Resign
Resign
Aku sedang mengamati laki-laki di layar ponselku. Dia sedang makan mie kuah. Aku mencebik.
“Jangan makan mie terus kenapa?”
“Paling gampang, ‘kan bujang. Kalau sudah punya istri beda lagi.” Dia menyeringai jahil padaku.
“Halah, coba tahun depan ‘kan kita pulang semua. Berani gak halalin aku?”
“Berani ya, tapi kalau aku dapat panggilan lagi, ya aku minta waktu lagi,” ucapnya enteng.
“Emangnya kamu siap aku halalin?” lanjutnya.
“Siap dong,” jawabku mantap.
“Tapi kita belum punya modal hidup loh?”
“Ya habis nikah, nyari lagi lah. Gampang. Situ aja yang bikin rumit.”
Kulihat pria berkulit sawo matang di depan layar ponselku mengembuskan napasnya kasar.
“Mbar, kamu tahu sendiri ‘kan? Aku pengen jadi orang sukses. Punya usaha sendiri biar gak nguli terus. Gak enak tahu jadi kuli.”
“Aku ngerti kok. Cuma ... aku berharap hubungan kita ada kejelasan aja.”
“Loh, bukannya hubungan kita jelas, Mbar?”
“Maksudnya pacaran gitu? Aku ingin yang lebih jelas lagi, Ilo.”
“Mbar, aku tak makan dulu ya, nanti aku telepon lagi.” Ilo berkilah.
“Hem.”
Setelah mengucapkan salam, Ilo mematikan sambungan teleponnya. Kini aku yang menarik napas dalam dan menghembuskannya dengan kasar. Susilo atau Ilo adalah pacarku. Kami pacaran hampir lima tahun. Perkenalan kami terjadi secara tak sengaja melalui f*******:. Ilo seorang TKI yang bekerja di Korea. Jika aku di Hongkong hampir dua belas tahun. Ilo baru enam tahun bekerja di Korea. Jadi, Ilo lagi semangat-semangatnya.
“Ngelamun Mbar?”
“Eh, Mbak Wati. Enggak kok. Habis teleponan.”
“Sama Ilo?”
“Iya, Mbak.”
Aku dan Mbak Wati sedang duduk di atas tikar. Biasalah, hari minggu saatnya libur. Tentu salah satu tempat hiburanku dan sesama TKW lainnya ya Taman Victoria.
“Kenapa kok mukanya ngenes gitu?”
“Gak papa Mbak.”
“Ilo belum mau serius sama kamu?”
“Gak tahu Mbak, Ambar bingung.”
“Dapat duit itu seneng ya Mbar, sampai pada lupa pulang.”
Aku tertawa mendengar guyonan Mbak Wati.
“Mbak Wati gak mau pulang?”
“Males, lagian anak-anakku udah lulus SMA semua. Udah ada yang berumahtangga. Akunya janda, mending disini aja. Dapat duit.”
Hening.
“Tapi kamu beda. Aku di Hongkong karena suamiku meninggal. Aku harus jadi tulang punggung buat ketiga anakku. Mereka sekarang udah pada kerja dan nikah. Aku udah gak ada beban hidup lagi. Tapi kamu masih muda, belum nikah. Pulang ajalah sana! Nikah. Kasihan ibumu.”
Aku menunduk sedih, apa yang dikatakan wanita berusia empat puluh delapan tahun itu benar. Jika mengikuti logika, aku betah cari uang disini. Tapi kalau menuruti kata hati, aku ingin pulang. Apalagi tiga bulan yang lalu, Ibu baru saja sakit parah.
“Aku egois gak sih, Mbak, kalau ngotot disini terus?”
“Egois banget. Lagian kamu bilang, Anggi tinggal wisuda, Miko udah lulus. Tanggungan kamu udah selesai, Mbar. Sekarang tugas kamu berbakti sama ibumu, rawat dia. Penuhi keinginannya.”
“Tapi Mbak ....”
“Kamu gak mau nikah?”
“Ya maulah Mbak. Cuma ....”
“Cuma nunggu Ilo?”
Aku mengangguk.
“Kalian itu seumuran. Bagi laki-laki umur itu gak masalah. Tapi kamu wanita, Ambar. Wanita itu punya masanya. Gak mungkin ‘kan kamu gak pengen punya anak. Kalau kamu nungguin Ilo terus belum tentu Ilo nanti nikahnya sama kamu. Kamu sendiri ‘kan yang bilang, ada cewek yang ngejar-ngejar Ilo terus. Mana katanya masih muda lagi. Gimana kalau Ilo milih dia. Hayo? Terus kamu mau sama siapa?”
Aku hanya bisa diam, semua yang dikatakan Mbak Wati benar. Dering ponselku mengalihkan fokus kami berdua.
“Ilo lagi?”
“Iya, Mbak.”
“Udah, selesaikan masalah kalian. Minta kepastian sama Ilo. Kamu itu aslinya tegas loh Mbar, tapi kalo sama Ilo kamunya kok jadi bucin kayak gini?”
“Kelihatan banget ya, Mbak.”
“Banget. Untung aja kamu gak ngasih semua gajimu sama dia?”
“Astaghfirullah Mbak. Secintanya Ambar sama Ilo, Ambar masih punya logika juga kali,” sungutku.
“Makanya, buktikan sama Mbak. Kalau kamu adalah Ambar. Cewek keras kepala yang bisa dengan tegasnya memutuskan suatu masalah.”
“Oke. Ambar akan buktikan!”
“Bagus. Angkat gih!”
Akhirnya aku menerima panggilan dari Ilo.
“Mbar, maaf ya lama. Tadi temenku ngajak keluar dulu.”
“Gak papa, Ilo.”
“Oh iya, masalah hubungan kita. Kita bahas pas ketemuan nanti ya. Jangan lewat HP. Nanti yang ada kita malah bertengkar.”
“Oke.”
“Gak lama kok, ‘kan empat bulan lagi kita ketemu.”
“Iya.” Setelah itu kami hanya membahas masalah lain dan menghindari pembahasan mengenai status kami.
***
Empat bulan setelahnya.
Aku menginjakkan kakiku di bandara Adi Sucipto Jogja. Setelah melalui drama perdebatan yang panjang dengan diri dan keluarga. Akhirnya aku benar-benar resign jadi TKW. Padahal majikanku ingin aku perpanjang kontrak. Minimal dua tahun lagi. Tapi kutolak karena keluarga besarku terutama Ibu, memintaku benar-benar pulang dan gak boleh balik lagi ke Hongkong.
“Ambar.”
“Mbak Ambar.”
Aku tersenyum melihat kedua sahabatku. Sengaja aku meminta bantuan mereka untuk menjemput. Aku tak ingin membebani Ibu dan kedua adikku. Lagian kalau pulang sama Tuti dan Yuyun, lebih irit. Cukup naik bus atau kereta saja. Semua barang-barangku sudah aku paketin. Sekarang aku hanya membawa tas gendong besar dan tas selempang.
“Kalian sehat?”
“Sehat dong, buktinya bisa ketemu lagi.”
“Mbak Ambar, tuh lihat.”
Aku menoleh ke arah yang ditunjuk Yuyun. senyumku mengembang melihat lelaki berperawakan tinggi besar berkulit sawo matang.
“Hai, Ambar.”
“Hai, Ilo.”
Kami pun berjabat tangan dan saling memberi senyum. Tampak binar bahagia di mata beriris hitam itu.
“Kamu tambah cantik ya, Mbar.”
“Cewek ya cantik, Il.”
“Heem, pipi kamu masih chubby ya, Mbar.”
“Itu udah bawaan dari lahir.”
Kami masih dalam posisi berhadapan dengan tangan masih saling menjabat.
“Ck. Gak romantis banget sih kalian berdua. Pelukan kek, ciuman kek. Ini cuma jabat tangan doang. Astaga!” Aku memelototi Tuti. Dasar si mulut ceplas ceplos. Sementara Yuyun tengah menahan tawanya.
“Nantilah Tut, kalau udah sah. Dijamin Ambar aku makan.”
Aku melotot ke arah Ilo dan dia hanya tertawa saja. Kemudian, kugiring mereka semua untuk mencari makan.
*****