapa membuat hatinya sakit. Kenapa suara merdu seperti itu, harus membuka luka lamanya setiap saat. Ya, bukan hanya satu kali, Syauqi tahu betul suara itu akan muncul 5x setiap harinya. Maka setiap harilah ia harus merasakan kebencian dan rasa sakit di hatinya.
أَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّاللهُ (2x)
Dengan gerakan tergesa, Syauqi langsung menarik ransel dan membuka zipper ranselnya. Ia mengambil headphonenya dan langsung memakainya. Menyalakan musik dengan volume yang tinggi, hingga suara adzan itu sama sekali tak lagi di dengar oleh telinganya.
(2x) اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ
Tok tok!
Ketukan pintu terdengar nyaring dari balik pintu kamar Syauqi. Tapi volume musik yang sedang Syauqi dengarkan, membuat ia jadi tak mendengar suara apa pun selain musiknya.
(2x) حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ
Syauqi mengangkat kepalanya begitu pintu kamarnya terbuka lebar. Heri memasuki kamarnya.
"Papa?"
Heri langsung melangkah cepat mendekati anaknya yang duduk dengan menekan headphone yang menempel di telinganya. "Syauqi kamu jangan pakai ini." Niat hanya untuk mengecek kegiatan Syauqi, Heri malah menemukan Syauqi dengan kelakuannya saat itu.
(2x) حَيَّ عَلَى الْفَلاَح
Syauqi langsung menahan tangan sang papa yang ingin menarik headphonenya. Sementara tangan kirinya masih tetap menekan agar benda itu masih melindungi pendengarannya. "Jangan Pa!" pekik Syauqi kaget dengan gerakan Heri.
"Syauqi kamu tidak boleh memakainya terus menerus!"
Syauqi tak yakin apa yang dikatakan papanya karena ia tak mendengar suara apapun selain musiknya. Tapi ia cukup yakin kalau Heri pasti menyuruhnya untuk membuka headphone tersebut. Tangan Syauqi menahan kencang headphone tersebut. Kepalanya terus menggeleng seraya mengatakan 'tidak' pada sang papa.
Gagal melepas headphone tersebut. Heri menangkup kedua pipi Syauqi. Mata anaknya sudah memerah menahan segala emosi yang kini mulai meletup di dadanya. "Syauqi! Lihat Papa! Lihat mata Papa!"
(1x) اَللهُ اَكْبَر , اَللهُ اَكْبَر
Syauqi terus menggeleng. Matanya menyalang kosong.
"SYAUQI!!" Heri mengguncang hebat bahu Syauqi hingga akhirnya pegangan tangannya pada headphone melepas. Tangannya terkulai lemas di sisi pahanya. Matanya menatap nanar ke lantai. Cairan hangat berhasil lolos dari pelupuk matanya.
"Papa... " ucap Syauqi dengan begitu lirih. Seolah ia sedang membutuhkan bantuan sang papa untuk melindunginya dari semua yang membelunggunya penuh sesak dan sakit.
Heri ikut menatap sedih anaknya yang kembali bertingkah seperti itu ketika mendengar suara adzan. Ia berjongkok di hadapan Syauqi yang duduk di kursi. Ia melepas headphone tersebut secara perlahan.
"Aku gak suka suara itu, Pa. Please, jangan pernah paksa aku." Lirih Syauqi saat sang papa berhasil melepas headphonenya. Bulir air mata kembali membasahi pipi tirus Syauqi. Matanya menatap nanar mata yang tampak bergetar di hadapannya.
(1x) لاَ إِلَهَ إِلاَّالله
Heri menggeleng sambil menyentuh bahu Syauqi. "Sudah selesai, Syauqi. Adzannya sudah berhenti. Heri terus mengusap bahu Syauqi dengan lembut. "Syauqi, kamu pasti bisa. Dulu kamu gak seperti ini, Qi."
"Jika Papa ingin mengharapkan yang dulu, maka aku juga. Aku juga mau kehidupanku yang dulu. Aku mau kehidupan kita seperti yang dulu! Tidak seperti sekarang, karena aku harus selalu tersika dengan suara yang selalu menggema di telingaku 5x sehari ini."
Heri membalas tatapan Syauqi dengan lembut. Jika Syauqi menatapnya dengan tatapan tajam dan menusuk, maka Heri hanya akan membalasnya dengan tatapan lembut. "Maafin Papa Syauqi. Karena Papa, kamu jadi menderita begini."
Syauqi menggeleng frustasi. "Ini bukan salah Papa. Ini salah Tuhan, Pa. Dia yang dengan teganya memberikan rasa sakit dan siksaan untuk aku. Dia terus kasih aku ujian, sementara aku bahkan gak yakin bisa menjalani semuanya. Apa Tuhan belum cukup ambil Mama dalam hidup kita? Apa Tuhan belum cukup menciptakan perbedaan di antara kita? Apa Tuhan belum cukup-"
Rentetan kalimat Syauqi langsung terhenti begitu Heri yang memeluk tubuhnya. "Jangan pernah salahkan Tuhan, Syauqi. Tuhan gak pernah salah. Semua garis takdir yang telah Tuhan tetapkan semuanya adalah yang terbaik. Yang salah adalah kita, karena kurang bisa mengambil hikmah dalam setiap kejadian."