Kebanyakan wanita mengatakan tabiat semua pria itu serupa. Tapi aku tidak percaya. Faktanya, kamu berbeda
❄❄❄
Atifa mengumpat saat di UKS tidak ada orang. "Kemana sih petugas UKS! PMR nya juga kemana coba!" seru Atifa geram.
Abrar membaringkan Alayya di tempat tidur yang ada di UKS.
Triiiing
"s**l! Udah bel lagi, gimana nih" panik Atifa saat melihat Alyya yang terus memegangi hidungnya.
"lo bisa diem nggak" ucap Abrar dingin. Sungguh Abrar sangat risih mendengar gadis yang ia tidak tahu namanya itu dari tadi hanya mengumpat dan menggerutu.
"Gimana mau diem. Ini sahabat gue hidung nya sampe ngeluarin darah sebanyak itu. Kalau gak karna bola s****n itu Alayya gak bakal kayak gini” balas Atifa sengit.
“ Petugas PMR sama UKS mana coba? Aduh, malah udah bel lagi. Habis ini Mr. Darwin lagi yang masuk, kalau gue bolos bisa mampus nilai gue" cerocos Atifa panjang lebar.
Jangan terkejut saat mendengar Atifa berbicara menggunakan kata lo-gue. Pada dasarnya memang begitu cara Atifa berbicara kepada teman sebayanya. Tapi pengecualian jika itu dengan Alayya. Saat dengan Alayya, Atifa hanya akan menggunakan kata aku-kamu dalam menyebut dirinya dan Alayya.
"Masuk aja Fa, aku disini sendiri nggak pa-pa kok. Sebentar lagi petugas PMR nya pasti datang. Bilangin ke Mr. Darwin aku izin nggak masuk ya." Ucap Alayya dengan suara yang pelan.
Bagaimana mungkin Alayya masuk kelas ketika kemeja putihnya sudah hampir berubah warna menjadi merah. Bau nya juga sangat amis.
"Tapi ka-"
"Udah kamu ke kelas aja sana. Aku nggak pa-pa"
"Tapi-"
"Masuk aja apa susahnya sih" sela Abrar terdengar kesal.
Atifa mendelik melihat Abrar. Alayya mengangguk kecil pada Atifa, mengisyaratkan bahwa ia baik-baik saja. "Yaudah, aku masuk kelas dulu. Kamu gak perlu masuk kelas. Istirahat disini aja. Nanti aku izinin. Istirahat kedua aku bakalan kesini lagi,oke?"
Alayya hanya mengangguk di iringi dengan senyum kecil di bibirnya. Setelah itu Atifa pun pergi. Hening dan canggung. Itulah gambaran suasana yang terjadi setelah Atifa pergi. Abrar duduk di kursi yang ada di samping tempat tidur tempat Alayya berbaring. Darah yang keluar dari hidung Alayya sudah mulai berhenti.
Uhuk
Alayya terbatuk saat sisa darah yang ada dihidungnya terhirup. Alayya langsung duduk dan menepuk-nepuk dadanya dengan tangan yang berlumuran darah.
Darah yang ada ditubuh Alayya berdesir saat di rasakannya tangan Abrar menepuk-nepuk dan menguap pelan punggungnya. Seketika batuk Alayya berhenti.
"Udah baikan" kata Abrar datar.
Entahlah, Alayya tidak tahu itu sebuah pertanyaan atau pernyataan. Sangat sulit membedakan nya jika kalimat itu keluar dari mulut Abrar yang terlalu sering berbicara tanpa intonasi.
Abrar mendorong bahu Alayya agar Alayya kembali berbaring. Dengan cekatan Abrar mengambil Tissue yang ada di nakas dan menggulungnya. Di sumbatnya kedua lubang hidung Alayya dengan itu.
Alayya mengerjapkan matanya. Alayya memperhatikan wajah Abrar yang tampak serius tetapi terkesan tenang saat membersihkan sisa darah yang ada di antara pipi, hidung, dagu dan leher nya.
"K-kak" panggil Alayya terbata. Alayya terlalu gugup saat ini.
"Hmm" sahut Abrar masih fokus membersihkan pipi Alayya dengan tissue. Abrar sama sekali tampak tak terpengaruh dengan kedekatan mereka.
"Jangan Kak, biar aku aja" ucap Alayya dengan suara aneh karena hidung nya yang tersumbat. Alayya merasa bahwa ia sudah sangat merepotkan Abrar saat ini. Alayya pun mengambil alih tissue yang ada di tangan Abrar.
Entah mata Alayya yang salah melihat atau apa. Alayya melihat kedua sudut bibir Abrar sedikit terangkat membentuk sebuah senyuman kecil. Kak Abrar senyum?
"Kakak lebih baik juga masuk ke kelas"
"Ngusir"
"Ha? " dalam hati Alayya merutuki mulutnya yang mengeluarkan kata memalukan itu.
"lo ngusir gue?" kali ini Alayya bisa mengetahui bahwa itu adalah sebuah kalimat pertanyaan.
Alayya menggeleng. "Terus" sambung Abrar. Abrar kembali membersihkan bagian pipi sebelah kirinya. Lagi dan lagi, jantung Alayya berdetak dengan tidak sopan.
"Kak,ini darah nya banyak banget, nanti kakak bau amis. Nanti tangan sama baju kakak jadi bau amis karena kena darah ku" Alayya mencoba menghentikan Abrar.
Berhasil. Gerakan tangan Abrar di pipinya berhenti. Abrar menatap matanya lekat. Alayya yang tadinya sudah gugup menjadi bertambah gugup saat di tatap seperti itu oleh Abrar.
"Gak masalah" kata Abrar.
Abrar melangkahkan kakinya ke arah kamar mandi kecil yang ada di dalam UKS. Lalu Abrar keluar dengan membawa mangkuk yang berisi air di tangan kirinya dan handuk kecil di tangan kanannya.
Abrar membantu Alayya untuk duduk. Alayya hanya mengikuti apa yang di lakukan Abrar. Abrar duduk di kursi yang ada di samping tempat tidur. Otomatis posisi Alayya duduk lebih tinggi dari Abrar, itu karena Alayya duduk di atas tempat tidur dengan kaki yang menggantung ke bawah.
Alayya menundukkan kepalanya. Alayya merasa malu sekaligus gugup. Alayya tersentak saat Abrar memegang pergelangan tangannya dan membersihkan darah yang sudah mulai mengering dengan handuk kecil yang sudah di basahinya.
Alayya tengah memandangi wajah Abrar. Abrar yang tampan akan semakin tampan jika dilihat dari dekat, itulah yang dapat Alayya simpulkan. Bagaimana bisa seorang laki-laki mempunyai wajah semulus itu, pikirnya. Alayya nyaris tidak melihat pori-pori di wajah Abrar. Tiba-tiba Abrar mengangkat kepalanya. Alayya yang terkejut hanya bisa mnegerjapkan matanya berulang kali. Mata mereka bertemu. Cepat-cepat Alayya mengalihkan tatapannya, malu karena tertangkap basah oleh Abrar.
Abrar menunduk kembali. Membersihkan tangan Alayya yang satu lagi. Lagi-lagi kedua sudut bibirnya terangkat. Tapi kali ini Alayya tidak tahu. Alayya masih terlalu sibuk menormalkan detak jantung nya saat ini.
Senyum kecil itu belum menghilang dari bibir Abrar. Abrar bukan tidak sadar bahwa ia sedang tersenyum. Abrar sangat menyadari itu. Abrar menyadari bahwa gadis di hadapan nya lah yang membuatnya tersenyum. Entah apa yang salah dengan dirinya.
"Udah" Suara Abrar menyadarkan Alayya dari lamunannya.
"Makasih Kak. Dan maaf udah ngerepotin. Gara-gara aku kakak jadi bolos pelajaran." sesal Alayya.
Abrar menyandarkan punggung nya di sandaran kursi. Abrar memperhatikan Alayya yang sedang menundukkan kepalanya. Alayya sangat mengenali wajah Alayya. Entah ini takdir atau hanya sebuah kebetulan, Abrar menyadari bahwa belakangan ini ia sangat sering berjumpa dan berurusan dengan gadis yang ada di hadapannya itu.
"Nama lo Alayya kan"
Alayya mengangkat kepalanya lalu menatap Abrar sebentar kemudian menunduk lagi.
Alayya mengangguk sebagai jawaban. Alayya terkejut bukan main saat Abrar menyebutkan namanya. Yang ada dalam fikirannya saat ini adalah bagaimana Abrar bisa tahu namanya.Padahal Alayya sangat jarang memakai name tag nya. Tapi tak bisa di pungkiri bahwa Alayya sangat senang karena Abrar mengetahui namanya.
"Maaf"
Alayya melihat ke arah Abrar dan begitu pula dengan Abrar. Mereka saling menatap. Kening Alayya berkerut. "Kenapa kakak minta maaf ? Seharus nya aku yang minta maaf karena udah ngerepotin kakak dan gara-gara aku kakak jadi bolos pelajaran"
Abrar masih diam. Sedikit tidak menyangka bahwa gadis yang ia kira pendiam dan ttidak banyak bicara bisa mengatakan kalimat sepanjang itu dengan lugas tanpa ragu. Abrar memperhatikan wajah Alayya lagi.
"Gara-gara gue".
"Maksudnya?" tanya Alayya tak mengerti.
"Gue yang ngelempar bola kastinya" jawab Abrar masih dengan nada dan ekspresi khasnya.
Alayya mengangguk paham. Alayya melepaskan gulungan tissue yang sedaritadi menyumbat hidungnya. "Iya, gak pa-pa. Aku tau kakak gak sengaja. Lagian mana kakak tau ada orang di sana. Kakak kan juga gak bisa nentuin kemana arah bolanya." ucap Alayya benar-benar tulus.
Alayya sama sekali tidak mempermasalahkan siapa yang sudah melempar bola kasti itu sehingga membuat hidungnya berdarah. Jika yang melempar bukan Abrar, Alayya tetap tidak akan marah ataupun dendam. Alayya menganggap kejadian yang menimpanya hari ini adalah nasib badannya. Alayya tersenyum pada Abrar, senyum yang tulus.
"Semudah itu"
Alayya mengeryit. "Itu pertanyaan atau pernyataan ?" tanya Alayya.
"Pertanyaan" jawab Abrar singkat. Tangan nya terlipat di d**a.
"Ooh"
"Semudah itu" ulang Abrar.
"Apanya? "
"Maafin gue"
"Maksud kakak semudah itu aku maafin kakak ?" tanya Alayya. Abrar mengangguk dengan wajah polos.
"Iya, kenapa enggak?”
“apa karena gue pelakunya makanya lo maafin gue semudah itu?” Tanya Abrar percaya diri. Abrar sudah cukup paham akan hal-hal yang seperti itu.
Berpura-pura baik di hadapannya untuk mendapatkan simpati dan perhatiannya. Itulah hal-hal yang di lakukan oleh para perempuan yang mencoba mendekatinya, Gilang menamai mereka Fans.
Alayya tersenyum tipis. “maksud kakak aku lagi cari perhatian sama kakak?” tanya Alayya memastikan. Abrar diam tidak menjawab. Alayya anggap diamnya Abrar sebagai jawaban ‘ya’
“cari perhatian dengan nyakitin diri sendiri?” tanya Alayya. “bukannya itu tindakan bodoh?” lanjutnya. Abrar masih setia membungkam mulutnya.
“kalaupun pelakunya bukan kakak, aku tetap nggak masalah. Siapapun yang melempar bola kasti itu, aku yakin dia nggak salah. Lagian mana dia tau ada aku disana dan bola kastinya bakal ngenain aku. Kalau dia tau, dia nggak bakal ngelempar ke arah ku” Jawab Alayya.
“lo maafin gue?” tanya Abrar.
“Allah aja bisa memaafkan dan mengampuni sebesar apapun dosa hambanya. Kenapa aku gak bisa? Apalagi ini cuma hal kecil" Alayya tersenyum.
"Kalau Allah aja bisa memafkan hambanya kenapa aku yang hambanya gak bisa memaafkan hambanya yang lain"
Hening
Alayya menjadi canggung. Alayya merasa ia sudah banyak bicara. Alayya bukanlah tipe orang yang banyak bicara,tapi entah kenapa ia sangat banyak bicara saat ini.
Alayya turun dari tempat tidur. Alayya menepuk-nepuk belakang rok nya. Abrar masih memperhatikan setiap pergerakan Alayya.
"Aku harus ganti bajuku. Sekali lagi makasih, Kak" Alayya pun berjalan pergi. Sedangkan Abrar tak merespon ucapan Alayya. Abrar masih duduk terdiam.
Alayya menghentikan langkahnya saat ia sampai di ambang pintu. "Kak" panggil nya. Abrar membalikkan badannya dan melihat ke arah Alayya.
“Makasih udah bawa aku ke UKS” ucap Alayya tulus. Alayya tersenyum tulus sebelum ia benar-benar meninggalkan ruangan UKS.