13. Messed Up

1593 Kata
"Darren? Apa yang kau lakukan disini?", Pagi ini ia tidak ada kegiatan perkuliahan. Niat ingin bangun siang akhirnya musnah ketika seseorang menekan bel apartemen nya pagi ini. Cukup tak menyangka bila Darren yang ada di depan pintunya. Bukan Orland. "Kebetulan aku lewat. Jadi aku mampir.", jawabnya sambil menerobos masuk. Laurel membalik tubuhnya, menatap punggung Darren dengan kening berkerut. "Tumben sekali.", gumamnya. Lalu ia mengikuti pria itu. "Apa kau sudah makan?", tanyanya. Darren menjatuhkan dirinya di sofa setelah melepaskan jas yang dikenakan. "Belum. Itu dia salah satu alasanku kemari. Buatkan aku sarapan.", jawabnya. Laurel mendengus. Ia melipat tangannya di depan d**a. "Kenapa kau tidak sarapan di rumah Stella saja?", "Stella ada latihan golf dengan ayahnya. Aku malas ikut.", Laurel mengatupkan bibirnya rapat hingga membentuk melengkung kebawah. Sambil mengangguk, "Mau sarapan apa?", "Apakah ada roti isi tuna?", Laurel meringis pelan, "Bagaimana dengan garlic bread and creame soup?", Sejak Darren tidak pernah kemari. Laurel sudah tidak pernah lagi membeli stok bahan makanan kesukaan pria itu. "Terserah saja. Yang penting kau yang memasak.", Darren tersenyum lebar tanpa dosa. "Tapi tunggu tiga puluh menit. Aku mau mandi terlebih dahulu.", "Kau belum mandi?", "Kau berharap apa aku mandi pukul tujuh pagi?", gerutu Laurel. ... Darren berubah pikiran setelah beberapa menit duduk di kursi tinggi kitchen island. Tadinya ia hanya ingin memperhatikan Laurel memasak kini menjadi membantu gadis itu. Sambil mengenakan celemek berwana pink milik Laurel, Darren mengangkat sebuah wortel sebatas dadanya. Ia memperhatikan wortel itu. "Baiklah, aku tidak mengerti cara memotongnya.", Laurel melirik sekilas. Sambil mengeluarkan ayam dari dalam kulkas ia berkata, "Kau lulusan S2 tapi tidak mengerti cara memotong wortel.", "Di kampus tidak ada pembelajaran memotong wortel mengingat aku bukan mengambil jurusan kuliner.", Laurel tertawa. Setelah meletakkan ayam di atas telenan ia mengambil wortel dalam genggaman Darren. "Kau hanya perlu memotongnya menjadi dua bagian dari atas kebawah. Lalu potong tipis-tipis hingga bentuknya menjadi setengah lingkaran.", ia meletakkan wortel itu di telenan dihadapan Darren lalu menyambar pisau di depan mereka. "Ini, cobalah.", tambahnya. Darren menerima pisau pemberian Laurel. "Ternyata susah juga memasak.", keluhnya. "Tidak ada yang susah kalau kau mau belajar.", komentar Laurel. "Kalau begitu ajari aku memasak. Tidak lucu kalau aku sudah menikah, aku ataupun Stella tidak ada yang bisa memasak.", Laurel mengulas senyum tipis. "Aku mau saja mengajarimu memasak. Tapi lebih baik kau mencari guru lain.", "Kenapa? Aku akan membayarmu.", tanya Darren. Pria itu tahu penolakan Laurel bukan karena masalah yang berhubungan dengan uang pastinya. "Tumben sekali kau menawariku bayaran.", sindir Laurel. "Meskipun kau membayarku aku tetap tidak mau.", "Kenapa?", Darren mengulang pertanyaannya. Laurel menghela napas pendek. Sambil memotong ayam ia berkata, "Aku tidak ingin Stella cemburu.", "Cemburu?", Darren tertawa kecil. "Dia tidak mungkin cemburu denganmu. Kau sahabatnya.", Pergerakan tangan Laurel terhenti sejenak. Ia menatap Darren sambil sedikit memiringkan tubuhnya. Lalu sebelah tangan bertumpu pada meja. "What?", tanya Darren ketika menyadari ekspresi Laurel. "Aku tahu seharusnya aku tidak boleh mengatakan ini.", "Sejak kapan kau peduli apa yang mau kau sampaikan padaku?", Darren ingat jelas bagaimana Laurel akan selalu mengkritiknya atau memberinya saran jika ada sesuatu yang tak beres tanpa perlu bertanya. "Sejak kau melamar Stella.", "Tak apa. Kau bisa katakan padaku.", Laurel meneguk salivanya. Ia melipat kedua tangannya di d**a. "Beberapa kali Stella mengatakan padaku bila ia cemburu.", "Benarkah? Tapi ia tidak pernah mengatakan apapun padaku soal itu.", "Kau bisa bertanya pada Helen.", Darren terdiam sejenak. "Jadi itu alasanmu kenapa akhir-akhir ini kau menjaga jarak?", Laurel mengangguk. "Selain itu aku juga ingin menjaga hati Orland.", ujarnya tanpa sadar. "Tampaknya kau sangat menyukainya.", entah kenapa mendadak pembicaraan mereka jadi mengarah pada Orland. "Of course i do. He's my boyfriend.", Darren mengangguk pelan. "Tapi apa kau mencintainya?", "Aku tidak akan menjawab pertanyaanmu.", "Kenapa?", pancing Darren. Sejak dari awal mengetahui hubungan Orland dan Laurel, ia mencurigai sesuatu. Dan sekarang? Laurel tidak bisa menjawab pertanyaannya. "Kau tahu selama ini aku tidak pernah memiliki hubungan cinta pada pria manapun. Yang aku tahu, cinta itu rumit. Kita tidak bisa dengan gampangnya mengucapkan cinta pada seseorang.", "Tapi kalau kau memang mencintainya. Kau seharusnya mudah mengatakannya.", Laurel menggeleng pelan. Sambil menatap Darren ia mengatakan, "Percayalah padaku. Tidak semudah yang kau katakan. Aku pernah mengalaminya.", "What do you mean?", Mendengar pertanyaan Darren membuat Laurel mengerjap. "What?", dalam hati ia memaki kenapa dirinya bisa tidak sadar mengatakan hal yang pastinya merusak segalanya. "Kau barusan berkata bahwa kau mengalaminya. Apa maksudmu kau pernah menyukai seseorang?", Darren mengangkat sebelah alisnya. "Siapa?", Laurel menggigit bibir bawahnya. Tak hanya memaki kini ia merutuki dirinya sebelum berdehem pelan. "Maafkan aku belum bisa memberitahumu.", tiba-tiba hanya maaf yang keluar dari bibir Laurel. Ia tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Darren mengulas senyumnya. "Kalau kau masih belum mau memberitahuku tak apa. Aku akan menunggunya.", "Maafkan aku.", Laurel meringis. "Tidak perlu minta maaf. Seharusnya aku yang meminta maaf karena mendesakmu.", Mereka punya aturan selama mereka bersahabat. Jika mereka memiliki masalah yang tak bisa disampaikan seharusnya tidak boleh dipaksa. Suatu saat, jika waktu sudah tepat, pasti mereka berjanji akan mengatakannya. Laurel mengangguk cepat. Ia kembali melanjutkan kegiatan yang sempat terhenti. Sambil menunduk dan menyibukkan diri memotong ayam. Ia melirik Darren dan menghela napas lega. ... "Terima kasih untuk sarapannya.", kata Darren ketika mereka sudah berada di depan pintu. Laurel menyandarkan kepala dan setengah memeluk pintu. Ia tersenyum. "Tidak perlu berterima kasih.", Darren mengangkat bahunya. "Entahlah, aku rasa aku perku berterima kaaih mengingat akhir-akhir ini hubungan kita sedikit renggang.", "Mau bagaimana lagi?", Laurel meringis pelan. "Memang ini resikonya ketika kita memilih berteman baik dengan lawan jenis.", Darren diam sejenak. Ia mengusap puncak kepala Laurel. "Aku akan mencoba memikirkan sesuatu agar aku tidak perlu merasa kehilanganmu.", Laurel melepaskan tangan Darren dari kepalanya. "Kau kenapa hari ini sepertinya mellow sekali? Tenang saja, kau tidak akan kehilanganku.", bila saja Darren mengatakan hal itu tepat disaat hatinya masih sakit. Mungkin Laurel bisa saja bahagia. Meskipun sekarang ia masih menyayangi Darren. Tapi rasa sayangnya sudah berbeda. "Melihatmu mandiri tanpaku membuatku takut. Apalagi sekarang kau bersama pria semacan Orlando Spencer.", "Memangnya Orlando semacam pria yang bagaimana?", goda Laurel. Darren memutar matanya. "Kau tahu maksudku. Badboy. Sering mematahkan hati perempuan, tidak pernah serius.", "Tapi sepertinya dia berubah.", "Orland juga mengatakan hal yang sama padaku.", "Benarkah?", Laurel mengerutkan keningnya. Darren mengangguk. "Saat aku menjaganya di rumah sakit. Kami berbincang sedikit mengenai hubungan kalian. Saat itu Orland mengatakan bahwa apa yang kunilai tentangnya bisa saja salah, ia juga berkata bahwa manusia pasti bisa berubah. Dan, alasannya berubah itu karenamu.", Laurel hanya bisa tersenyum mendengar jawaban Darren. ... Orland mengerutkan keningnya ketika melihat Laurel tengah menyiapkan sarapan di meja makannya pagi ini. Sungguh pemandangan yang tidak biasa dan sangat langkah tentunya. Ia tidak menyuruh gadis itu kemari hari ini, dan sekarang? Seulas senyuman terukir di bibir Orland. "Apa kau habis disambar petir?", Laurel menghentikan kegiatannya. Ia mendongak dan menatap Orland yang kini berdiri di belakang mini bar. "Maksudmu?". "Tiba-tiba kau menyiapkan sarapan untukku.", "Apa tidak boleh?", "Tentu saja boleh. Hanya saja aku masih kebingungan karena apa yang kau lakukan saat ini sungguh tidak biasa.", Laurel mendengus dan terkekeh geli. "Anggap saja karena hari ini aku berbaik hati.", ujarnya. "Dan aku harap jangan kau berpikir kalau aku berusaha merayumu.", tambahnya. Orland tertawa renyah. ... "Ada yang bisa ku bantu?", Orland mengangkat sebelah alisnya sembari menggigir ujung bolpoin yang di genggamnya. Lagi, Laurel mendadak bersikap baik. Tak hanya itu, gadis itu hari ini sangat penurut dan tidak banyak membantah. Sepertinya ada yang salah... "Tidak ada.", "Apa kau yakin?", tanyanya lagi. Orland menyandarkan punggungnya di sandaran. Lalu berdehem pelan, "Laurel...", Laurel tersenyum kearahnya. "Ya?", "What's wrong with you?", "Tidak ada yang salah.". Orland menggeleng. Meskipun sikap Laurel hari ini adalah sikap yang ia inginkan sejak lama. Tapi mendadak ia lebih menyukai Laurel yang seperti biasa. Laurel yang selalu membantahnya, mencercanya, bahkan terang-terangan tidak menyukainya. "Kau bersikap aneh hari ini. Ada apa?", Laurel menghela napas. Seperti ia melepaskan kelegaan dari dalam dirinya. "Apa terlihat sekali?", "Sangat.", "Aku hanya ingin bersikap baik padamu.", "Untuk?", Laurel menarik kursi dihadapan meja Orland. Ia duduk sambil bersilang tangan di depan d**a. "Kemarin Darren datang ke tempatku. Ia memintaku membuatkan sarapan untuknya.", "Lalu?", "Tiba-tiba aku merasa bersalah kepadamu. Apalagi saat Darren mengatakan bahwa kau berubah menjadi pria yang lebih baik karenaku. Dan sikapku selama ini sepertinya sangat menyebalkan.", Satu detik. Dua detik. Bahkan sampai hampir semenit Orland mencoba mencerna apa yang dikatakan Laurel barusan. Apa ia benar-benar tidak salah dengar? Apa Laurel baru saja secara tidak langsung mengatakan padanya bahwa gadis itu sudah menyukainya? Tiba-tiba ia menyeringai membuat Laurel menatap Orland dengan pandangan horor. "Kenapa kau menatapku seperti itu?", "Seperti apa?", Laurel memundurkan sedikit tubuhnya ke arah sandaran. "Seperti kau mau menerkamku.", "Sejujurnya ya. Rasanya aku benar-benar ingin menerkammu.", Orland masih belum bisa melepaskan senyuman di wajahnya. "Kenapa?", "Apa kau sadar? Kau beru saja mengatakan secara tidak langsung kalau kau menyukaiku.", Laurel mendelik. "Kau salah paham. Maksudku, selama ini aku selalu membantahmu, melawanmu. Lalu perkataan Darren membuatku sadar bahwa seharusnya aku tidak boleh bersikap seperti itu. Kau banyak membantuku tapi aku bersikap jahat padamu.", "Kau yakin bukan karena kau merasa bersalah karena telah berduaan bersama Darren tanpa sepengetahuanku?", Laurel gelagapan. Ia mengerjap karena tak menyangka dengan pertanyaan Orland. Jujur saja, itu juga merupakan salah satu alasannya. Ia tidak ingin Orland marah padanya lalu- Laurel menggeleng. Mencoba menghilangkan pemikiran di kepalanya. Ia bangkit berdiri, "Aku masih belum menyukaimu!", Orland terbahak. "Belum eh? Berarti kau sudah ada rencana untuk menyukaiku?", Laurel menggaruk tengkuknya. Ia semakin salah tingkah. "Bukankah sudah aku katakan tempo hari? Aku berusaha menyukaimu karena kau baik padaku.", Orland ikut bangkit. Ia menggeleng pelan. "Aku tahu. Tapi kali ini aku yakin rasa sukamu bukan karena aku baik padamu.", "Lalu?", "Karena kau mulai jatuh cinta padaku.", ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN