14 | Warning

2782 Kata
"Hai bro!" sapa Evan pada Syauqi yang baru saja terlihat sedang berjalan keluar dari parkiran. Seperti biasa, Evan ditemani Zidan yang saat ini berdiri di sampingnya. Zidan tak menyapa Syauqi dengan heboh layaknya Evan. Ia hanya memberikan seutas senyum senyum tipis untuk sahabatnya itu. Hingga mereka akhirnya bertemu dan saling bersalaman dan memeluk sekilas. Mereka langsung melanjutkan langkah mereka dengan berjalan beriringan menuju kantin. Zidan yang melihat Syauqi tak semangat seperti biasanya langsung bertanya pada Syauqi. "Kenapa Qi? Apa lagi ada masalah?" Mendengar pertanyaan Zidan, Evan jadi ikut menelisik wajah Syauqi. Memang tak seperti biasanya. Karena yang biasanya pasti Syauqi selalu membalas salamnya dengan tak kalah semangat. "Iya juga. Kenapa muka lo asem gitu pagi-pagi?" Pagi ini mereka memang sengaja datang lebih awal untuk sarapan bersama di kantin, sebelum mereka masuk kelas. Syauqi masih diam membungkam, hingga akhirnya mereka bertiga tiba di kantin, dan duduk di salah satu meja kantin paling ujung. "Eh Qi, lo kenapa?" Syauqi kembali tak menjawab, dan malah meletakkan kepalanya dengan lemas ke atas meja. "Ente kenapa Syauqi? Cerita sama kita kalau ada masalah." "Kayaknya gue mulai gak waras." Zidan dan Evan kompak saling pandang dalam memahami ucapan Syauqi. "Maksudnya?" tanya Zidan. "Tadi pagi gue denger Papa ngaji, terus d**a gue kaya berdesir gitu. Hampir kaya ngerasa merinding gitu. Itu adalah kejadian di saat gue dulu belajar tentang Islam. Rasanya masih sama." "Terus terus?" tanya Evan dengan nada kepo tingkat dewa. "Gue benci ngerasainnya." Syauqi langsung memutar kepalanya sehingga membelakangi wajah Evan dan Zidan. "Itu ngingetin gue sama Mama." "Qi, kok lo ngomongnya gitu sih?" tanya Evan dengan suara sendunya. Ia ikut sedih jika mendengar Syauqi yang sudah lagi tak bersemangat dengan Islam. Padahal dulu, Syauqi selalu semangat jika membahas tentang Islam. Apalagi jika ada kajian di masjid, maka Syauqi akan dengan senang hati mengusulkan dirinya untuk ikut. "Setiap gue merasa benci dengan Islam, entah kenapa Mama selalu muncul. Bisa dalam bentuk sekelebat bayangan atau hadir langsung secara jelas dalam mimpi gue. Yang jelas Mama sering muncul dan selalu mengulang kalimat yang sama, bahwa dia gak pernah menyesal masuk Islam. Tapi itu mungkin karena Mama gak tahu, bahwa Tuhannya telah ambil nyawa mama disaat Mama telah bersyahadat. Gue masih gak habis pikir, kenapa Tuhannya begitu kejam sama Mama?" Zidan dan Evan sama-sama terdiam. Tidak ada yang berkomentar. Padahal secara tidak langsung Syauqi sedang menghina Tuhan Evan dan Zidan, karena saat mama Syauqi meninggal Tuhannya mama Syauqi sama dengan Tuhannya Evan dan Zidan yaitu Allah Swt. Diamnya Evan dan Zidan bukan karena mereka tak bisa membela agama mereka di hadapan Syauqi. Diamnya mereka berdua bukan karena bingung menyusun kalimat, tapi lebih kepada takut jika apa yang akan mereka lontarkan nanti malah membuat Syauqi semakin membenci Islam. Tak mendengar komentar dari kedua sahabatnya, akhirnya Syauqi mengangkat kepalanya. Ia menatap kedua sahabatnya yang malah sama-sama menundukkan kepalanya. "Kok lo berdua malah diem? Gak ada lagi yang mau berusaha nasehatin gue lagi nih? Atau kalian udah lelah dan capek ya?" "Apa yang bisa ane bantu buat nyembuhin luka di hati ente?" tanya Zidan. "Apa yang bisa gue bantu untuk lo bisa kembali kaya dulu? Disaat lo masih menerima Islam dan mempelajarinya dengan senang hati. Sudut bibir Syauqi sukses mencetak senyum. "Apa pun yang bisa kalian lakuin. Tapi jangan mudah menyerah, karena perjalanannya gak akan semudah yang kalian kira. Perlu kalian tahu kalau hati gue sekeras batu." "Istighfar Qi,"  Zidan langsung berhenti melanjutkan begitu mendapatkan pelototan dari Evan. "Eh, maksud gue nyebut Qi, nyebut. Kalau hati udah jadi sekeras batu maka akan sulit melunakkannya. Dan hati ente, gak sekeras batu karena ente masih ngerasain hal yang ente rasain dulu saat dengar Om Heri ngaji. Ane yakin, ente bisa jadi Syauqi yang dulu. Ane juga selalu berdoa, ente akan menjadi sosok seperti nama yang telah Om Heri kasih, Syauqi, orang yang dirindukan. InsyaAllah nanti juga akan dirindukan oleh Islam." Zidan mengamininya dalam hati, sedangkan Evan mengamininya dengan suara lantang, serta Syauqi yang hanya tersenyum tipis dengan kepala menunduk. "Gue laper jadinya. Sahabat gue kebanyakan ceramah." Syauqi bangkit berdiri dan berjalan menuju penjual bakso. "Gue mie ayam, Qi!" "Ane pecel lele!" Syauqi menoleh ke arah Zidan dan Evan dengan alis tertaut. "Pesen sendiri, enak aja. Emang lo berdua kira gue pramusaji apa?" Zidan dan Evan kompak terkekeh geli. Selanjutnya Evan yang memilih untuk berdiri untuk memesan makanannya juga makanan Zidan, karena Zidan harus menunggu meja mereka agar tak di tempati oleh orang lain jika mereka bertiga pergi. Salma sudah duduk manis di ruang kelasnya saat ini. Keadaan kelas belum terlalu ramai, karena baru hanya ada beberapa mahasiswa yang datang. Jam 11 siang ini adalah jadwal mata kuliah Pak Anton, tapi sayangnya dosen tersebut berhalangan hadir sehingga Salma dan teman sekelasnya harus mengerjakan tugas di perpustakaan siang ini.  Sembari menunggu jam 11, Salma mengeluarkan sebuah buku berwarna hijau yang sebagian sampulnya sudah mulai pudar dan mengelupas dari dalam tasnya. Itu adalah buku catatan hariannya yang diberikan oleh uminya saat ia berulang tahun yang ke 10. Sudah lama sekali, dan buku tersebut seperti tak pernah kehabisan kertas. Jika saat uminya masih hidup, begitu banyak yang ingin Salma tuliskan pada buku itu, tapi semenjak uminya meninggal, Salma sudah jarang membuka buku itu kembali. Buku itu selalu mengingatkan Salma akan almarhumah uminya. Kini Salma kembali membuka buku hariannya. Ia membuka lembar pertama, dan membaca tulisan "Hadiah dari Umi untuk Salma". Salma tersenyum tipis dan mengusap lembar buku tersebut. Di buku tersebut juga tertempel secarik foto kecil yang mengabadikan hari ulang tahunnya dengan abi, umi, serta kakak laki-lakinya. "Salma kangen yang dulu. Kangen di saat Umi selalu nguncir rambut Salma sebelum Salma berangkat ke sekolah dan pakai kerudung. Kangen di saat Abi selalu membawakan Salma es krim kesukaan Salma dan Kak Ali. Kangen di saat Kak Ali rela membelikan aku pembalut di saat urgent, dan kangen di saat Kak Ali rela gendong Salma saat Salma terjatuh di taman." Tanpa disadari, Salma semakin masuk ke dalam kenangan masa lalunya. Masa di mana keluarganya masih utuh dan hangat. Rindu dengan sosok yang selalu saling menyayangi dengan lengkap. Berbeda dengan saat ini, di mana abinya yang sekarang malah berubah dingin dan cuek, kakaknya yang jarang pulang ke rumah karena sibuk bekerja, juga Farhan yang mengalami kesulitan sosialisasi di sekolah. Semuanya terasa begitu complicated untuk Salma. Ia tak pernah membayangkan bahwa keluarganya akan menjadi keluarga yang bisa dikatakan sudah tak lagi seharmonis dulu. Karena semua itulah, Salma kehilangan wajah cerianya. Salma sudah mulai menutup diri dari orang sekitar, dan hanya bisa bersandar pada sahabatnya seorang yaitu Airin. Lembar demi lembar Salma buka. Hingga di bagian tengahnya ia menemukan tinta pulpen yang belum pudar. Hari ini aku memiliki tetangga baru. Di hari pertamanya pindah, orang tersebut memberikan aku kue. Rasanya enak, dan aku berterima kasih padanya. Adiknya juga lucu sekali. Aku berharap anak itu akan bisa berteman dengan adikku, Farhan. Semoga kita bisa menjadi tetangga yang baik, Syauqi. Salma tersenyum kecil. Ia tak menyadari bahwa Syauqi menjadi orang pertama yang namanya Salma torehkan di dalam buku hariannya setelah sekian lama. Seingat Salma, buku itu sudah tak pernah ia tulis lagi sejak uminya meninggal. "Salma?" Salma refleks memutar kepalanya untuk mengetahui siapa yang memanggil namanya barusan. "Ya?" Yang memanggil nama Salma, Adit, langsung berjalan menghampiri meja Salma. Hadirnya Adit langsung membuat Salma menutup buku hariannya rapat. "Yang lain langsung ke perpus. Kamu gak baca w******p grup ya?" Salma mengerjap, "Oh ya?" tanyanya. "Iya, liat aja. Di kelas ini cuma tinggal kamu seorang aja," ucap Adit. "Ayo bareng sama aku ke perpus," ajak Adit. Salma ikut mengamati sekitarnya, dan memang tinggal ia seorang di sana. Lalu kenapa tak ada yang mengatakan padanya atau mengajaknya pergi bersama menuju perpustakaan seperti yang baru saja Adit lakukan? Pikir Salma. "Kok nggak ada yang bilang sama aku, ya?" Adit terkekeh melihat ekspresi wajah Salma. "Itu karena kamu duduk paling belakang sendiri, dan sadar atau nggak kamu baru noleh saat aku manggil kamu di panggilan yang kelima." Salma menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Kalau gitu kamu duluan aja, nanti aku nyusul." "Gak usah nyusul. Bareng aku aja," tawar Adit lagi. "Gak usah, aku sendiri aja nanti. Aku mau mampir ke toilet dulu soalnya." Salma menciptakan alibinya. Ia akan merasa risih jika berjalan beriringan dengan laki-laki. Lagipula teman sekelasnya itu senang sekali meledek Salma dan juga Adit. Padahal di antara dirinya dan Adit sungguh tidak ada hal apa pun. Tapi sebenarnya Salma juga tidak sepenuhnya berbohong sih, karena memang Salma berniat ke kamar mandi terlebih dahulu sebelum ke perpus. "Hmm.. oke deh kalau gitu. Aku duluan, ya." Salma membalasnya dengan anggukan kecil. Semenit setelah Adit pergi, Salma beranjak berdiri meninggalkan ruang kelasnya. Salma menuju toilet, untuk mencuci tangannya dan juga membenarkan posisi kerudungnya. Selepas dari toilet Salma langsung menuju ke perpus. Kondisi perpustakaan tampak ramai, seperempat dari pengunjung perpus siang itu berasal dari kelas Salma. Salma mengambil beberapa buku yang ia jadikan sebagai referensi untuk tugas mata kuliah Pak Anton. Karena tugas individu, Salma akhirnya mengambil tempat duduk yang sepi. Di pojok bagian rak sejarah. Salma duduk dan mulai membuka satu per satu buku yang ia letakkan di atas mejanya. Buku catatan serta alat tulis sudah siap ia gunakan. Laptop juga sudah Salma tekan tombol power on nya. Di tengah-tengah kesibukan Salma mengerjakan tugas, kondisi perpustakaan tiba-tiba menjadi heboh. Pandangan Salma teralihkan pada lelaki yang muncul, masuk ke dalam perpustakaan bagian pojok. Tempatnya buku-buku tebal sejarah berjejer. Jika Salma berada di bagian Utara, maka lelaki itu berada di bagian Selatan. Lebih tepatnya mereka saling berhadapan, namun dalam jarak sekitar  5 meter. Matanya memperhatikan lelaki tersebut yang baru saja mengambil buku dari rak yang bertuliskan Sejarah Indonesia yang letaknya memang paling dekat dengan posisi lelaki tersebut. Salma mengernyit begitu sadar sepenuhnya bahwa lelaki tersebut adalah Syauqi, belum lagi buku yang Syauqi ambil itu buku yang cukup tebal. Untuk apa juga Syauqi ada di perpustakaan? Kemana kedua sahabatnya? Apa Syauqi datang ke perpustakaan hanya untuk tidur? Tanpa sadar, Salma terus memperhatikan Syauqi yang kini telah duduk di sofa. Syauqi membuka buku sejarah yang dibawanya, menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa, lalu menaruh buku itu menutupi wajahnya. Kedua tangannya terlipat di depan d**a. "Dia tidur?" tanya Salma pada dirinya sendiri saat melihat Syauqi dari tempatnya. Salma menggelengkan kepalanya melihat kelakuan Syauqi. Ia cukup yakin bahwa Syauqi memang tertidur. Dari posisinya Syauqi  saja sudah mendukung untuk bisa terlelap sempurna. Salma mengerjap begitu menyadari handphone miliknya bergetar. Ia langsung mengalihkan pandangannya ke arah handphone dan mengangkat panggilan masuk dari Adit. "Assalamualaikum. Ya, Dit? "Wa'alaikumsalam Salma, tadi aku dapet info dari Pak Anton katanya tugas beliau bisa dikumpulin maksimal jam 11 malam hari ini by email." "Oh alhamdulillah kalau gitu. Masih ada cukup waktu untuk menyelesaikan tugasnya kalau begitu." "Iya. Aku telepon kamu takutnya kamu nggak baca w******p grup, eh, ternyata malah beneran gak baca." Salma tersenyum kaku sendiri mendengar tebakan Adit yang 100% benar. "Oke, makasih infonya ya Dit." "Iya, sama-sama. Kalau gitu bareng aku ke kantin sekarang yuk. Aku tungguin ya di pintu masuk perpustakaan." "Gak usah ditungguin Dit. Kamu duluan aja. Aku masih mau ngerjain tugasnya." "Emang kamu di mana posisinya sekarang?" "Di pojokan. Udah, gak usah di cari. Kamu pergi duluan aja, nanti selesai nugas juga aku langsung ke kantin." Terdengar helaan napas dari Adit. "Oke kalau gitu, aku ke kantin duluan ya. Nanti kalau mau nyusul bilang, biar aku tungguin di sana." Salma langsung menutup teleponnya setelah mengucapkan salam pada Adit. Ia meletakkan handphonenya di dekat buku catatannya. Salma kembali mengangkat kepalanya. Sofa yang tadi ditiduri oleh Syauqi kini sudah kosong tak berpenghuni. "Hai!" Salma langsung menekan dadanya karena kaget dengan suara yang ia dengar tiba-tiba. Salma bahkan sampai meremas buku catatan yang dipegangnya itu. Ia menolehkan kepalanya dan melihat Syauqi sudah duduk di sampingnya sambil tersenyum lebar. Laki-laki itu memakai kaos polos berwarna putih dengan kemeja berwarna navy yang dibiarkan terbuka serta celana panjang berwarna cokelat. "Kamu kok bisa di sini tiba-tiba?" tanya Salma dengan raut wajah bingung. Sebelum ia menatap wajah Syauqi lebih dari 3 detik Salma langsung menurunkan pandangannya. "Suara kamu ngeganggu tidur aku. Kamu berisik banget," ucap Syauqi. Salma ber-oh ria, dan langsung meminta maaf pada Syauqi. "Kamu lanjutin lagi aja tidurnya. Aku udah selesai teleponan kok." Syauqi menggeleng, "Udah nggak mood. Aku mau disini aja," katanya. "Kok di sini? Kamu mendingan cari tempat duduk di kursi lain. Jangan di samping aku," ucap Salma yang mulai risih dengan keberadaan Syauqi. "Ih kok gitu?" protes Syauqi tak suka dengan ide Salma yang menyuruhnya untuk pergi mencari tempat duduk lain. "Gak mau ah, aku mau tetep di sini. Kan kamu juga yang udah ganggu tidur siang aku. Jadi kamu harus tanggung jawab." Syauqi meletakkan kepalanya di meja menghadap Salma, membuatnya dengan bebas memandangi wajah Salma. Syauqi tersenyum tipis, Selalu cantik seperti biasanya, batin Syauqi. Salma yang merasa ditatap intens dari samping oleh Syauqi, langsung mengangkat kepalanya ke depan, bukan ke arah Syauqi. "Jangan liat-liat begitu, dosa Syauqi." "Kalau gitu habis ini aku akan minta maaf sama Tuhan, jaga-jaga kalau Dia beneran kasih aku dosa karena ngeliatin kamu." Salma menggelengkan kepalanya mendengar jawaban Syauqi. Ia mengambil buku catatan kuliahnya yang tadi telah ia keluarkan dan buku tersebut ia berdirikan untuk mengahalangi pandangan Syauqi padanya. Syauqi langsung menjatuhkan buku tersebut ke atas meja. Ia tak suka jika buku tersebut malah mengalangi pandangannya untuk melihat Salma. "Kok di kasih halangan buku sih?" "Kalau kamu singkirin, jangan duduk di situ." Tukas Salma dengan nada mengancam. Gadis itu kembali mendirikan bukunya yang ia gunakan untuk menghalangi penglihatan Syauqi. Syauqi mendengus sebal. Dengan ngeyel, Syauqi kembali menyingkirkan buku yang menutupi pandangannya. Salma berdecak saat buku itu disingkirkan oleh Syauqi. Kenapa laki-laki itu selalu susah untuk diberitahu? "Berdiriin lagi bukunya." "Gak mau." "Cepet." "Gak." "Bukunya yang berdiri, atau salah satu dari kita pindah tempat duduk?" Syauqi mendesis panjang. Ia menegakkan buku itu dan akhirnya menutupi pandangannya pada Salma, namun kepalanya masih tetap menoleh pada Salma . "Nah, gitu aja kok repot." Celetuk Salma yang sudah menyandarkan punggungnya di kursi. Salma membereskan seluruh alat tulis serta laptop putih miliknya. Ia juga memasukkan buku catatannya yang ia jadikan sebagai penutup wajah Syauqi yang terus menatapnya tadi. Salma langsung menahan kekehan gelinya saat melihat Syauqi yang malah tertidur pulas. Salma menggelengkan kepalanya dengan sudut bibir masih menahan tawa. Selesai ia merapihkan barang bawaannya, Salma bangkit berdiri dan mendorong ke belakang kursinya pelan. Ia bergeser ke meja samping dan berkata dengan suara yang cukup kencang. "Syauqi, ada maling." Benar saja, sontak Syauqi langsung terbangun. Matanya mengedar ke segala arah. "Mana-mana?!! Mana malingnya?!" Sadar Salma tak ada, Syauqi langsung menoleh dan melihat Salma yang berdiri tak jauh darinya. Tawa Salma langsung menguar. Ia puas telah mengerjai Syauqi. Walau karena tingkahnya itu, membuat dirinya dan juga Syauqi mendapat tatapan tajam dan kesal dari seluruh pengunjung perpus yang merasa terganggu. Sedangkan Syauqi yang sedang mengumpulkan nyawanya, langsung berdecak pelan. Ia berdiri dan menyusul langkah Salma yang sudah hampir tak terlihat jarang pandangnya. Ia akhirnya sadar, jika ia baru saja dikerjai oleh Salma. "Salma tungguin!" teriak Syauqi. Masa bodo dengan tatapan tajam dari orang yang melihatnya. Salma masih sibuk terkekeh karena membayangkan reaksi yang tadi Syauqi keluarkan ternyata melebihi ekspektasinya. Itu sangat lucu. "Puas ngetawainnya?" Syauqi muncul dan berjalan beriringan dengan Salma. "Hehehe.. maaf ya. Aku sebenernya gak maksud ngerjain kamu, tapi ternyata reaksi kamu cukup menghibur." Ujar Salma dengan kembali terkekeh. Jemarinya menutupi sebagian mulutnya, tapi cukup jelas bagi Syauqi menatap tawa Salma yang lebar. Bukankah ini pertama kalinya ia melihat Salma tertawa? Iya benar, seingatnya ini adalah kali pertama Salma tertawa di dekatnya. Terlebih alasan Salma tertawa adalah karena dirinya. Mata Syauqi tak lepas menatap Salma yang tertawa. Rasanya seperti ia yang ditarik masuk ke dalam pesona tawa gadis itu. "Warning Syauqi! Nyebut!" Syauqi langsung mengambil langkah cepat ke depan. Kalau lama-lama melihat Salma yang tertawa manis seperti itu bisa diabetes dia. Syauqi harus menjaga jarak sesuai dengan janji pada dirinya sendiri. Ia tidak akan pernah menyukai Salma. Salma kembali tertawa, lalu ia berhenti berjalan. Membuat dirinya dan juga Syauqi saling menciptakan jarak. Salma bisa melihat jelas tubuh Syauqi saat ini, laki-laki dengan beda tinggi sekitar 1 jengkal dari kepala Salma. Bahu laki-laki yang memakai kemeja navy itu juga ternyata memiliki bahu yang lebar, serta rambut yang berwarna hitam pekat. Seketika Salma jadi menyadari adanya perubahan pada dirinya. Ia baru sadar jika sejak tadi ia banyak tertawa karena Syauqi. Padahal sesadarnya ia hanya bisa tertawa jika bersama dengan Airin. Tapi mengapa ketika kini dengan Syauqi, ia merasa menjadi Salma seperti 6 tahun yang lalu. Saat ia masih menjadi gadis yang humble dan ceria. Saat ia masih menjadi gadis yang banyak bicara dan selalu tersenyum bahkan tertawa. Salma menggelengkan kepalanya cepat, sadar bahwa beberapa saat yang lalu ia memikirkan laki-laki yang berjalan di depannya itu. Salma langsung menundukkan kepalanya. Dalam langkahnya ke depan ia terus berjalan dan mengucap banyak istighfar di dalam hati.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN