6. Realationshit

1384 Kata
"Why are you smiling like that?", "Like what?", "Like you're fallin in love.", Orland masih belum bisa melepaskan senyumannya. "Mungkin.", "No way!", seru Darren tak percaya. "Perasaan kau baru beberapa hari yang lalu mengatakan bahwa kau tidak akan menikah dalam waktu dekat.", "Memang.", "Lalu?", Orland meletakkan iPad di tangannya diatas meja. Lalu ia mengambil cangkir kopi miliknya dan meniup uap panas yang masih mengepul dari dalam. "Intinya aku belum ada pandangan untuk menikahinya atau menikahi siapapun.", "Jadi, siapa gadis yang tidak beruntung ini?", tanya Darren setengah mengejek. Ia cukup penasaran karena sejak pagi tadi pria itu datang ke kantornya, Orland tersenyum aneh dan sampai saat ini masih belum berhenti. "Untuk saat ini. Aku tidak akan memberitahumu.", "Why? Im your bestfriend.", seru Darren tak terima. Orland mengangkat bahunya. Ia menyesap sedikit kopinya sebelum kembali meletakkan cangkir di genggamannya kembali diatas meja. "Karena kau sahabatku jadi aku tidak akan memberitahumu.", Darren mengerutkan keningnya. "Maksudmu?", "Intinya, aku takut bila nanti kau berpaling dari Stella.", "Kenapa kau terdengar sangat yakin kalau aku akan berpaling?", "Karena aku sangat yakin bahwa perempuan ini sangat cantik, lucu, dan menggemaskan.", Orland melirik sekilas Darren dihadapannya. "Jangan tersinggung. Tapi gadis ini lebih cantik dari tunanganmu. Ingat perkataanku, awas saja kalau kau berpaling!", Darren mendengus. Ia menendang kaki Orland membuat pria itu terkekeh pelan. "Jangan mulai dengan pemikiran konyolmu. Lagipula dalam beberapa bulan aku akan melamar Stella.", "Siapa tahu?", goda Orland membuat Darren menggelengkan kepalanya. "Ya memang tidak ada yang tahu. Tapi akan kupastikan aku tidak akan merebutnya darimu karena aku sudah punya Stella. Tenang saja...", Orland bangkit berdiri. Membenarkan letak jas nya sebelum memasukkan ponsel kedalam saku celana. "Awas saja sampai kau melanggar kata-katamu sendiri.", Darren mendengus. "Memangnya aku sepertimu?", Tidak ada jawaban dari Orland. Ia berlalu pergi meninggalkan Darren yang masih penasaran dengan siapa perempuan yang pada akhirnya mampu merubah cara pandang pria itu mengenai hubungan yang serius. "Mau kemana? Kau belum menjawabku! Siapa perempuan itu?", Langkah Orland terhenti. Ia membalikkan tubuhnya dan tersenyum penuh arti kearah Darren. "Intinya, dia muridku.", Darren hampir saja tersedak dengan salivanya sendiri mendengar perkataan Orland. "Dasar p*****l!", jadi itulah alasan kenapa sahabatnya mendadak merubah status pekerjaan dari pembisnis menjadi praktisi? Orland mendengus pelan. "Sialan kau!", makinya sebelum keluar dari dalam ruangan. ... Tidur siang Laurel terganggu karena dentingan bel apartemennya berbunyi beberapa kali. Sepertinya orang yang ada di luar sana sudah tidak sabar sekali. Ia bangun, turun dari atas kasur, dan melangkah keluar dari kamar. Sambil menguap ia membuka pintu depan dan mendapati Helen berdiri disana. "Just tell me... is that true?", tembak Helen langsung. "Apanya?", "Stella menemuiku setelah kelas pagi tadi. Katanya, kemarin kau memberitahunya bahwa kau memiliki kekasih.", Laurel mengerjap. "Maksudmu?", tanyanya bingung. Ia masih mengantuk membuat perkataan Helen tidak masuk di otaknya. Helen menghela napasnya. Ia menggeret Laurel masuk menuju ruang tamu dan mendudukan gadis itu di sofa. "Jawab saja iya atau tidak. Apa benar kau sudah memiliki kekasih?", Laurel mencoba mencerna sesaat. Sebelum akhirnya ia sadar dengan pertanyaan Helen. "Ah tentang itu...", "Jadi?", Laurel menggeleng. Lalu ia menjatuhkan diri kebelakang mengambil posisi setengah tiduran di sofa. Ia menatap malas Helen. "Aku berbohong pada Stella.", Helen mengernyit. "Apa maksudmu ini berhubungan dengan pria di klab waktu itu?", Laurel mengangguk lemah. "Ah pantas saja.", gumam Helen. "Tapi, kenapa kau tampak lesu?", "Aku baru saja bangun tidur, Helen...", Helen menggeleng cepat. "Aku tahu. Tapi ekspresimu menunjukkan seolah kau sedang memikirkan sesuatu.", ujarnya. "Ceritakan padaku. Kita hampir seminggu tidak bertemu.", Terdengar helaan napas dari bibir Laurel. Gadis itu menatap Helen. "Apa yang harus kulakukan?", "Kau meminta saranku tapi kau belum bercerita detailnya padaku.", ujar Helen sambil memutar matanya. Laurel kembali mengambil posisi duduk. Ia membenarkan rambutnya yang berantakan. "Baiklah aku jelaskan secara singkat.", Helen mengangguk kecil. "Intinya, kau tahu bahwa aku berbohong pada Stella bukan?", "Ya.", "Dan sialnya, Stella meminta bukti apakah benar atau tidak aku memiliki kekasih. Dia mengajakku dan kekasih bohonganku makan malam.", "Ya sudah. Bawa saja pria lain.", jawab Helen. Ia tidak tahu sama sekali tentang siapa pria yang saat itu membantunya di klab. Laurel menggeleng. "Masalahnya ada disini...", "Apa?", "Sepertinya Stella kemarin mengetesku. Aku jelas tahu dia punya ingatan yang tajam. Dan ia bertanya padaku siapa nama pria yang menjadi kekasihku waktu di klab. Sialnya, saat di klab, pria yang membantuku itu menyebut namanya. Jadi aku tak bisa berbohong lagi atau membawa pria lain.". "Yasudah. Kau cari lagi pria itu. Aku akan membantumu. Kita ke klab malam ini.", balasnya. "Apalagi selain nama yang kau ingat? Wajahnya?", tanya Helen. Laurel meringis. "Masalah kedua....", ia sengaja menggantung kalimatnya sebelum mengatakan, "Aku tahu dimana pria itu", "Kalau begitu datangi dia dan minta bantuannya lagi. Beres bukan?" Laurel menggeleng pelan. "Tidak segampang itu.", "Kenapa?", "Waktu itu aku belum menjawab pertanyaanmu.", "Pertanyaan apa?", tanya Helen bingung karena Laurel mendadak membahas hal lain. "Dan apa hubungannya pertanyaanku dengan masalah ini?", "Ingat saat Mrs. Powell terakhir mengajar dan kau bertanya kenapa aku bertingkah aneh?", "Ingat. Kenapa?", Helen balik bertanya. Laurel mendesah pelan. "Pikirkan baik-baik.", Helen mencoba berpikir seperti perkataan Laurel. Mulai dari kejadian ia menjemput Laurel di klab, keesokan paginya berangkat bersama, sampai berakhir di kelas. Lalu menoleh cepat dan melebarkan matanya. "NOOOO WAYYYYY!!!", teriaknya panjang ketika berhasil memahami semuanya. Laurel mengangguk lesu. "Yes way! Orlando Spencer. Dosen pengganti Mrs. Powell. Dia yang saat itu membantuku di klab.", ... Dering ponsel Laurel berbunyi ketika gadis itu sedang menikmati acara televisi bersama Helen di ruang tamu. Ia mengambil benda kotak kecil itu dari atas meja dihadapannya dan menoleh kearah Helen. Ia tersenyum lebar sambil menunjukkan nama yang tertera di layar tersebut. "Darren!", seru Laurel senang. Helen yang tadinya memposisikan tubuh tiduran langsung terduduk dan merangkak kearah Laurel. "Cepat angkat!", Laurel segera menerima panggilan tersebut. Tak lupa ia juga meloud speaker panggilannya. "Halo?", sapa Laurel sambil mendorong kepala Helen sedikit menjauh dari dirinya. "Halo... kau dimana?", "Dirumah. Kau sendiri?", "Masih di kantor.", Laurel melirik jam dinding yang menggantung di atas televisi. "Sudah hampir jam 7 kenapa kau masih di kantor?", Darren mendesah. "Pekerjaanku belum seleasai.", Hanya deheman pelan yang keluar dari bibir Laurel. Saat ini rasanya benar-benar awkward. Padahal, biasanya mereka tidak pernah kehabisan kata untuk di perbincangkan melalui telepon. "Kau sedang apa?", akhirnya Darren yang bertanya. "Menonton televisi.", "Kalau begitu kembalilah menonton.", Laurel menggeleng. "Tidak apa. Kenapa kau menghubungiku?", Terdengar kikikan kecil di sebrang sana. "Tak apa. Hanya ingin mendengar suaramu. Apa tidak boleh?", Kalau saja hubungan mereka masih seperti dulu. Laurel pasti akan menjawab dengan hal yang sama. Ia pasti akan mengatakan bahwa ia juga rindu. Sayangnya, Darren sudah memiliki tunangan. "Jangan menggodaku!", serunya. Helen mendelik. Ia menoyor kepala Laurel. "Bodoh! Kenapa kau jawab seperti itu?!", bisiknya bersamaan dengan Darren mengatakan, "Aku tidak menggodamu. Itu kenyataan. Aku memang ingin mendengar suaramu. Maaf aku terlalu sibuk akhir-akhir ini. Kita jadi tidak bisa bertemu.", Laurel meringis. "Tak apa...", Helen memutar matanya. Dalam hati ia memaki, meluangkan waktu untuk Stella bisa. Tapi untuk sahabatnya tidak bisa. "Oh ya... Stella bilang, sabtu ini kita akan makan malam bersama. Ada acara apa?", Laurel segera menekan tombol mute pada ponselnya. Ia menoleh kearah Helen dengan mata melebar. "Bagaimana ini?", "Katakan saja sebenarnya.", "Stella bilang. Harus dia yang menyampaikan berita ini pada Darren.", Helen berdecak kesal. Ia menarik paksa ponsel yang di genggam Laurel. "Helen!", pekiknya. "Kembalikan!", Laurel berhasil mengambil kembali alih ponselnya. Ia menekan lagi tombol mute. "Maafkan aku. Tapi aku tidak bisa memberitahumu sekarang. Ini kejutan!", "Kau membuatku penasaran", "Kalau begitu, sampai bertemu sabtu besok?", "Ya can't wait to see you, Laurel. Bye...", Panggilan terputus. Laurel langsung menjatuhkan tubuhnya ke sandaran sofa sambil mengusap wajahnya kasar. "Apa yang kau lakukan?", "Berpikir.", jawab Laurel lesu. "Apa lagi yang kau pikirkan? Cepat hubungi Orlando Spencer.", perintah Helen membuat Laurel semakin membenamkan wajahnya. Helen berdecak. Ia menarik tangan Laurel menjauh dari wajahnya. "Kenapa kau masih ragu meminta bantuannya?", "Helen...", panggil Laurel. "Kau tidak mengerti betapa menyebalkannya pria itu! Aku tidak mau kembali berurusan dengannya. Menjadi asisten dosennya sudah cukup menyiksaku.", tambahnya menggerutu. "Andai saja kita bisa bertukar posisi. Aku rela menggantikanmu.", sahut Helen. "Secara, Orlando Spencer, dia sangat sempurna. Apa yang salah?", Laurel pada akhirnya membuka tangannya. Ia memasang ekspresi cemberut. "Pertama, dia menyebalkan. Kedua, dia dosen kita.", "Lalu? So what?", balasnya. "Sekarang pilihan ada di tanganmu. Kau hubungi Orlando dan minta bantuannya untuk beberapa saat, lalu kau bisa mengatakan kalau kalian putus. Atau, kau mau Stella mengganggumu karena dia berpikir kau akan merebut Darren darinya?", ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN