12. My Ex

1522 Kata
Laurel merasa de javu. Bagaimana tidak? Ketika ia membuka ruang rawat inap Orland. Pria itu tidak ada di dalam. Bedanya, kali ini ranjang yang dipakai sudah tertata rapi. Hal itu membuat Laurel menghela napas lega sambil mengeluarkan ponselnya. Ia mencoba menghubungi Orland. "Kau dimana?", tanya Laurel langsung ketika panggilan terhubung. "Rumah sakit. Dimana lagi?", Laurel mengerutkan keningnya. "Aku ada di kamarmu. Tapi kau tidak ada. Dan ruangan ini sudah dibereskan.", "Aku ada di ruang dokter. Kemarilah.", Panggilan langsung diputus Orland secara sepihak. ... "Kau dengar kata dokter tadi? Kau harus merawatku dengan baik.", Orland menyeringai kearah Laurel yang fokus menyetir untuknya. Sebelum mereka pulang. Dokter menyarankan agar Laurel menjaga pola makan Orland. Bagi Laurel, itu sama saja mengasuh pria itu. Menjadi asisten saja sudah cukup menyulitkan apalagi menjadi pengasuh. "Kalau aku tidak mau?", "Aku yakin kau mau.", jawab Orland percaya diri. "Sampai detik ini aku masih tidak habis pikir kenapa kau sangat percaya diri. Bahkan percaya dirimu itu melebihi tingkat ketampananmu.", gerutu Laurel. Orland terkekeh. "Jadi kau mengakui kalau aku tampan? Akhirnya...", Ia mencolek dagu Laurel membuat gadis itu melotitinya. "Orland!", serunya. "Kalau menabrak bagaimana?", "Tidak apa, setidaknya kita mati berdua.", Laurel jadi ingat betapa menyebalkan kalimat itu. Sebelum Orland, Darren pernah mengatakan hal yang hampir sama. "Jangan bicara sembarangan!", "Aku tidak bicara sembarangan. Aku serius. Lebih baik kita mati bersama. Setidaknya aku tidak perlu merasakan bagaimana hidup tanpamu.", Laurel mendengus. "Tapi aku tidak mau. Bagaimana?", "Baiklah. Aku yang mati duluan.", "Orland!", "What?", tanyanya tanpa dosa. "Stop talking...", "Or what?", "Atau aku berhenti berusaha menyukaimu.", cicit Laurel. Senyuman di wajah Orland kian mengembang. "Jadi sekarang kau jatuh cinta padaku hah?", "Aku bilang suka, bukan cinta. Kau bisa membedakan atau tidak?", gerutu Laurel. "Masalahnya beda tipis.", "Beda tipis apanya? Tentu beda jauh. Kalau suka semua orang juga bisa. Tapi kalau cinta...", Mendadak Laurel berhenti berkata. "Kenapa?", Laurel melirik Orland sekilas. "Tidak jadi.", "Kenapa?", ulang Orland. "Tidak ada apa-apa.", Orland menghembuskan napas cepat. "Tidak mungkin kalau tidak ada apa-apa. Jadi, jelaskan padaku.", Bersamaan dengan lampu merah di depan, Laurel memiringkan sedikit tubuhnya setelah menghentikan mobil. "Aku tidak pernah berpacaran.", ujarnya dalam satu tarikan napas. "Bisa kau ulangi?", Orland hampir saja tersedak salivanya sendiri mendengar perkataan Laurel. "Tidak ada pengulangan!", Laurel kembali meluruskan tubuhnya. Melihat tingkah Laurel membuat Orland menahan senyumnya. Pantas saja gadis itu berhenti mengajarinya. Ternyata Laurel menyadari jika gadis itu belum punya banyak pengalaman berpacaran. "Tunggu dulu...", tiba-tiba Orland menyadari sesuatu. "Apa? Kalau kau mau mengejekku silahkan saja.", Laurel terlanjur kesal entah pada siapa. "Aku bukan mau mengejekmu. Aku hanya mau membenarkan sesuatu.", "Apa?", "Jadi, aku kekasih pertamamu?", ... Mobil berhenti di lobi sebuah gedung pencakar langit di tengah kota Sydney. "Kenapa kita disini? Seharusnya kau beristirahat.", ujar Laurel ketika baru saja turun dari dalam mobil. Orland menyampirkan jaketnya di bahu. "Uang perusahaanku hilang hampir tiga puluh ribu dollar.", Laurel yang baru memberikan kunci ke petugas valet hampir berteriak. "Hah?!", "Untuk itu aku kemari ingin menyelesaikan sesuatu.", "Perusahaan ini yang mengambil uangmu?", Orland menggeleng, "Bukan. Aku kemari karena ingin meminta bantuan.", Laurel mensejajarkan langkahnya dengan Orland. "Lalu kenapa aku harus ikut?", tanyanya. Laurel bisa saja pulang terlebih dahulu karena tadi mereka melewati gedung apartemennya. Tapi sialnya, Orland memanfaatkan rasa kasihannya sehingga pria itu berhasil membuatnya ikut. "Aku butuh bantuanmu.", Laurel berhenti melangkah. Sontak saja Orland yang menyadari ikut berhenti dan menoleh kebelakang. "Ada apa?", tanyanya. "Tidak apa. Hanya tak biasa mendengarmu meminta bantuanku.", "Itu bukan permintaan.", kata Orland sambil melanjutkan langkahnya. Laurel mencebikkan bibirnya. Dalam hati ia bertanya-tanya kenapa Orland sangat menyebalkan dan ia selalu saja tidak bisa mengelak perkataan pria itu? Dengan langkah malas, Laurel kembali mengikuti Orland. "Jadi apa yang harus aku lakukan?", "Kau akan tahu nanti. Intinya, aku minta kau nyalakan jealous girlfriend mode mu.", "Hah?", ... Mata Laurel bergerak dari atas hingga bawah ketika menatap wanita berambut pirang dihadapannya tersenyum lebar menyambut mereka. Ralat, menyambut Orland. Wanita itu sangat cantik dan seksi menurut Laurel. Apalagi dengan mata biru dan rambut pirangnya tentu membuat siapa saja menyukai wanita itu pada pandangan pertama. Tapi Laurel menarik semua ucapannya ketika melihat sikap wanita itu yang tiba-tiba memeluk Orland dan menciumnya seolah Laurel tidak ada disana. "What just happen?", Laurel mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi dihadapannya sambil menoleh kekanan dan kekiri. Untung saja ia cepat tersadar ketika melihat Orland berusaha melepaskan diri. Dengan cepat Laurel merubah ekspresinya yang bingung menjadi datar dengan tatapan tajam. Laurel berdehem sekencang-kencangnya membuat wanita itu melepaskan ciumannya dari Orland. "Who are you?", "Me?", Laurel menunjuk diri. "Aku asistennya.", jawabnya dan menunjuk Orland. Orland melototi Laurel. Memberi kode agar wanita itu ingat apa yang ia katakan saat sebelum masuk kedalam lift. "And... his girlfriend.", tambahnya cepat. Wanita itu menoleh kepada Orland. "Kekasih?", Orland mengangguk. Ia mendekat kearah Laurel dan merangkulnya. "Yeah, she's my girlfriend.", Laurel mengulas senyum tipis. "Lurel Anderson.", "Sarah Morgan.", balas wanita itu sambil membenarkan rambutnya dengan gerakan centil. Dalam hati ia kesal karena ternyata pria yang ia incar sejak dulu sudah memiliki kekasih. "Silahkan duduk.", Sarah langsung melenggang pergi membuat Laurel menatap Orland dengan mata melotot. Sedangkan Orland memasukkan kedua tangannya kedalam saku celana dan berbisik, "Kumohon katakan kau punya kemampuan akting yang lebih bagus daripada tadi.", "Aku rasa kau lebih baik membawa Stella dibandingkan aku.", gerutu Laurel. "Dia jauh lebih pandai berakting.", "Mau minun apa?", tanya Sarah sambil membuka kulkas yang tak jauh dari sofa dan posisi mereka berdiri. Laurel dan Orland menatap wanita itu bersamaan, lalu tersenyum kikuk. Sebelum mengambil langkah, Orland berbisik, "Aku tahu, tapi yang kekasihku itu kau. Bukan Stella.", ujarnya. "Air mineral saja.", ... Orland bersyukur meskipun Laurel kurang pandai berakting. Setidaknya hal itu tidak membuatnya kesulitan menghadapi Sarah. Sebenarnya, Orland bisa saja datang ke perusahaan mantan teman kencan satu malamnya itu sendirian. Tapi ia lebih memilih membawa Laurel daripada terjadi hal buruk yang tidak diinginkannya untuk saat ini. Adapun Laurel disisinya, Sarah dengan frontal menciumnya. Bayangkan jika Laurel tidak ada? Orland jamin Sarah akan menerjangnya seperti singa yang kelaparan dan dirinya pun pada akhirnya tidak bisa menolah. Jadi, lebih baik mencegah bukan? Berbicara mengenai hal-hal yang v****r. Orland jadi tersadar bahwa beberapa minggu terakhir ini ia nyaris tidak melakukan pelepasan. Entah itu dengan wanita kencan satu malam atau sendirian. Pantas saja Darren sampai marah padanya waktu itu. Pria itu begitu takut jika Orland menyentuh Laurel. Padahal tidak ada yang tahu kalau digoda saja Laurel sudah marah-marah kepadanya. Tapi jauh dalam lubuk hati dan pikirannya. Ia tidak pernah membayangkan ataupun niat untuk menyakiti Laurel. Gadis itu benar-benar berbeda sehingga membuat Orland jauh menjadi pria yang lebih baik. Orland hanya bisa menggelengkan kepalanya. Jika saja sahabatnya yang ada di Indonesia tahu. Pasti hal ini akan menjadi bahan candaan dan bullyan. "Orland... kau mendengarku?", Orland menangkat sebelah alisnya. Ia menatap Laurel dan Sarah yang juga menatapnya. "Ya aku mendengarmu.", Ia tidak berbohong. Meskpiun otaknya memikirkan hal lain tapi telinganya sangat peka. Sarah kembali melanjutkan penjelasannya mengenai keuangan perusahaan. Sedangkan Laurel menatap Orland seolah bertanya 'ada apa?'. Orland mengangkat sudut bibirnya. "Im fine.", katanya tanpa bersuara. Dalam hati, ia tidak membenarkan apa jawabannya. Ia tidak baik-baik saja. Tidak baik yang dimaksud disini karena Orland berubah menjadi bukan dirinya hanya karena seorang gadis yang baru ia kenal. "Baiklah, aku akan mengirim sisanya ke emailmu.", kata Sarah sambil membereskan kertas-kertas di meja. Orland menganguk. "Kirimkan padaku sore ini kalau bisa. Aku ingin memeriksanya ulang.", "Pasti.", balas Sarah. Ia tersenyum lebar. "Ah ya... apakah nomor telepon mu masih sama seperti dulu?", Laurel tiba-tiba tersedak. Ia tersedak bukan karena mendengar perkataan Sarah. Ia tersedak karena terlalu cepat minum. Dan rasanya, ia tersedak di waktu yang salah mengingat wajah Sarah kini semakin kesal. Orland yang tadinya hendak menjawab langsung teralihkan pada Laurel. Ia segera menyambar tisu dan membantu Laurel. "Pelan-pelan kalau minum.", "Maafkan sikapku.", Laurel mengusap bibirnya yang basah dengan punggung telapak tangannya. Sarah mengulas senyuman terpaksa. "Tak masalah.", "Baiklah, kalau begitu aku dan Laurel pamit undur diri. Terima kasih untuk semuanya, Sarah.", Sarah berniat memeluk Orland sebagai tanda perpisahan tapi Laurel segera menghalangi hingga pada akhirnya wanita itu memeluknya. "Terima kasih.", Orland menahan senyumnya. Ia segera menarik Laurel menjauh sebelum Sarah meledak karena sejak tadi wajah wanita itu sudah mulai memerah. "Aku tarik ucapanku. Kau ternyata pandai berakting.", Laurel yang baru saja melangkah mendahului Orland keluar dari ruangan Sarah kini menggeleng pelan. "Aku tidak berakting. Aku serius melakukan itu semua.", "Jadi kau cemburu?", "Siapa yang cemburu?", Laurel balik bertanya dengan nada sewot. Orland terkekeh. Lalu merangkul bahu Laurel sambil setengah menggeret gadis itu mendekat agar sejajar jalannya. "Jelaskan padaku kenapa kau tidak cemburu? Jelas-jelas sejak awal Sarah menerkamku. Bahkan saat meeting tadi ia flirting tanpa henti. Mulai dari caranya berbicara, duduk, bahkan menatapku.", "Kau memperhatikannya sedetail itu?", "Tidak. Aku lebih memperhatikanmu.", "Aku mulai kebal mendengar rayuanmu.", Laurel memutar matanya. "Aku tidak merayumu. Memang kenyataan, mau bagaimana?", "Terserahmu saja.", gerutu Laurel. Orland terkekeh. "Kalau terserahku. Aku masih mau bertanya. Apa kau benar-benar cemburu?", Laurel berdecak lidah. "Tidak. Aku tidak cemburu." "Lalu kau tersedak tadi?", "Hanya kebetulan." "Aku masih tidak percaya.", "Aku tidak cemburu, Orland... Hanya tidak suka melihatnya. Dan kebetulan hari ini aku sedang baik padamu. Jadi aku membantumu.", elaknya. "Masih belum puas?", "Belum.", Orland mencubit pipi Laurel. Sontak gadis itu membalas mencubit perut Orland. ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN