"Aku pulang!" Syauqi masuk ke dalam rumahnya dengan wajah cerah bahagia. Tak sadar saking senangnya ia malah menutup kencang pintu rumahnya.
"Ish, Abang! Kenapa sih, nutup pintunya sampai dibanting kaya gitu?!" Aziz langsung melayangkan protesnya terhadap Syauqi, berbeda Heri yang hanya menghela napas panjang karena kelakuan putera sulungnya itu.
Syauqi tak menjawab. Ia melangkah menuju sofa dan menggeser paksa b****g Aziz hingga adiknya itu berada di ujung sofa. "Pamparapam.. pampampam.." Ia malah bersenandung bahagia dan mengambil tempat di samping Aziz yang terduduk di sofa.
"Kok suara motornya gak kedengeran?" tanya Heri.
"Di bengkel, bannya bocor."
"Terus mukanya kenapa bahagia banget gitu? Habis dapet jackpot apaan?"
"Aku pulang bareng Salma tadi, naik taksi." Jelas Syauqi dengan binar bahagia. Ia masih mengingat jelas kalimat Salma terakhir.
Syauqi makasih ya..
Simple banget kan? Bahkan dalam kalimat Salma tak ada mengatakan lontaran pujian atau kalimat yang lain. Hanya ucapan terima kasih. Tapi sesimple itu jugalah Syauqi merasa senang.
"Salma anaknya Pak Teguh?" Syauqi mengangguk dengan senyum yang masih belum hilang dari wajahnya.
"Kok bisa?" tanya Heri bingung.
"Motornya juga rusak. Karena Salma gak mau aku bonceng naik motor, jadinya aku anter dia naik taksi deh."
"Yee! Modus ya kamu?"
"Iya Pa, pasti Bang Syauqi modus. Kakak cantik mana mau diajak sama orang model begini?" Aziz menunjuk Syauqi dengan dagunya.
"Enak aja. Aziz sama Papa nih, malah nuduh yang gak gak aja."
Heri memicingkan matanya menatap Syauqi. "Sejak kapan kamu deket sama anaknya Pak Teguh?"
Belum menjawab, Syauqi malah balik memicingkan matanya pada Heri. Membuat Heri berdecak pelan karena ulah Syauqi. Syauqi terkekeh, lalu menjawab. "Papa kepo ya?" tanya Syauqi dengan nada jail. Alisnya naik turun menggoda sang papa.
"Hish, kamu itu! Udah ah, Papa tidur duluan ya. Capek," ucapnya. Ia bangkit berdiri, mengecup puncak kepala Aziz dan menepuk bahu Syauqi. Ia pergi meninggalkan Aziz dan Syauqi yang masih duduk bersama di sofa.
Sepeninggalnya Heri, Syauqi membuka handphonenya dan memainkannya. Ia membuka akun intagramnya. Ingin mengecek notif follback dari Salma muncul di sana. Tapi yang ada malah nihil. Salma belum memfollback akun Syauqi yang bahkan sudah follow dirinya dari 2 minggu yang lalu.
Merasa ada yang memperhatikan, Syauqi menolehkan kepalanya ke samping. Ia mendapati Aziz yang memicingkan mata menatapnya.
"Abang udah ganteng dari lahir. Gak usah diliatin kaya gitu," kata Syauqi dengan pedenya.
Aziz menatap geram ke arah Syauqi dan mendesah pasrah mengingat orang di depannya ini adalah abangnya. Melihat ekspresi Aziz yang seperti itu, membuat Syauqi menoel hidung Aziz gemas.
"Kenapa sih kamu?"
"Abang curang," kata Aziz.
Syauqi mendelik menatap Aziz. "Kok Abang dibilang curang? Emang Abang ngapain?"
"Abang udah deket sama Kak Salma, tapi aku belum deket sama Aan."
"DL (derita lo)," kata Syauqi meledek.
"Ish Abang!" pekik Aziz, membuat Syauqi langsung menutup kedua telinganya.
"Berisik ih, ya ampun Ziz. Papa lagi istirahat, kamu mah malah teriak-teriak."
"Makanya jadi Abang jangan ngeselin. Aku kan lagi curhat serius."
"Bahahaha.. " tawa Syauqi langsung menguar. Hingga akhirnya Syauqi menghentikan tawanya, karena melihat ekspresi marah adiknya yang tak kunjung hilang dari wajah menggemaskannya itu.
"Abang ngetawain aku?" Aziz bertanya dengan nada kesal pada Syauqi.
"Iyalah ngetawain kamu, masa setan. Kan cuma ada kamu sama Abang di sini." Syauqi yang tadi sempat menghentikkan tawanya sekarang kembali tertawa. Syauqi bahkan sampai menitikkan air matanya karena berhasil membuat adiknya itu kesal setengah mati.
Abang terkutuk memang, bahagia di atas penderitaan adiknya.
Sadar dengan tatapan s***s adiknya, membuat Syauqi kembali berdeham dan menetralkan mimik wajahnya. Syauqi menarik adiknya ke pangkuannya dan memeluknya. "Hehe, Abang cuma bercanda. Maaf ya Aziz..."
Aziz memukul lengan abangnya pelan dengan tangan kecilnya, karena suara yang dikeluarkan Syauqi kelewat lebay.
"Aduh, Abang dipukul! Gimana gimana adik Abang? Apa sih yang mau diceritain?" Syauqi menampilkan wajah sedihnya yang kembali terkesan di buat-buat.
"Gak jadi!"
Syauqi terkekeh mendengar jawaban adiknya. "Kok jahat sih, adik Abang ini.." Aziz mengaduh sakit karena Syauqi mencubit gemas kedua pipinya.
"Makanya jangan iseng apa, Abang mah."
Syauqi terkekeh, lalu menarik pelan hidung adiknya membuat Aziz kembali mengaduh sakit. "Jadi apa yang mau kamu ceritakan, adik yang paling Abang sayang?" Syauqi bertanya pada adiknya dengan satu alis yang di naik turunkan.
Tiga detik sudah Aziz melihat Syauqi menaik turunkan alisnya seperti itu. Aziz mengembuskan napasnya dan menggelengkan kepaanya. Lelah rasanya jika harus menanggapi abangnya terus-terusan seperti itu. Seserius apa pun ia mengajak Syauqi bicara, pasti ujungnya Syauqi akan selalu bercanda.
"Kayaknya Abang harus istirahat deh, makin gak jelas." Syauqi kembali terkekeh melihat respon menggemaskan dari adiknya itu.
Aziz turun dari pangkuan Syauqi dan berdiri. "Aku ke kamar duluan, mau bobo." Tapi sebelum Aziz melangkah pergi, Syauqi menarik lengan Aziz ke arahnya dan mencium pipi kiri Aziz, cepat.
Aziz yang merasa pipinya dicium oleh Syauqi, sontak langsung membuatnya menyentuh pipinya. "Main cium-cium aja sih. Abang kan belum cuci muka," ucap Aziz dengan kesal. Ia segera memutar tubuhnya, dan pergi meninggalkan Syauqi yang sibuk tertawa puas.
"Aziz, tungguin Abang dong. Kita naik bareng." Syauqi langsung berlari kecil menghampiri Aziz yang baru menaiki 3 anak tangga. Ia langsung menggendong tubuh Aziz cepat, membuat Aziz berteriak kaget.
"Besok akan Abang kasih tahu lagi cara yang lain untuk menaklukan diamnya Farhan."
Farhan segera berlari ke bawah begitu mendengar suara mobil abinya, Teguh, pulang lebih awal malam ini. Ia membawa buku gambar berukuran A3 di tangannya dengan wajah berseri. Ia akan menunjukkan pada abinya, hasil menggambarnya hari ini di sekolah. Hasil gambarnya bahkan mendapat nilai 10 dari gurunya.
"Abi!" seru Farhan saat melihat Teguh telah masuk ke dalam rumah. Ia langsung berhambur ke tubuh Teguh, membuat Teguh sedikit tersentak karena kaget.
Teguh melepas pelukan Farhan di pinggangnya dengan pelan, dan menggeser tubuh kecil Farhan sedikit menjauh. "Abi cape, Farhan. Besok aja ya," dengan segera, Teguh kembali melanjutkan langkahnya menuju kamar pribadinya. Kepala Farhan langsung tertunduk begitu Teguh pergi. Tangannya memegang lemas buku gambar yang ingin sekali ia tunjukkan pada abinya itu.
Salma yang tahu Abinya pulang lebih awal, juga ikut turun ke bawah dan menemukan adiknya yang tampak tertunduk murung. "Farhan, kenapa?" tanya Salma dengan bibir menyunggingkan senyuman.
"Kak, Abi nggak sayang sama Farhan ya?" tanya dengan wajah sedihnya.
Salma yang mendengar pertanyaan itu dari adiknya pun langsung kehilangan senyumnya, namun sedetik kemudian ia kembali tersenyum. "Kamu kok ngomongnya gitu?"
"Habisnya Abi gak mau liat hasil gambar aku. Padahal aku mau bilang kalau aku dapet nilai bagus," kata Farhan.
Salma langsung mengelus lembut puncak kepala Farhan. "Abi hanya sedang kecapean, Farhan. Besok pagi kita kasih liat lagi ke Abi ya?"
"Dari dulu kakak selalu bilang begitu," ucap Farhan dengan suara yang serak namun bernada tinggi pada Salma. Ia langsung memutar tubuhnya meninggalkan sang kakak yang menatap kepergiannya dengan khawatir tanpa tahu harus berbuat apa.
Salma jadi ingat beberapa hari yang lalu, saat pihak sekolah menghubunginya dan mengatakan bahwa di sekolah Farhan sangatlah pendiam dan menutup diri dari guru bahkan teman-temannya. Salma menghela napasnya gusar, mendengar Farhan bicara seperti itu padanya membuat hatinya merasa tak enak.
Teguh melepas kaca matanya, dan membereskan berkas yang sudah selesai ia baca. Pria itu melangkah keluar kamarnya dan menuju dapur untuk mengambil minum. Keadaan rumahnya sudah sangat sepi, kedua anaknya sudah masuk ke kamarnya masing-masing, sedangkan anak sulungnya, Ali, memang sudah tinggal secara mandiri.
Teguh meminum air yang telah ia tuang ke dalam gelasnya. Pandangannya teralihkan pada kertas putih yang tertekuk berada di bawah meja makannya. Tanpa rasa penasaran, Teguh hanya mengambil kertas itu dan membuangnya ke dalam tempat sampah. Padahal jika Teguh ingin melihatnya sedetik saja, itu adalah hasil gambar yang kemarin ingin diperlihatkan oleh Farhan kepadanya.
Teguh menghentikan langkahnya begitu tiba di bawah tangga. Matanya menatap kamar milik Salma dan Farhan yang terlihat dari lantai 1. Lebih tepatnya ia menatap ke arah kamar milik Salma. Pria berumur 48 tahun itu menaiki semua anak tangga dan kini tiba di antara kamar Salma dan juga Farhan.
Teguh memilih untuk mengecek kamar Salma. Ia membuka pintu yang tak terkunci itu dengan perlahan. Kedua kakinya melangkah masuk. Ia tersenyum tipis melihat anak gadisnya yang tertidur dengan nyaman dan tenang. Kamar Salma juga sudah berada dalam keadaan gelap, sehingga tak lama untuknya berada di dalam kamar Salma. Teguh kembali menutup pintu kamar Salma dan berniat untuk langsung turun ke bawah. Ia menuju tangga tanpa sedikit pun menoleh ke kamar Farhan. Baginya tak pernah ada alasan untuknya mengecek keadaan kamar Farhan. Namun kali ini berbeda, saat kaki kanannya ingin menuruni anak tangga pertama, ia berhenti. Teguh terdiam di posisinya.
Teguh menolehkan kepalanya. Matanya menatap ke arah pintu kamar anak bungsunya. Hatinya bergemelut. Bimbang apakah akan memasuki kamar Farhan atau tidak. Akhinya Teguh telah memutuskan. Ia melangkahkan kakinya menuju kamar Farhan, walaupun dengan adanya sedikit rasa ragu pada dirinya.
Terang. Itulah yang Teguh dapatkan ketika membuka kamar Farhan. Wajar, mungkin saja Farhan belum berani tidur sendiri dalam keadaan gelap. Pikirnya.
Kaki Teguh bergerak sedikit demi sedikit melangkah maju. Ia mendekati Farhan yang sudah terlelap di atas ranjang. Farhan tertidur dengan posisi miring, sehingga sangat jelas untuknya menatap wajah mungil itu. Berniat membenarkan selimut Farhan, Teguh malah menemukan Farhan yang tertidur dengan memeluk sebuah bingkai foto. Anak itu memeluk bingkai foto yang mengabadikan uminya dan juga dirinya yang masih bayi.
Teguh menelan salivanya susah payah. Ia kembali teringat bagaimana pengorbanan sang istri tercinta yang berjuang sejak Farhan berada di perut sampai istrinya berhasil melahirkan. Di saat kondisi yang lemah, sang istri tetap mau melahirkan Farhan dalam keadaan normal dan sehat bagaimanapun caranya. Istrinya bahkan rela jika ia harus menanggung beban sakit yang teramat. Dan benar, 2 minggu setelah melahirkan Farhan, istrinya meninggal. Sehingga kini, Teguh masih memiliki rasa menyesal dan ia berandai-andai. Jika saja ia bisa membujuk istrinya untuk melanjutkan kehamilan atas Farhan mungkin istrinya itu masih hidup sehat.
Salahnya ia, menyalahkan Farhan atas semuanya. Menyalahkan Farhan yang bahkan belum mengerti isi dunia disalahkan atas kematian uminya sendiri.
Ia tahu ia salah. Ia tahu ia telah berdosa pada Farhan, karena amarahnya ia jadi kesulitan menyayangi Farhan sepenuhnya.
Teguh menarik bingkai foto yang dipeluk oleh anaknya. Ia menatap bingkai tersebut dan tersenyum haru. Tangannya mengusap wajah istrinya yang tersenyum lebar dengan begitu bahagia. Lama ia menatap wajah istrinya dalam bingkai, Teguh beralih menatap Farhan. Wajah kecil itu mengambil banyak gen dari istrinya. Dari mulai alis, hidung, hingga bibir dan bentuk rahangnya.
"Bersabarlah, sampai Abi bisa menyayangi kamu dengan sepenuh hati Abi. Bersabarlah, sampai Abi bisa menerima semua kenyataan ini."
"Nama Syauqi, yang memberikannya adalah Papa. Ia berharap kamu menjadi sosok yang selalu dirindukan."
"Kenapa namanya Syauqi?" tanya Syauqi dengan kening berkerut bingung. "Bukankah itu nama Islam? Lalu kenapa Mama setuju?"
Liana mengulas senyum manis pada Syauqi. Ia menggenggam erat tangan anak sulungnya. "Karena Mama suka nama itu. Dan Mama juga suka dengan Islam."
Berdesir hati Syauqi mendengar kalimat terakhir dari sang mama. Seperti ada yang membuat jantungnya berdebar sesaat. "Kenapa?" tanya Syauqi. Ia berharap mendapatkan jawaban yang ada di benaknya dari jawaban mamanya.
Tangan Liana bergerak menangkup pipi kanan Syauqi. Ia menatap lekat mata Syauqi yang duduk di samping dirinya. Anaknya seharian ini telah menemani dirinya yang terbaring lemah. "Bukankah kamu juga sudah tertarik dengan Islam?" tanya Liana. Ia membalikkan keadaan dengan gantian bertanya pada Syauqi.
"Sudah, tapi aku belum yakin, Mah. Aku nggak yakin dengan perasaanku sendiri."
"Apa hatimu berdesir jika mendengar Papa mengaji?"
Syauqi mengangguk tanpa ragu.
"Apa jantungmu berdebar cepat saat mendengar suara adzan?"
Syauqi kembali mengangguk.
Liana kembali tersenyum. Ia mengucap syukur dalam hati. Karena bisa jadi itu merupakan titik hidayah yang Allah berikan untuk anaknya. "Kalau begitu mari masuk Islam dengan Mama. Kita mengucap syahadat bersama-sama."
Syauqi menautkan alisnya. Jantungnya terasa berhenti berdetak beberapa detik. Apa yang dilontarkan mamanya begitu mendadak. "
Syauqi memberikan senyum cerahnya untuk sang mama. Walaupun ia tampak terkejut dengan apa yang dilontarkan mamanya begitu mendadak untuknya. "Apapun keputusan Mama, pasti aku akan selalu mendukung. Terlebih jika Mama mau berIslam. Sedangkan aku... aku harus mencari keyakinan yang lebih dalam hati aku untuk memutuskan. Aku akan susul Mama dan Papa nanti. Doain aku ya, Ma."
Liana tersenyum lebar pada Syauqi. Ia mengangguk senang, dan tanngannya bergerak membelai lembut pipi Syauqi. Matanya berbinar, mengeluarkan rasa sayang dan rindu yang sangat besar pada anak sulungnya. "Mama pasti akan selalu doakan kamu. Kamu adalah anak Mama dan Papa yang hebat. Kamu pasti bisa menemukan yang terbaik bagi kamu Syauqi. Percayalah dan ikuti hati kamu."
Untuk beberapa saat Syauqi memejamkan mayanya. Sentuhan yang berhasil menyalurkan beribu kehangatan untuknya. Sentuhan yang mampu membuatnya merasa aman dan tenteram.
Seolah sentuhan itu nyata ia rasakan.
Deg!
Syauqi membuka matanya sempurna, ternyata semua percakapan itu hanya bunga tidurnya malam ini. Memimpikan sosok wanita yang ia rindui selama ini, Liana, mama Syauqi.
Syauqi beranjak duduk. Ia mengatur kembali degup jantungnya yang sedang tak beraturan. Mengatur napasnya agar kembali teratur. Matanya menatap ke sekililing kamarnya yang masih gelap.
"Ah.." Syauqi menggeram saat tangannya terulur ke nakas dan ternyata gelasnya sudah kosong, tak berisi. Dengan sadar ia melangkah keluar dan menuju dapur untuk mengisi gelasnya kembali dengan air.
Syauqi minum segelas air sesaat setelah sampai di dapur, ia kembali mengisi gelasnya yang sudah kosong lalu kembali melangkah untuk naik. Secara cepat, matanya menangkap jam dinding yang menempel di ruang tamu, baru menunjukkan pukul 3.25 pagi.
Saat kakinya menginjak anak pertama, kakinya berhenti bergerak. Syauqi tertegun sejenak di posisinya saat mendengar sebuah suara. Suara merdu yang ia sukai, Syauqi tahu persis orang dibalik suara merdu itu.
Syauqi membatalkan niatnya untuk kembali ke kamar, dan memilih untuk ke kamar Heri. Pintu itu terbuka, memperlihatkan sosok pria lengkap dengan baju muslimnya serta peci hitam yang melingkar di kepalanya. Wajahnya masih sedikit basah karena air wudhu, tangan kanannya juga mendekap erat sebuah Al Qur'an berwarna hijau.
Heri tersenyum melihat putra sulungnya ada di depan kamarnya, dengan rambut yang masih acak-acakkan dan tangan yang memegang gelas berisi air. "Ada apa?" tanya Heri saat melihat Syauqi hanya menatap datar ke arahnya.
"Aku mau di kamar Papa sampai pagi, boleh Pa?" Syauqi bertanya dengan suara serak pada Heri. Syauqi masuk begitu papanya mempersilahkan.
Heri melirik jam dindingnya sesaat, "Papa masih mau ngaji, kamu mau ngapain?" tanya Heri pada Syauqi yang sudah duduk di tepi tempat tidur.
"Tidur," jawab Syauqi dengan wajah cengengesan, membuat Heri ikut tersenyum kecil.
"Ya sudah, terserah kamu." Heri kembali menuju sajadahnya yang sudah ia bentangkan dari beberapa waktu yang lalu. Ia duduk, dan membuka kembali Al Qur'annya. Melantunkan kalam Allah dengan bacaan yang nyaris sempurna. Walaupun Heri sibuk bekerja, ia selalu berusaha agar tidak absen untuk membaca Al-Qur'an setiap harinya.
Syauqi kembali termangu dalam duduknya, matanya menatap punggung Heri yang sedang fokus membaca Al-Quran. Syauqi jadi ingat percakapan singkatnya yang memiliki kesan tersendiri saat berada di mimpi tadi bersama mamanya. Dadanya terasa berdesir mendengar lantunan ayat yang dibacakan oleh Heri. Rasanya, menenangkan.
Syauqi menggelengkan kepalanya, sepertinya ia mulai gila saat ini. Syauqi meletakkan gelas yang sedari tadi di pegang ke atas nakas. Ia memilih berbaring dengan selimut menutupi tubuhnya hingga d**a. Matanya menerawang menatap langit-langit kamarnya.
Mama sungguh sangat ingin melakukannya, Syauqi. Tak pernah Mama merasa sangat bahagia seperti ini dalam hidup Mama. Mama yakin, mama tak akan pernah menyesalinya sampai kapanpun. Mama sudah mantap ingin bersyahadat.
Ingatan yang kembali melintas di kepalanya, membuat Syauqi memejamkan erat matanya. Alisnya menyatu, keningnya mengernyit, dengan tangan terkepal kuat di atas perutnya.
Kalau aja Tuhan sayang sama Mama, Dia gak akan membuat Mama menderita. Kalau aja Tuhan sayang sama Mama, Dia gak akan bawa Mama secepat itu. Mama bahkan berhasil mengalami peningkatan kesembuhan. Lalu kenapa? Kenapa saat Mama memutuskan untuk syahadat, Dia ambil nyawa Mama?" tanya Syauqi dalam hati. Tak terasa cairan hangat mengalir dari ujung matanya.