Rindu dan Pernikahan

767 Kata
Dari kejauhan terlihat  2 mobil terparkir di halaman rumah “Papah, Mamah… akhirnya mereka pulang juga” ucapku gembira, dengan segera kuparkir mobil dan cepat-cepat masuk, tak sabar ingin bertemu dengan mereka. Namun senyuman di bibirku pudar, saat telingaku mendangar kata ‘Perpisahan’, rasa bahagia yang sebelumnya membuncah kini telah redup seketika,  kedua manusia yang telah larut dalam pertikaian itu, tak menyadari kedatanganku yang kini berdiri di ambang pintu, dengan langkah gontai aku berjalan menuju kamar dan ya, mereka masih tidak menyadari kedatangan ku atau mungkin tak pernah menganggap ku ada. Aku terduduk diam merenungi semua yang telah terjadi , rasa letih, kantuk dan kecewa yang melanda membuatku tanpa sadar tertidur di atas sofa kamar. Kringg… kringg.., mataku mengerap saat mendengar dering alarem , waktu menunjukan pukul 17:00, ah malas rasanya  beranjak dari tempat tidur untuk bersiap-siap  pergi kerja malam ini dengan segala  kekacauan dan kekecewaan yang ku rasa.  Dreett… Dreet… Reina: Ra, gw gak masuk . Mamah sakit, di rumah gak ada orang, gw udah ijin ke dokter Hans.          Baru saja aku berfikir untuk absen malam ini, tapi ternyata  Reina sudah ijin absen dulan, dan gak mungkin banget, kalo aku juga harus absen malam ini. Hufft… udah lagi booring gini, eh malah patner gibah gw kaga masuk . meski dengan ribuan rasa malas yang melanda akhirnya dengan sekuat tenaga ku langkahkan kaki menuju kamar mandi             Suasana rumah sore ini  sangat sepi, seperti biasa hanya ada si Bibi yang sedang menyapu di ruang tengah. Aku berfikir untuk apa aku di rumah?, apakah hanya di jadikan sebagai penunggu rumah. Apa mereka tak pernah merasakan lelahnya menunggu, sewaktu kecil hampir setiap sore aku menunggu mereka pulang di teras rumah namun nihil, mereka selalu pulang saat aku tertidur dan berangkat saat aku belum terbangun, semenyedihkan seperti itu kah masa kecilku? Impian ingin di gendong dan di dongengi saat malam perlahan mulai pudar, saat aku menyadari, bahwa hanya aku yang merindukan mereka. “Neng, mau makan dulu ?” suara Bi Ijah membuyarkan lamunanku. “Eh, engga ah Bi, makasih. Papah sama Mamah mana Bi?” “Oh kalau Nyonya masih tidur Neng,  kecapean mungkin ya, kalo Tuan tadi udah keluar Neng” ibu jari Bi Ijah mengarah ke pintu depan. “Oh, gitu ya Bi” “Oh ya Neng, Tuan tadi nitip bingkisan” Bi Ijah berjalan ke arah dapur dan kembali dengan membawa sebuah paper bag. “Ini Neng, katanya oleh-oleh dari  Jepang” “Makasih ya Bi” “Yo Neng, saya tak tinggal ke belakang dulu” setelah Bi Ijah pergi aku membuka paper bag itu, di dalamnya ada baju kimono(baju tradisional jepang) lengkap dengan accesorisnya. Aku menatap miris pada paperbag yang ku hempaskan ke sofa, apa ini harga yang mereka bayar untuk rasa rinduku? Tidakkah mereka tau bahwa kerinduanku tak kan pernah bisa di tukar dengan materi. Hanya pelukan hangat mereka yang kumau. Jalanan Jakarta sore hari mulai  di padati kendaraan, macet sudah menjadi pemandangan yang tak asing terutama di pagi dan sore hari seperti ini, sebelum menuju ke rumah sakit  aku mampir ke sebuah Mall dulu, membeli ½ lusin J.Co dengan rasa almont, oreo dan chocolate, juga membeli Chattime large size rasa milk hazalnut dengan  jelly coffe sebagai topingnya, berharap semua kegalauan ku dapat sedikit mereda dengan makanan dan minuman itu. Sesampainya di rumah sakit aku berpapasan dengan Reva, ahh, kenapa harus ketemu manusia ini sih, buat mood gw makin hancur aja  “Hai Ra, kangen juga gw sama elo eh, tapi aku lebih kangen sama si ganteng Radith sihh” ucapnya dengan usil, aku membalas ucapannya dengan nada malas “Teruss kenapa lo ngomong sama gw?!, kenapa gak ngomong langsung ke orangnya” sambil berlalu meninggalkan Reva  “Pengennya sihh, tapi gw takut di cap sebagai PHO (Perusak hubungan Orang) lagi” langkahku terhenti dan berbalik ke arah Reva “Maksud lo apa?” “Eh Ra, Lo gak tau kalo ke sayangan gw si Radith dokter ganteng dan kece itu bakalan merried bulan depan, jadi kayanya kita gak perlu jadi rival lagi  ya..” senyumnya sinis dan Aku berusaha tetap menjaga perasaanku yang semakin kacau. Oh god, apalagi ini? belum cukupkah dengan semua ini? Mengapa kau ambil juga kebahagianku satu-satunya. Radith .  Segera ku tutupi rasa keterkejutanku mendengar ucapan Reva “Truss.. urusan Gw apa?! Kalo gw di undang ya dateng, kalo gak ya udah. Trus rival? sejak kapan gw jadi rival lo?? gw gak merasa bersaing sama manusia kaya elo”  cepat-cepat ku langkahkan kaki menjauh dari Reva, takut kalau si biang gossip itu akan menyadari  raut kesedihan di wajah ku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN