12 | Her Smile

2638 Kata
Salma berdiri di samping motornya sambil menunggu mesin motornya yang sedang dipanaskan. Salma mengenakan gamis berwarna hijau army dengan renda putih berukuran 1 cm yang melingkari pergelangan tangannya. Menambah kesan manis dan menambah sedikit warna untuk Salma yang selalu menyukai pakaian tanpa ada hiasan apapun. "Non Salma," Salma menoleh kepada Pak Tarjo yang memanggilnya. "Iya Pak, kenapa?" Pak Tarjo semakin mendekat ke arah Salma. "Non Salma bade kamana? Mending naik mobil aja atuh? Motornya kan belum sempet di servis acan," kata Pak Tarjo dengan mencampur bahasa Indonesia dengan bahasa Sunda. Salma tersenyum geli. Walau Pak Tarjo kerap menggunakan bahasa sunda dalam percakapan sehari-hari, tapi Salma masih bisa mengerti sedikit-sedikit. Setidaknya dalam satu kalimat Salma bisa menangkap 2 maksud Pak Tarjo. "Oh, gak papa kok Pak. InsyaAllah masih aman untuk dipakai. Lagian Salma cuma mau ke kampus doang. Macet kalau harus pakai mobil." Ujar Salma dengan tersenyum tipis. "Tapi teh kampusnya Non Salma jauh. Bapak takut motornya kenapa-napa di jalan aja, nanti kan jadi nyusahin Non Salma nya." "Gak papa kok Pak. InsyaAllah, motor ini aman sampai aku pulang kuliah." Salma memakai jaket dan helm putihnya. Sudah siap untuk berangkat kuliah siang ini. "Ya udah kalau gitu. Nanti kalau ada apa-apa, langsung hubungi Pak Tarjo ya Non." Salma tersenyum lalu mengangguk. "Salma berangkat ya Pak, assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam Non, hati-hati ya.." Salma mengangguk kecil lalu menarik gas motornya keluar dari pagar. Tapi dalam sesaat ia berhenti saat telah melewati pagar rumahnya. Mata Salma berhenti pada sosok lelaki yang sedang mencuci motornya di halaman rumahnya. Pagar rumah tersebut tak tertutup rapat melainkan terbuka lebar. Salma terkesiap saat mata Syauqi balas menatapnya. Salma buru-buru menurunkan pandangannya. 3 detik tak ada pergerakan dari Salma. Gadis itu masih diam di atas motornya. Hingga di detik kelima Salma mengangkat pandangan matanya, dan melihat Syauqi yang sibuk lagi dengan motornya. Salma mengerutkan keningnya. Bingung sendiri dengan sikap Syauqi. Tadi pun saat ia bertemu dengan Syauqi di sekolah Aziz dan Farhan, laki-laki itu hanya diam saja. Tak seperti biasanya yang selalu tersenyum cerah dan tangan melambai mengatakan kata 'hai'. Semalam pun begitu, setelah mereka membicarakan topik yang menurut Salma sangat membingungkan, Syauqi langsung bangkit berdiri begitu saja. Tanpa mengucapkan sepatah kata apapun pada Salma. Padahal siapa juga yang semalam minta ditemani selama 15 menit? Jadi siapa yang seharusnya marah? Salma menggelengkan kepalanya saat sadar ia terlalu memikirkan alasan Syauqi mendiaminya hari ini. Salma mengembuskan napasnya lalu menarik gas motornya. Meninggalkan debu tipis di belakangnya. Syauqi, yang menyadari kepergian Salma dari ekor matanya langsung keluar melewati pagar rumahnya. Matanya menatap kepergian Salma bersama motor putih gadis itu. "Ih!! Apaan sih Qi?!" Syauqi langsung mengacak rambutnya. Kesal sendiri dengan sikapnya pada Salma. "Ngapain juga lo diemin Salma kaya tadi???" tanya Syauqi gemas pada dirinya sendiri. "Udah yang nanya lo, ngapain juga lo marah sama Salma karena jawaban dia? Masih untung dijawab. Najis, males banget gue sama yang namanya Syauqi. Lo mah, kaya anak alay aja! Pasti Salma mikir yang aneh-aneh, deh. Aelah Syauqi!!" Syauqi mencak-mencak kesal di tengah jalan. Ia jadi menyesal sendiri karena tiba-tiba mendiami Salma. Hanya karena Syauqi merasa kecewa mendengar penjelasan dari Salma semalam atas pertanyaannya. "Memiliki rasa cinta kepada sesama umat manusia adalah sebuah fitrah yang diberikan oleh Allah. Baik rasa cinta kepada keluarga, saudara, sahabat, maupun rasa cinta antar lelaki dan perempuan yang bukan mahram sekalipun. Tapi yang paling penting untuk diperhatikan adalah bagaimana kita bisa mengolah rasa cinta itu agar tidak menjerumuskan kita kepada lahar dosa. Terutama dengan rasa kita terhadap lawan jenis. Seringkali kita menganggap perasaan cinta pada lawan jenis bukanlah perkara besar. Padahal jika kita mau telaah bersama, justru rasa itulah yang bermula menimbulkan dosa, dan naudzubillah jika sampai mengantarkan kita pada dosa zina." "Sehingga kita sebagai seorang perempuan harus bisa menjaga kondisi hati kita agar tak dikuasai oleh perasaan semu menyukai seseorang yang belum sah menjadi pendamping hidup kita. Jangan sampai memiliki rasa suka dan cinta kita pada seseorang mengurangi rasa cinta kita terhadap Allah." Semua perempuan yang melingkar itu kompak mengangguk. Menandakan bahwa mereka mengerti dan menyerap atas apa yang tadi telah disampaikan oleh murabbiah (guru perempuan) nya. "Silahkan jika ada yang teman-teman ingin tanyakan atau diceritakan." Ibu Hanum. Wanita berumur 45 tahun yang sudah memiliki 4 orang anak ini adalah murobbiah Salma dan kesepuluh temannya yang lain. Setiap hari jumat, disaat laki-laki melaksanakan solat jumatan, maka setiap kali itu pula jadwal Salma melakukan halaqoh/liqo/mentoring mingguan. Materi yang diberikan oleh Ibu Hanum pun bervariasi setiap minggungnya. Ada tentang fiqih, aqidah, islam, dan syariah. "Salma," Salma langsung terkesiap melihat tatapan Bu Hanum untuknya. Bu Hanum menatap Salma dengan alis terangkat sebelah. "Ada yang ingin ditanyakan?" Salma mengerjap. "Eh, gak.. Gak ada, Bu." Kenapa ia tiba-tiba jadi bengong begini? Ibu Hanum tersenyum. Senyumnya begitu menyejukkan. Melihat Ibu Hanum, maka akan membuat Salma seperti melihat ibunya kembali. Sorot mata yang meneduhkan, senyum yang menenangkan, serta tutur kata yang begitu lembut. "Kalau yang lain, ada yang ingin ditanyakan?" "Saya Bu," jawab gadis yang memakai kerudung berwarna hitam. "Sebatas mana antara laki-laki dan perempuan bisa bersahabat tanpa harus melewati batas hati yang seharusnya?" Ibu Hanum tersenyum, lagi. Ah, senyum yang begitu Salma sukai. Rasanya hanya dengan melihat senyum Ibu Hanum sudah mampu membuat gelisah Salma menguar pergi. "Sebelum Ibu jawab, apa ada yang mau menjawab pertanyaan dari Ani?" Semuanya diam. Hening, tak ada yang menjawab. Entah bingung mau menjawab apa, atau takut dan malu mengungkapkan pendapatnya. "Sulit memisahkan antara jalinan teman dan sahabat dengan rasa sayang dan perhatian. Karena yang namanya berteman apalagi bersahabat, pasti akan membuat kita menyayangi orang tersebut, ya walaupun sayang sebagai sahabat. Juga ketika kita memiliki sahabat, pasti kita akan jadi lebih perhatian dengan mereka. Itulah yang harus dijadikan pelajaran dan perhatian bagi kita seorang perempuan yang selalu mendahulukan soal perasaan. Di sinilah letak kita sebagai seorang perempuan harus mampu menjaga hati ketika kita sendiri sebagai seorang perempuan Allah ciptakan sebagai sosok yang harus disayang dan dicintai. Jika hati kita lemah karena sikap sayang dan perhatian yang diberikan oleh sahabat kita maka lama kelamaan rasa lain akan timbul pada hati kita. Jika kita tidak mampu menghapusnya maka hindari dan cegah sebelum perasaan yang tak seharusnya hadir." Apa yang dikatakan Ibu Hanum memang benar. Terkadang sering kali kita menganggap bahwa bersahabat antara laki-laki dan perempuan adalah hal yang lumrah dan biasa. Kita kurang menyadari bahwa yang namanya sahabat pasti akan sering bersama, menceritakan pada sahabat mengenai apa yang kita rasakan, makan bareng, jalan bareng, dan lain sebagainya. Kita terlalu menganggap diri kita berada di zona aman ketika bersahabat dengan lawan jenis. Rasa sayang dan perhatiannya terkadang membuat kita sebagai kaum hawa terhanyut dan begitu menikmatinya. Hingga tak sadar ada perasaan berbeda yang timbul dalam hati. Perasaan yang membuat kita jadi lebih sering memikirkannya. Perasaan yang membuat kita jadi lebih sering bersandar padanya. Hingga akhirnya kita tahu bahwa ternyata kita mencintainya. "Kalian boleh berteman dengan siapa saja. Tapi ketika bersahabat atau berteman dengan sangat dekat dengan lawan jenis maka kalian harus berhati-hati. Jangan sampai kalian terjebak dalam perasaan cinta kepada seseorang yang belum sah menjadi suami kalian. Ketika rasa cinta itu timbul dan kalian tidak bisa menyimpannya dengan rapih itu hanya akan merusak cinta kalian pada Allah. Yang seharusnya kalian mengingat Allah, kalian jadi lebih sering mengingat seseorang yang kalian cintai." "Maka dari itu berhati-hatilah. Jika kalian sudah terlanjur memiliki teman dekat atau sahabat lawan jenis, maka kalian harus bisa membuat hijab. Buat batasan yang kokoh dan kuat agar perasaana kalian tak hanyut untuknya. Kalian sudah Ibu anggap sebagai anak Ibu. Ibu harap kalian akan mendapatkan jodoh yang terbaik dari Allah dan senantiasa Allah lindungi dari orang-orang yang memiliki niat buruk dan jahat pada kalian. Aamiin." Salma dan kesepuluh temannya kompak tersenyum dan mengucap 'aamiin'. Apa yang disampaikan Ibu Hanum dapat dicerna dan dipahami dengan baik oleh Salma dan teman-temannya. Pukul 18.45, Salma melangkah keluar dari toko roti yang ada tak jauh dari kampusnya. Karena tugas kelompok yang harus dikumpulkan besok, menyebabkan Salma dan teman sekelompoknya harus diskusi bersama di halaman koridor sampai waktu maghrib. Walau sudah malam, kampusnya pun tak pernah sepi karena ada sebagian mahasiswa yang mengambil kelas karyawan jika mereka menyambi bekerja di pagi hari. Menurut Salma, mahasiswa kelas malam memiliki tingkat kespesialan tersendiri. Mereka yang masih mau belajar dan menuntut ilmu dengan tekanan harus bekerja sampai sore setiap harinya. Kuliah dengan hasil jeri payah sendiri, tak semuanya mampu melakukan hal tersebut. Salma kembali naik ke motornya, dan menarik gas motornya di antara keramaian jalan Jakarta. Kebisingan suara kendaraan, juga sayu-sayu terdengar suara jangkrik dan embusan angin dingin yang menerpa kulit Salma. Saat sudah 10 menit dalam perjalananbaru, sepeda motornya tiba-tiba roda berhenti berputar. Salma kembali men-stater motornya, namun gagal. "Astaghfirullah, kenapa ini?" Dengan cepat Salma langsung turun dari motornya, dan menepikan motornya ke pinggir jalan. Untungnya Salma tidak mengambil jalan tengah, sehingga saat motornya mati tidak terlalu membuat Salma kerepotan dan panik. Salma berdiri di atas trotoar. Matanya menatap bingung pada motor putihnya yang sejak tadi sudah ia coba di stater tetapi selalu gagal. Salma mendesah panjang karena bingung. Harusnya Salma mendengarkan Pak Tarjo yang menyuruhnya membawa mobil. Salma langsung mengeluarkan handphonenya dari dalam tas. Ia harus segera menghubungi Pak Tarjo. "Ya Allah, lowbat." Salma meringis dan mengetuk handphonenya gusar ke telapak tangannya. Handphonenya sudah mati karena kehabisan baterai. Ia berpikir sejenak, mau ia bawa ke mana motornya itu. Salma memasuki handphonenya kembali, dan menatap ke segala arah. Mau tidak mau, ia harus membawa motornya ke bengkel seorang diri. Mata Salma teralihkan saat melihat beberapa orang lelaki mendekat ke arahnya. Salma langsung menelan gugup salivanya. Salah satu dari tiga orang lelaki tersebut bertubuh gemuk dengan wajah yang penuh senyum akan nafsu. Salma sontak mundur selangkah. Kini ia bahkan mendengar kekehan dari ketiga pria tersebut. Rasanya begitu menyeramkan dan menakutkan. Salma mencoba menunduk, menghindari tatapan dari ketiga pria tersebut. Tangannya mulai bergetar ketakutan. Ia sampai menggenggam erat handphone yang ada di tangannya. Hingga akhirnya ia bisa bernapas lega, begitu ketiga pria tadi hanya berjalan begitu saja melewatinya. "Hhhh... " Salma langsung berjongkok lemas di sisi motornya. Ia sungguh takut malam ini. Keadaan sekitarnya juga sudah sepi. "Salma?" Salma mengangkat kepalanya perlahan. Sepasang sepatu snikers, celana jeans, kemeja flanel berwarna navy yang terbuka dengan kaos putih di dalamnya, hingga wajah yang Salma kenali dengan jelas. "Syauqi?" Syauqi langsung ikut berjongkok di depan Salma. "Kamu ngapain di sini, malem-malem?" "Motorku mogok," jawab Salma pelan. Ia kembali menatap ke aspal yang diinjak kakinya.  Keterkejutan karena ketiga pria tadi masih belum bisa menghilangkan gemetar di tangan Salma. Ini adalah pertama kalinya pengalaman Salma berada di luar rumah ketika melewati maghrib. Biasanya, Salma tak pernah pergi ke luar rumah selain hanya ke warung atau supermarket yang ada di dekat rumahnya saja. "Mogok? Karena apa?" Salma menggelengkan kepalanya lemah. Sementara mata Syauqi yang menangkap getaran di tangan Salma mencoba menyentuhnya. Namun ia urungkan begitu ia ingat bahwa Salma tak suka disentuh oleh lawan jenis. "Kamu gak papa? Tangan kamu bergetar," kata Syauqi dengan memperhatikan wajah Salma yang masih menunduk. "Takut," lirih Salma pelan. "Berdirilah. Di dekat sini ada bengkel motor. Biar aku bantu bawa motor kamu ke bengkel." Salma mengangkat kepalanya perlahan. Ia menangkap seutas senyum yang terpampang di wajah Syauqi. "Pakai apa? Kan mogok." "Dituntun lah. Ayo berdiri, atau mau aku bantu berdiri?" tanya Syauqi dengan mengulurkan tangannya pada Salma. "Gak usah, aku bisa sendiri." Tolaknya halus dan akhirnya bangkit berdiri sendiri. Syauqi tersenyum tipis mendapat penolakan dari Salma. Ia pun ikut berdiri, dan beralih tempat dengan Salma. Syauqi yang menuntun motor Salma, sedangkan Salma berjalan di samping Syauqi. "Kamu kenapa bisa ada di sini?" tanya Salma membuka percakapan mereka kembali yang telah hening beberapa saat. "Ban motorku tadi kempes. Untung tadi gak jauh dari bengkel, jadi masih bisa aman. Terus karena bosen, aku jadi jalan-jalan dulu deh, dan liat kamu jongkok di samping motor." Salma mengangguk kecil, lalu tak mengeluarkan komentar. Sementara Syauqi juga ikut mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Bibirnya memang gatal ingin bicara banyak hal dengan Salma, namun celotehannya itu ia tahan agar tak membuat Salma merasa tak nyaman. Karena ia tahu, Salma bukanlah gadis yang banyak bicara. Hingga diamnya mereka berdua, akhirnya motor tersebut berhasil tiba di bengkel. Motor ninja milik Syauqi juga masih terparkir di sana. Terlihat dari ban belakangnya yang sedang diperbaiki. "Duduk," titah Syauqi pada Salma yang masih saja berdiri. Ia menunjuk kursi merah yang berada tak jauh dari posisi Salma berdiri. Salma akhirnya duduk, sementara Syauqi membicarakan perihal motor Salma pada montir tersebut. "Waduh, ini mah businya harus diganti Mas. Akinya juga, sama olinya juga udah kering ini." Salma melumat bibirnya. Ia mengangguk kecil saat melihat Syauqi yang menatapnya dengan menunggu jawaban darinya. Akhirnya Salma mengangguk pasrah. "Ganti semuanya aja, Mas. Yang penting motornya bisa dipakai." "Tapi sebelumnya kami mau mohon maaf nih, Mas. Barangnya belum ada semua tuh, Mas. Kalau mau lengkap baru bisa besok. Barangnya masih dalam perjalanan soalnya." "Loh terus?" "Motornya ditinggal di sini aja, Mas. Besok kalau udah selesai di servis, silahkan di ambil." "Kalau ditinggal, saya pulangnya naik apa nanti?" pertanyaan Salma langsung membuat Syauqi dan montir tersebut menatap Salma. "Neng temennya si Mas ini kan?" Salma mengangguk. "Kalau gitu pulang bareng aja sama Mas nya, motornya si Mas udah selesai ganti ban, kok." "Iya, kamu bisa pulang naik motor sama aku. Besok biar Pak Tarjo yang ambil motor kamu di sini." Salma menggeleng lemah lalu menundukkan kepalanya. Tak mungkin jika ia harus naik motor berdua dengan Syauqi. Memikirkan cara lain akhirnya Salma berdiri dan menghampiri Syauqi. "Aku, boleh pinjem handphone kamu? Handphone ku mati karena lowbat." "Yah maaf, tapi handphone ku juga lowbat." Salma menghela napas gusar. Matanya bergeser pada montir yang masih menunggu jawaban dari Salma maupun Syauqi. "Kalau Abang, boleh saya pinjem handphonenya sebentar? Saya mau coba telepon ayah saya." "Waduh, belum isi pulsa tuh Neng. Nol rupiah, jadi gak bisa buat telepon." Salma menggigit bibir bawahnya. "Kalau gitu motornya saya titip di sini ya Bang. Saya pulang naik taksi aja." "Loh kok taksi? Kamu kan bisa pulang bareng aku. Aku akan antar kamu dengan aman sampai rumah. Aku janji," ucap Syauqi mencoba meyakinkan Salma. Salma menggeleng. "Gak papa, Qi. Aku naik taksi aja. Mumpung belum terlalu malam juga." "Kalau gitu aku ikut kamu naik taksi." "Loh, kenapa? Kamu kan punya motor sendiri, kenapa juga ikut aku pulang naik taksi?" "Kalau kamu gak mau aku antar pakai motor, maka biar aku ikut kamu naik taksi. Aku bisa ambil motornya besok. Dan yang paling penting, aku harus pastikan kamu selamat sampai rumah." Tanpa Salma dan Syauqi sadari, montir yang masih berdiri di sana, mesam mesem sendiri menatap ke arah keduanya. Lucu dan manis. Taksi itu bergerak meninggalkan bengkel dalam keadaan sunyi. Baik Salma maupun Syauqi tidak ada yang membuka suara. Keduanya juga duduk dengan di belakang dengan masing-masing menatap ke arah jendela. Rintik hujan mulai mengguyur jalanan Jakarta malam itu. "Salma.." Salma sedikit menoleh, "Ya?" lalu kembali menghadap ke jendela. "Hmm.." Bukannya bicara, Syauqi malah berpikir. "Gak jadi deh," ucapnya pasrah. Salma tersenyum tipis mendengarnya. "Aku tuh sebenernya pengen ngomong banyak sama kamu. Tapi dari tadi aku tahan karena takut kamu malah ngerasa gak nyaman kalau aku banyak bicara." "Ngomong aja." Syauqi menatap Salma dari samping. Antara terkejut juga tersenyum senang. "Oh ya?" Salma mengangguk kecil. Di saat Salma sudah mau mendengarkan, ia malah tak mendengar suara apapun dari Syauqi. Syauqi malah diam tak bicara apapun. Katanya mau bicara banyak? Lalu kenapa malah diam? "Gak jadi ngomong?" tanya Salma memecah lamunan Syauqi. Syauqi menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Aku udah coba inget-inget yang mau aku omongin, tapi ternyata malah lupa semua." Salma langsung menoleh dan tersenyum geli. Ia memiringkan kepalanya lalu bertanya. "Bisa gitu, ya?" Tanpa sadar Salma malah tertawa kecil. Merasa lucu dengan Syauqi. "Iya, bisa." Mata Syauqi tak lepas memandangi wajah Salma dari samping. Sepertinya, ini adalah pertama kalinya Syauqi melihat Salma tertawa? Benar, kan? Dan mengetahui alasan Salma tertawa karenanya membuat Syauqi jadi ikut melengkungkan sebuah senyuman.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN