-Flashback On-
Wajahnya nampak sangat pucat pasi. Embusan napas yang keluar dari hidungnya semakin melambat. Tangannya terkulai lemas di sisi tubuhnya. Tak lagi mampu ia menggerakkannya. Di tubuhnya banyak selang dan kabel yang terhubung dengan mesin yang Syauqi sendiri tak tahu apa namanya.
"Ma..." Syauqi, memanggil sang mama dengan berbisik lirih tepat di telinganya. Padahal belum ada semenit Liana, ibunda Syauqi masih lancar berbicara. Sang mama bahkan masih mampu melafalkan sesuatu yang sudah sejak dulu diimpikannya. Lalu kini, setelah mamanya mengucapkannya dengan lancar dan lugas, kenapa sang mama malah terkulai lemas tak berdaya karena pingsan seperti itu?
"Ma... bangun.. Syauqi mohon," ucap Syauqi. Tangannya menggenggam erat jemari Liana. Berkali-kali ia mengecup lembut punggung tangan Liana. Berharap sang mama akan bangun kembali dari tidurnya. Bunyi yang ditimbulkan dari mesin yang Syauqi tak tahu apa namanya terus mengusik pendengaran Syauqi. Tanda akan lemahnya jantung sang mama membuat Syauqi benci akan dirinya sendiri.
Liana didiagnosis mengidap Chronic Lymphocytic Leukemia, atau CML sekitar satu bulan yang lalu. Leukemia jenis tersebut merupakan salah satu jenis leukemia yang paling berbahaya. Leukemia Limfositik Kronis adalah suatu kondisi yang ditandai oleh kelebihan produksi sel-sel darah putih yang menyebabkan korban menjadi jauh lebih rentan terhadap infeksi atau penyakit.
"Syauqi."
Syauqi menoleh lemas saat mendengar namanya dipanggil. Ayahnya, Heri, muncul dari balik pintu. Masuk dan menghampiri Syauqi yang sedang duduk di kursi menemani Liana. Pria berumur 39 tahun itu menatap nanar istri yang dicintainya sedang terbaring lemah di atas tempat tidur. "Qi, pulanglah. Biar Papa yang jaga Mama di sini. Kamu kan besok sekolah. Aziz juga pasti nyariin kita semua karena gak ada yang di rumah."
Syauqi menggeleng lemah. "Gak, Pa. Syauqi mau tetep di sini, jaga Mama."
"Tapi kamu harus sekolah, besok."
"Aku gak mau sekolah, Pa. Aku mau di sini aja."
"Syauqi, kamu mau Mama sembuh kan? Maka jangan kecewakan Mama. Bukankah kamu pernah janji pada Mama akan selalu rajin sekolah?"
"Tapi Pa-"
"Gak ada tapi-tapian, Syauqi." Sela Heri. "Besok kamu harus sekolah."
Dengan langkah gontai akhirnya Syauqi keluar dari ruang rawat Liana. Ia harus pulang ke rumah sesuai dengan yang diperintahkan papanya. Benar kata papanya, ia harus selalu rajin ke sekolah seperti janji yang pernah ia ucapkan untuk mamanya. Jika ingin menjaga mamanya, maka akan Syauqi lakukan setiap hari setelah pulang sekolah.
Zidan dan Evan yang berada di bangku tunggu luar ruang rawat Liana pun langsung berdiri kompak begitu mereka melihat Syauqi keluar dari ruangan tersebut.
"Gimana keadaan Tante, Qi?" tanya Evan dengan merangkul pundak Syauqi dan menuntun sahabatnya untuk duduk. Syauqi duduk di tengah, sementara Evan dan Zidan sama-sama duduk di samping Syauqi.
Syauqi yang ditanya hanya mampu menundukkan dalam kepalanya. Kedua tangannya meremas rambutnya. Berharap segala keresahan yang ada di kepalanya menghilang.
Gelisah, gusar, takut dengan keadaan sang mama yang kian hari kian melemah. Syauqi tak mau jika Liana menderita karena penyakitnya, tapi Syauqi juga takut jika sang mama akan meninggalkannya dengan cepat.
"Sabar Qi. Tante pasti akan baik-baik aja. Dia wanita yang kuat." Ujar Zidan menguatkan.
Di tengah perasaannya yang tak menentu. Beberapa perawat dan dokter dengan cepat berlari melintasi Syauqi, Evan, dan Zidan yang sedang duduk di bangku. Mereka bertiga, dengan bingung dan takut langsung ikut berdiri tatkala semua orang berpakaian putih itu memasuki ruang rawat Liana.
"PASIEN DARURAT! CEPAT!"
"Mama... " kaki Syauqi melangkah bergetar mendekat ke ruang mamanya dirawat. Tapi belum sempat ia masuk, dirinya sudah didorong keluar oleh seorang dokter pria.
"Mohon maaf, tapi silahkan Anda tunggu di luar." Baru saja dokter tersebut ingin masuk dengan menutup pintu, tangan Syauqi sudah berhasil meraih lengan dokter tersebut. Ia bahkan mencengkeram erat lengan dokter tersebut.
"Ada apa dengan Mama saya?" tanya Syauqi dengan suara yang nyaris tak terdengar.
Dokter tersebut bukannya menjawab, ia malah melepas cekalan tangan Syauqi. "Mohon maaf, saya sedang terburu-buru. Pasien harus segera diselamatkan."
Tangan Syauqi langsung lemas di sisi pahanya. Kedua kakinya bergetar. Tangan kirinya terulur menyentuh dinding rumah sakit yang dingin. Bertumpu pada dinding tersebut agar dirinya tetap bisa berdiri dengan kedua kakinya. "Ma.. " lirih Syauqi. Ia berdiri di depan pintu ruang mamanya.
"Buka." Syauqi menarik gagang pintu tapi tak bisa. Pintunya terkunci dari dalam. "Saya mau lihat Mama saya."
Zidan menyentuh pundak Syauqi agar laki-laki itu menghadap ke arahnya. "Qi, tenang.. Banyak berdoa," ucap Zidan mencoba menenangkan Syauqi.
"Mama, Dan. Mama.. "
Zidan memeluk tubuh Syauqi. Mencoba memberikan Syauqi rasa tenang atas apa yang sedang dihadapi sahabatnya itu. Ia menepuk pelan punggung Syauqi tanpa mengucapkan kata apa pun. Ia hanya ingin Syauqi bisa tenang.
"DEFIBRILATOR UNTUK RUANG MELATI 1!"
Dari ujung koridor, muncul lagi 2 orang perawat yang berlari dengan alat Defibrilator yang mereka dorong bersama. Siapa yang menyangka bahwa 2 orang perawat tersebut ternyata berhenti di depan ruang Liana?
Evan yang berdiri sendiri beberapa jarak dari Syauqi dan Zidan langsung membekap mulutnya sendiri. Matanya langsung menatap Syauqi. Sahabatnya itu langsung masuk ke ruangan dengan membuka pintu dengan kasar sebelum dokter yang ada di dalam menutup kembali pintunya.
Evan berjalan cepat menghampiri Zidan. Keduanya melangkah pelan, menyusul Sysuqi yang sudah masuk terlebih dahulu. Syauqi dan Evan berhenti dan berdiri di ambang pintu menatap Syauqi yang seperti orang kesetanan.
"Mama! Bangun Ma!" teriak Syauqi dengan bulir air mata yang sudah berderai. Tubuh Syauqi yang ingin mendekat pada Liana ditahan oleh Heri yang memeluk tubuhnya.
Para dokter dan perawat masih berusaha menyelamatkan nyawa Liana. Salah satu dokter yang tadi menahan tubuh Syauqi terus melakukan Cardiopulmonary Resuscitation (CPR) pada bagian d**a Liana.
Kini alat defibrilator tersebut dinyalakan. Gel di tempelkan ke atas alat pacu jantung tersebut. Salah satu dokter langsung menempelkan alat tersebut di atas d**a Liana.
"200 Joule! Shock!"
Ia masih berusaha menahan tubuh Syauqi yang kini meronta minta dilepaskan. Dengan ia yang memeluk tubuh Syauqi, maka Heri membelakangi istrinya. Ia tak bisa menyaksikan bagaimana kondisi istrinya.
Dokter melanjukannys dwnhsn teknik CPR. Setelah CPR yang kembali mereka lakukan ternyata masih belum mampu mengembalikan detak jantung Liana kembali normal. "250 Joule! Shock!"
Bunyi mesin itu semakin memekakkan telinga Syauqi. d**a mamanya diangkat paksa oleh alat defibrilasi tersebut. "Lepas Pa, lepas... Aku mau sama Mama. " Syauqi terus meronta minta dilepaskan. Ia ingin memegang tangan mamanya. Entah apa ini hanya perasaannya saja atau bagaimana, tapi seperti ada yang membisikkan ke telinganya bahwa mamanya sudah tak memiliki banyak waktu lagi.
Tiiiittttttttt!
Di langit sana, langit cerah telah berganti dengan langit oranye. Warna merah mulai muncul, membuat tanda bahwa mereka sebentar lagi akan terselimuti dengan gelapnya malam. Bunyi yang ditimbulkan dari mesin ternyata menggambarkan tanda bahwa jantung Liana sudah tak lagi berdetak. Teknik CPR dan juga penggunaan alat defibrilator ternyata juga tak mampu membantu mengembalikan detak jantung itu kembali. Sosok yang begitu Syauqi cintai di dunia ini, kini akhirnya pergi selamanya. Sosok yang akan membantunya dikala terpuruk kini menghilang. Sosok yang selalu bisa menenangkan dirinya kini sungguh telah tiada.
"MAMA!!" teriak Syauqi. Bulir air mata berhasil lolos dari pelupuk matanya.
"Pada pukul 17.46, pasien atas nama Liana Elizabeth, 37 tahun, telah meninggal dunia." Ujar dokter yang sejak tadi fokus menangani Liana kepada salah seorang perawat.
"LEPAS!!!"
Akhirnya pelukan Heri pada Syauqi terlepas. Syauqi langsung menghampiri sang mama yang kini sudah tak lagi bernyawa. Dokter dan perawat yang ada di sisi Liana pun berpindah tempat ke dekat pintu. Kepala mereka semuanya menunduk dalam.
Syauqi menangis. Ia menggenggam tangan mamanya dengan begitu erat. Tangannya yang bergetar mengusap lembut wajah Liana. Mengabsen satu persatu semua bagian wajah Liana. Air mata Syauqi menetes lagi. Bulir keringat juga diam-diam muncul di sekitar wajah Syauqi. "Ma.. Bangun. Jangan begini sama aku. Aku tahu Mama gak mungkin ninggalin aku. Katanya Mama akan sembuh, lalu kenapa? Kenapa tubuh Mama jadi dingin begni?"
"Syauqi," panggil Heri dengan napas tercekat.
Syauqi menoleh dengan penuh amarah. Ia langsung menghampiri dokter yang tadi telah menyatakan bahwa mamanya telah meninggal. "Sembuhin Mama saya! Anda bilang Mama saya masih punya waktu sekitar 2 bulan. Lalu kenapa? Kenapa Anda malah bilang bahwa Mama telah meninggal? KENAPA?!!"
"Syauqi, lepas Nak. Ini bukan salah dokter. Ini memang sudah takdir Yang Maha Kuasa." Tangan Heri meraih tangan Syauqi yang mencengkeram kerah dokter tersebut. Sementara sang dokter hanya bisa diam seribu bahasa menerima perlakuan Syauqi padanya. Sudah hal biasa baginya mendapat amarah dan makian dari keluarga pasien. Karena ia pun bisa apa? Ia sebagai dokter hanya bisa berusaha dan yang menentukan akhirnya adalah Tuhan.
Syauqi melepas kasar cengkeramannya pada sang dokter. Ia langsung menatap papanya. Lurus, dan tajam. Seperti pedang yang menghunus tubuh hingga terluka. "Papa juga bohong. Papa bohong sama aku. Kata Papa, kalau Mama masuk Islam maka Mama akan dilindungi sama Allah. Lalu mana? Mana Tuhan yang Papa maksud?! Kenapa Dia malah ambil Mama pergi disaat Mama sudah bersyahadat?! Mana Tuhan yang Papa maksud akan menyembuhkan penyakit Mama?! MANA?!!"
Plak!
Hancur sudah hati Syauqi. Bulir air matanya mengaliri pipi tirusnya. Wajahnya terbuang ke samping karena tamparan sang papa di pipi kanannya. Rasanya perih, sakit, dan nyeri. Ini adalah pertama kali Heri menampar pipinya.
Heri menatap telapak tangannya yang memerah setelah menampar pipi anaknya sendiri. Ia mengangkat tangannya untuk menyentuh wajah Syauqi yang berpaling ke samping. Sekuat itukah tamparannya? Saat tangannya sudah akan menyentuh wajah Syauqi, Syauqi malah memundurkan kakinya.
Tanpa mengucap sepatah kata apapun lagi, Syauqi keluar dari ruangan. Ia berlari dengan air mata berderai menuju belakang rumah sakit. Amarahnya yang menggebu di dalam d**a, membutakan mata dan hatinya atas keaadaan mamanya. Mencoba menerima kenyataan mamanya sudah tiada membuat Syauqi membenci semuanya.
Syauqi sampai di belakang rumah sakit. Sepi, karena ini sudah akan memasuki waktu maghrib sebentar lagi.
"ARGHHH!!!" teriak Syauqi dengan kencang. "BOHONG! SEMUANYA BOHONG!"
Syauqi terduduk lemas. Kakinya sudah tak kuat lagi menahan bobot tubuhnya. Ia terduduk di atas rumput hijau yang dingin dan berembun. "Kau bohong.. " lirih Syauqi. "Kau bilang tak akan memberikan ujian pada hamba-Mu yang tak mampu mereka lalui. Lalu kenapa? Kenapa Kau memberikan ujian seperti ini pada Mama? Kenapa Kau memberikan ujian ini untuk saya?"
اَللهُ اَكْبَر، اَللهُ اَكْبَر (2x)
Suara adzan kini mulai terdengar. Bisikan suara adzan menelusup masuk dengan jelas ke telinga Syauqi. Syauqi mengangkat kepalanya. Menatap langit yang gelap tanpa ada bintang.
أَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّاللهُ (2x)
"Berhenti... " ucap Syauqi dengan begitu lirih. "Berhenti menyuarakan suara itu semua karena saya gak butuh. Saya gak akan terpengaruh lagi. Karena semuanya bohong. Semua yang Kau katakan '5?-5:5'ah omong kosong!"
اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ (2x)
Syauqi menangis. Ia memukul-mukul dadanya yang terasa begitu menyesakkan.
"BERHENTI!" teriak Syauqi. Tangisnya sudah tidak bisa lagi ia tahan. Syauqi terus meraung dengan membekap telinganya erat. Berharap alunan adzan tak terdengar ke telinganya.
حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ (2)
Di tengah kondisi Syauqi, Zidan dan Evan berdiri mematung dengan jarak sekitar 5 meter di belakang Syauqi. Keduanya sama-sama ikut menitikkan air mata melihat sahabatnya yang tampak begitu menyedihkan.
"Dan.. Apa yang harus kita lakuin?" tanya Evan dengan sedih. Ia mengusap air mata yang mengaliri pipinya.
حَيَّ عَلَى الْفَلاَح (2)
Kaki Zidan melangkah maju dengan cepat. Air matanya menetes. Ia sungguh sedih dan hatinya ikut sakit melihat keadaan Syauqi seperti ini. Sudah ditinggal mamanya, kini hati Syauqi malah jatuh hingga ke dasar. Ia menyalahkan Tuhan atas semua yang terjadi. Seolah semua kesakitan yang terjadi adalah karena ulah Tuhan.
Zidan berjongkok di hadapan Syauqi. Tangannya mencengkeram erat pundak Syauqi. "Syauqi! Ente gak boleh kaya gini!"
"Lepas Dan, lepas! Suruh mereka berhenti! Gue gak mau dengerin suara itu!" teriak Syauqi dengan terus menekan telinganya.
اَللهُ اَكْبَر , اَللهُ اَكْبَر (1)
Zidan memeluk Syauqi dengan ikut terisak. "Jangan begini, ane mohon.. Jangan sakitin diri ente dengan bersikap begini."
لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهلاَ إِلَهَ إِلاَّالله (1x)
"Berhentiin suara itu Dan, gue mohon!"
"Udah selesai, Qi. Adzannya udah berhenti. Jangan kaya gini lagi ane mohon. Tante bisa sedih kalau ente bersikap kaya gini."
Tangan Syauqi terkulai lemas. Dagunya bertumpu di atas pundak Zidan yang sedang memeluknya. Tangisnya kembali menguar. Syauqi menangis dengan sesekali meraung di dalam pelukan Zidan.
"Mama.. "
"Sabar Qi, sabar..
Evan langsung menyusul kedua sahabatnya yang tengah berpelukan di bawah sinar rembulan. Ia ikut memeluk tubuh Syauqi seperti Zidan. Zidan dan Evan seolah ingin membantu melindungi hati Syauqi. Mencoba membantu sahabatnya agar menerima garis takdir yang telah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa.
Jika saja Mama tak melantunkan syahadatnya, mungkinkah ia masih ada di sini bersamaku?
-Flashback Off-
??????
Salma berjalan menyusuri jalan di kompleknya dengan perlahan. Ia menikmati embusan pelan angin yang diam-diam mencubit permukaan tangannya dan wajahnya yang tak tertutup hijab. Gelapnya malam tak membuat Salma takut, ia justru senang dan menikmati semuanya. Bagi Salma, ia malah lebih menyukai suasana malam. Suasana sepi di mana dunia ini terasa begitu tenang. Seolah semuanya sama dan selaras dengan hatinya yang sepi.
Salma telah tiba di blok rumahnya. Namun pandangannya teralihkan pada sosok laki-laki yang berjongkok di depan gerbang rumah. Salma tahu, itu adalah Syauqi. Laki-laki itu berjongkok di depan gerbang rumahnya. Kepalanya menunduk di dalam lekukan pahanya.
Salma menghentikan langkahnya. Ia berhenti sekitar 3 meter di antara rumahnya dan rumah Syauqi. Untuk beberapa detik Salma memperhatikan diamnya Syauqi.
"Syauqi?"
Sang empu nama pun mengangkat kepalanya. "Salma?" Ia terkesiap melihat gadis yang memakai pakaian gelap berdiri sekitar 2 meter dari tempatnya. Gadis itu berdiri di depan rumah pagar putih milik gadis itu.
"Kamu.. Lagi ngapain?"
"Nyari angin," ucap Syauqi.
"Oh..." Salma ber-oh ria. "Kalau gitu aku masuk duluan ya." Salma hendak membuka pagar rumahnya, tapi dihentikan oleh Syauqi yang memanggil namanya.
"Salma.."
Salma melepas pegangannya di pagar, lalu menoleh. "Ya?"
"Temani aku dengan berdiri di situ."
"Hm?" gumam Salma tak mengerti.
"Aku lagi butuh temen."
"Gak baik antar laki-laki dan perempuan yang bukan mahram berduaan. Apalagi ini sudah malam dan sekitar kita sudah sepi."
"Sebentar aja. Mungkin sekitar 15 menit."
Akhirnya Salma diam di tempatnya. Ia menuruti keinginan Syauqi yang menginginkannya untuk diam di tempat selama 15 menit. "Kamu lagi ada masalah?" tanya Salma.
Syauqi tersenyum tipis. "Kelihatan ya?"
Salma menggeleng, "Cuma nebak. Jadi beneran ada masalah?" tanyanya.
Syauqi tersenyum tipis, lagi. Ia tidak menjawab. Tidak mungkin bagi Syauqi menceritakan pada Salma bahwa ia bermasalah dengan suara adzan. Tidak mungkin bagi Syauqi menceritakan bahwa tadi ia telah meneriaki Tuhan. Syauqi terlalu takut dengan perbedaanya dengan Salma. Syauqi takut jika apa yang ia ceritakan malah membuat Salma enggan berteman dengannya.
Keduanya kembali terdiam. Salma yang menatap ke bawah, sementara Syauqi menatap Salma dengan diam-diam. Kerudung lebar yang dipakai gadis itu berkibar karena terpaan angin. Dengan pencahayaan yang tak banyak entah kenapa Salma tampak begitu cantik di bawah pancaran sinar rembulan. Apa yang sedang Syauqi rasakan saat ini? Apa ia mulai menyukai gadis cantik yang selalu terbalut dengan pakaian tertutup itu?
"Salma.."
"Ya?"
"Aku mau tanya sesuatu sama kamu."
"Apa?"
"Apa kamu punya temen yang non muslim?" tanya Syauqi masih dengan nada suara yang biasa.
Salma menoleh sesaat menatap Syauqi, dan kembali menundukkan kepalanya. "Punya, kenapa emang?"
"Cewek apa cowok?"
"Semuanya ada," jawab Salma dengan singkat. Ia masih belum menyadari mau di bawa kemana pertanyaan yang diajukan oleh Syauqi.
"Apa kamu senang berteman dengan mereka?"
Salma mengangguk tanpa ragu. Itu juga membuat hati Syauqi jadi lega. Setidaknya walau ia non muslim, Salma mau berteman dengannya. Non muslim? Ya, Syauqi memang bukan beragama Islam. Syauqi beragama katolik. Berbeda dengan ayah dan juga adiknya. Makanya, Syauqi benci, mengingat bahwa ia berbeda dengan keluarganya.
"Kalau sama yang cowok, apa kamu pernah suka sama dia?"
Teman cowok non muslim yang Salma suka? Sepertinya tidak ada. Karena begitu banyak waktu yang Salma habiskan di dalam lingkungan pesantren. Singatnya, Salma bahkan merasa bahwa belum pernah ada laki-laki yang ia sukai. Tapi seketika Salma jadi ingat kapten tim basket yang pernah menembaknya saat Salma kelas 2 SMA. "Dulu ada yang ngajak aku pacaran saat kelas 2, tapi aku nolak."
Mata Syauqi langsung memicing menatap Salma yang menundukkan kepalanya. Rasanya sedikit nyeri saat mendengar penjelasan Salma. "Karena dia non muslim?"
Salma kembali menoleh sedetik pada Syauqi. Aneh rasanya dengan perbincangan ia dengan Syauqi saat ini. Karena wajah Syauqi yang seketika jadi berubah serius. "Karena emang aku nggak mau pacaran. Dan kalau muslim atau nggaknya... saat itu aku nggak terlalu memikirkannya."
"Terus kalau ada cowok non muslim yang sekarang suka sama kamu, gimana?"
Salma menoleh dan mengerutkan keningnya. "Kenapa kita jadi bahas beginian?"
"Penasaran aja sama jawaban kamu." Tanpa disadari, tangan Syauqi sudah saling terpaut dan mengepal menunggu jawaban dari bibir Salma.
"Aku akan minta dia buat ngejauh."
"Kalau kamu yang suka sama dia?"
"Aku nggak akan pernah suka sama dia."
"Kalau kamu beneran sampai jatuh hati sama dia?" Syauqi masih belum menyerah dengan pertanyaannya. Syauqi mengharapkan jawaban lain dari bibir Salma.
"Aku akan jauhin dia, dan buang rasa sukaku jauh-jauh buat dia. Karena bagaimana pun gak akan mungkin buat aku bersatu sama dia, kecuali dia mau masuk dalam agama Islam."
Jawaban Salma barusan membuat senyum sudut Syauqi terangkat. Ia menyandarkan punggungnya pada pagar rumahnya yang berwarna hitam. "Waah... kok aku sedih ya ngedengernya?" Syauqi terkekeh sambil menyentuh dadanya. Kenapa rasanya jadi seperti ia sedang patah hati? Syauqi merasa hatinya saat ini sedang tidak baik-baik saja. Jantungnya berdebar cepat, lebih dari biasanya.
"Kenapa kamu yang sedih?"
"Aku tiba-tiba jadi ngebayangin endingnya, kalau sampai hal itu beneran terjadi."
Salma tersenyum tipis menatap Syauqi, lalu kembali menurunkan pandangannya. "Itu nggak akan terjadi. Cinta beda agama, rasanya gak mungkin." Salma menggelengkan kepalanya. Tidak pernah sekalipun ia berpikir akan menyukai laki-laki yang memiliki aqidah berbeda darinya.
Syauqi tertawa. Entah kenapa hatinya merasa sakit. Entah kenapa hatinya merasa sesak. Tidak ada satupun dari jawaban Salma yang ia sukai. Walaupun sejak awal ia sudah bisa menebak jika Salma akan mengatakan hal itu.
"Tapi kamu bener. Cinta beda agama hanya akan merepotkan dan menyakitkan." Ujar Syauqi dengan tersenyum pada Salma. Senyum yang Salma lihat bukanlah senyum tulus. Lebih kepada.. miris. Salma yang melihat ekspresi Syauqi, hanya bisa diam dengan benak bertanya-tanya.
???