Di pesta, Ken enggan melepaskan tangannya dari pinggang Dara. Matanya was was memperhatikan sekeliling. Banyak pria di pesta tersebut, pengusaha muda kaya juga banyak. Ken tidak mau Dara tertarik pada mereka dan kemudian pergi dari genggaman Ken. Jadi tidak heran jika ia begitu posesif merangkul pinggang Dara. Ia ingin menunjukkan kepada semua orang bahwa Dara miliknya, istrinya.
Ini yang Ken benci, banyak pasang mata terutama pria yang tertuju pada Dara. Masalah Ken tetap sama, takut Dara berani melawannya, takut kenaifan Dara luntur karena mengenal orang baru yang bisa saja berdampak negatif untuk Dara, lebih tepatnya berdampak negatif untuk Ken sendiri. Itu sebabnya kenapa Ken tidak mau mengajak Dara ke pesta. Namun banyak yang bertanya di mana pasangannya, di mana istrinya, dan banyak pertanyaan di mana Dara saat ia datang sendiri ke pesta. Itu sebabnya kali ini Ken mengajak jawaban dari pertanyaan di mana tersebut.
"Matanya jangan jelalatan, tetep di samping saya. Jangan tebar pesona ke pria kaya di sini." Bisik Kenan.
Lelah berdebat dengan Ken, Dara hanya diam. Ia memilih menunduk, menyamakan langkahnya dengan Ken yang lebih lebar. Menunduk adalah satu-satunya cara menjawab pertanyaan suaminya.
Seorang pria dengan setelan jas mahal menghampiri Ken dan Dara saat keduanya baru sampai di meja tempat wine tertata. Ken tahu pria itu, pengusaha muda real estate yang panas diperbincangkan para awak media karena ketampanan dan kekayaan yang ia miliki. Dio Prasetya. Pria yang pernah bekerja sama dengannya saat pembuatan iklan perusahaan. Mereka pernah dekat sebagai kolega.
"Selamat malam, Ken." Sapa Dio.
"Selamat malam Dio. Apa kabar?"
"Sibuk tentu saja, tapi malam ini harus bisa meluangkan waktu untuk menghadiri pesta penting Pak Ananta," balas Dio sekenanya.
Pria bernama Dio itu memang ramah, tak arogan seperti pria kaya muda lainnya. Karena itu Kenan begitu mudah akrab dengan pengusaha muda itu.
Mata Dio tertuju pada Dara yang masih menunduk di samping Kenan. Hal itu mencuri perhatian Dio, siapa wanita cantik yang ada di dalam rangkulan Kenan? Pertanyaan itu muncul di benaknya.
"Siapa perempuan cantik yang kamu bawa ini Ken?" tanya Dio.
Ken baru sadar, bahwa ia masih merangkul istrinya. Dara mau mendongakkan kepala saat Dio bertanya siapa dirinya, namun Dara tak kunjung bersuara, ia hanya beradu tatap dengan Dio. Kenan? Jangan tanya, ia sudah merapatkan rangkulan tangannya di pinggang Dara. Takut-takut jika Dara mungkin akan tergoda pada Dio yang jauh lebih kaya dan tampan darinya.
"Ah hampir lupa, aku bawa istriku. Kenalkan, Dara." Ucap Ken pada Dio. Dara menoleh ke samping, mendongak untuk menatap mata tajam Ken.
"Dara kenalin, dia Dio. Kolega aku." Balas Ken.
Mana kata saya nya? Tanya Dara dalam hati. Namun tak butuh waktu lama ia sadar kalau mereka ada di luar rumah, pasti aneh kalau mereka berbicara formal satu sama lain sedangkan status mereka suami-istri. Apalagi yang baru menikah lima bulan lalu.
"Kenalin, Dio." Ucap Dio menjulurkan tangannya di hadapan Dara.
Ragu, Dara menerima uluran tangan Dio. "Dara." Balas Dara singkat dan buru-buru melepas jabatan tangan tersebut. Ia takut kepada Ken mengingat ia selalu menuduh Dara yang tidak-tidak.
"Cantik banget istri kamu Ken, beruntungnya kamu bisa menikah dengan wanita secantik Dara." Puji Dio.
"Tentu saja aku beruntung menikahinya." Balas Ken sambil mengecup pelipis Dara. Sedikit menyombongkan diri kepada Dio.
Hal itu cukup membuat Dara terkejut. Lagi ia mendongak ke arah Ken. Pria itu tengah tersenyum kepada Dio, senyum kemenangan. Entah harus senang atau kecewa, Dara tahu bahwa saat ini Ken hanya menjaga image sebagai suami Dara. Ken, entah bagaimana perasaannya, Dara masih tidak bisa membacanya.
"Dara cukup pemalu ya, Ken? Dia cuma diem, kamu harus sering ajak dia ke pesta. Jangan cuma dikurung buat kamu sendiri," goda Dio dengan candaannya.
"Tentu saja, dari sekarang aku harus sering-sering ajak dia ke pesta." Balas Ken.
"Boleh aku ajak dia dansa, Ken?" Tanya Dio meminta izin.
Mimik wajah Ken berubah, ia ingin menolak mentah-mentah. Senyum palsu itu Ken tunjukkan. Ia menatap Dara yang masih enggan untuk menegakkan kepalanya.
"Tentu saja, Dara, kamu diajak dansa Dio." Ucap Ken, namun bukannya melepas pinggang gadis itu, Ken malah semakin meremas pinggang Dara. Ingin sekali Dara meringis, tapi jika ia melakukan hal itu tentu saja akan membuat Ken malu di depan koleganya. Belum lagi jika mereka sampai rumah. Dara tidak tahu apa yang akan terjadi pada dirinya.
"M … Maaf sebelumnya, aku gak bisa dansa." Balas Dara gugup. Ia menahan mati-matian rasa sakit di pinggangnya itu. Namun sedetik setelah Dara memberikan jawaban kepada Dio, Ken melonggarkan remasannya. Yang artinya Dara aman. Jawaban yang Dara berikan sudah benar.
"Sayang sekali aku gak bisa dansa sama wanita secantik kamu Dara. Kalau begitu aku permisi dulu, Ken, aku harus menemui kolega lain. Selamat bersenang-senang kalian berdua."
Dara tersenyum, begitu juga Ken. Namun saat Dio sudah pergi dari hadapan mereka berdua, saat itulah Ken berubah. Ia menarik lengan Dara pergi dari keramaian, menyeret istrinya dari tengah pesta ke lorong gelap gedung pesta itu.
Ken menghempaskan Dara pada dinding. Mengampit kedua pipi Dara dengan satu tangannya. "Masih bersikap genit saat suamimu ada di sampingmu!" sentak Ken menggema.
"Ken, sakit." lirih Dara dengan suara tidak jelas. Akhirnya Ken melepaskan ampitan itu.
"Ngomong! Kamu goda Dio kan! Saya tahu itu."
"Saya goda dari mana Ken? Saya ada di samping kamu, kamu rangkul pinggang saya, bahkan saya menolak ajakan teman kamu itu. Saya nunduk, saya gak berani natap dia takut kamu marah. Saya goda dari mana?" tanya Dara cukup frustasi dengan semua tuduhan yang Ken berikan padanya.
"Dia bilang kamu cantik!"
Mendengar ucapan Ken membuat Dara bingung, tiba-tiba ia pasrah karena apapun yang ia lakukan tidak pernah benar. Jika Ken selalu menuduhnya menggoda pria kenapa ia malah membawa Dara ke pesta yang dihadiri banyak pria? Dara harus apa? "Apa yang saya lakukan emang gak pernah bener di mata kamu, Ken." Lirih Dara.
"Emang kamu salah! Nikahin kamu aja salah terbesar saya!"
Hati Dara sakit mendengar penuturan Ken. Jika pernikahan mereka kesalahan, kenapa Ken tidak menceraikannya? Kenapa Ken menjadikannya istri namun tak pernah sama sekali bersikap layaknya suami? Kenapa masih bertahan?
"Saya telepon Pak Supri buat jemput kamu. Nanti saya bilang kalau kamu gak enak badan. Kamu pulang dulu."
"Ken, tapi,"
"Gaada tapi-tapi."
"Ken di sini gelap." Ujar Dara memelas.
"Itu urusan kamu. Tinggal jalan, keluar, dan temuin Pak Supri. Gak usah manja."
"Kamu tahu, saya takut gelap."
Tak peduli, Ken meninggalkan Dara yang semakin ketakutan saat tahu Ken sudah tidak bersamanya lagi.
Waktu seolah berhenti, Dara menutup matanya rapat-rapat. Keringatnya mengucur deras di seluruh tubuh. Tangannya yang bergetar tak bisa ia sembunyikan, meski ia meremas gaun yang ia kenakan sekalipun.
Dara menggigit bibir bawahnya keras, matanya terpejam rapat-rapat, bibirnya memanjatkan doa semoga ada seseorang yang menolongnya. Ia benar-benar akan mati konyol karena ketakutan di lorong gelap ini.
"Aku mohon, tolong bawa aku pergi dari sini, siapapun." gumam Dara. Suaranya hilang seketika karena terpaan angin yang berhembus.
Waktu cepat berlalu, sudah dua jam lebih Dara terkurung dengan ketakutannya sendiri tanpa ada orang yang mau menolongnya. Mustahil mengharapkan pertolongan jika lorong itu saja lumayan jauh dari keramaian pesta. Apa mungkin ia akan berada di lorong itu sampai pagi?
"Apa yang harus aku lakuin?" Tanya Dara pada dirinya sendiri.
Bibirnya memucat, lipstick yang ia kenakan tadi sudah luntur karena ia tak berhenti menggigit bibirnya sendiri. Lantai yang ia pijak sangat dingin, udaranya juga mendukung untuk membuatnya semakin menderita. Tubuhnya melemas seketika, doanya ternyata belum tuhan kabulkan.
Pecahan memori itu lagi-lagi berkuasa sepenuhnya atas Dara, ketakutan itu semakin menjadi. Dadanya sangat sesak mengingat semuanya.
"Tolong." Lirihnya putus asa.
Teriakan itu semakin menguasai delusi persekusi Dara, ia seperti sedang dikejar pembunuh, saking ketakutannya ia ingin lari namun kakinya terkunci, ia seperti terkurung dalam box sempit yang hanya cukup untuk badannya masuk. Panik berlebihan semakin menyerang Dara. Tangisan itu semakin Dara serukan, ia menderita, sangat menderita namun tak ada yang menolongnya.
Saat pandangan Dara yang tak bisa melihat apa-apa itu terbuka, ia merasa berada di dalam sebuah dimensi lain yang dengan mudah mengombang-ambingkan tubuh dan pikirannya. Sedetik, hanya sedetik jika sebuah suara tak menyadarkannya, mungkin ia akan kalah dengan ketakutannya itu.
- To be continued -