Seminggu pasca wisuda, Loli akhirnya dapet email yang ditunggu-tunggu: “Selamat, Anda diterima sebagai Trend Research Intern di Auréole Fashion.”
Auréole, brand fesyen lokal yang lagi hype di kalangan anak muda. Feed i********: mereka kayak majalah, koleksi bajunya wara-wiri di t****k, dan sekarang… Loli yang bakal jadi salah satu orang di balik layar itu.
“Gila, Li! Lo keterima juga!” Tania jingkrak-jingkrak di kamar kos, seolah-olah dia yang diterima kerja.
Loli cuma nyengir sambil melotot ke layar HP. “Iya, keterima sih… tapi liat nih deskripsi jobdesk-nya. Survey pasar tentang fesyen anak muda.”
Tania langsung ngakak. “Terus masalahnya apa? Lo sendiri kan anak muda, Li. Harusnya itu gampang banget buat lo.”
“Masalahnya…” Loli mendesah panjang, kepalanya nyaris jatuh ke meja. “Gue aja nggak ngerti bedanya monochrome style sama street style. Terus sekarang disuruh research? Gila, kalau data yang gue kasih melenceng dikit aja, bisa-bisa gue langsung dicap bego sama atasan. Berabe banget, sumpah.”
Tania nyengir usil, matanya menyipit penuh ejekan. “Congrats, Loli. Welcome to adulting. Lo resmi jadi fresh graduate yang sok ngerti fashion, padahal outfit harian lo masih setia sama hoodie belel dan sandal jepit warisan kos-kosan.”
Loli mengubur wajahnya ke bantal. ‘Ya Tuhan, hidup setelah wisuda ternyata bukan cuma soal nyari kerja, tapi juga bertahan hidup di dunia baru yang kelihatan lebih kejam dari skripsi yaitu dunia kerja.’
“Terus gue harus gimana sih, Tan? Deg-degan sumpah deh. Apa gue harus belajar tentang dunia fashion?” tanya Loli dengan tampang memelas, matanya membulat kayak anak kucing.
Tania langsung ngakak sampai perutnya sakit. “HAHAHA, Li... tampang lo tuh kayak baru ditodong ujian mendadak!”
Setelah tawanya mereda, Tania berdiri di ujung kasur sambil menaruh tangan di pinggang. Dengan penuh drama, dia melangkah maju dan berpose ala model catwalk, kepalanya mendongak sok elegan. “Untung teman lo itu gue, Li, si ratu fesyen.”
Loli menatapnya tanpa ekspresi selama tiga detik, lalu melempar bantal ke arah Tania. “Ratu fesyen dari mana? Kaos oblong sama celana kolor lo itu lebih mirip ratu kosan!”
Tania menangkis bantal itu dengan gaya pose vogue. “Fashion itu bukan apa yang lo pakai, tapi bagaimana lo membawanya.” ujarnya sok bijak.
“Dasar, Tan. Untung lo nggak ikut Paris Fashion Week, bisa gagal acara gara-gara lo nyolong spotlight,” sahut Loli sambil geleng-geleng.
Tania meraih HP dari meja, jari-jarinya lincah scrolling i********: dan t****k, lalu nyodorin layar ke depan muka Loli. “Tuh, liat! Sekarang yang lagi hype itu gaya clean girl aesthetic. Makeup natural, outfit simple tapi keliatan classy. Kayak gini nih.”
Loli melirik sekilas, lalu meringis. “Classy dari Hong Kong. Duit gue aja cukupnya buat beli mie instan, bukan skin care sepuluh step.”
“Yaelah, Li. Nggak usah mikirin duit dulu. Lo kan cuma perlu ngerti tren, bukan langsung belanja satu lemari,” jawab Tania, mata berbinar penuh antusias. “Nah, selain itu, streetwear juga masih kuat. Hoodie, sneakers, oversized tee… sebenarnya style lo tuh udah masuk street style, cuma… ya… versi anak kos kere.”
Memang begitulah Tania, ceplas-ceplos tapi justru bikin suasana jadi cair.
“Wow, thanks ya Tan, selalu bisa bikin gue termotivasi,” sahut Loli dengan nada sarkas, bikin Tania ngakak lagi.
Tania berjongkok di depan lemari Loli, mulai bongkar-bongkar isi baju yang sebagian besar cuma kaos oblong, hoodie, dan jeans belel. “Oke, kita mix and match dikit. Lo nggak harus fashionable banget, tapi at least keliatan ngerti basic. Percaya deh, first impression di tempat kerja itu penting banget.”
“Mix and match dari koleksi terbatas ini?” Loli menunjuk ke tumpukan baju yang lebih mirip museum outfit gagal.
Tania nyengir penuh percaya diri. “Leave it to me, bestie. Gue ini ibaratnya stylist langganan artis, tapi versi kos-kosan.”
Loli mendesah panjang sambil ngeliatin Tania yang sibuk sendiri kayak lagi ikut Project Runway. Di satu sisi dia deg-degan mikirin hari pertama kerja, tapi di sisi lain, ada sedikit rasa tenang. Untung banget dia punya Tania, si ratu fesyen yang entah kenapa masih betah jadi teman sekosannya.
Besok, dunia kerja menanti. Dan kalau kata Tania, penampilan bisa jadi kunci pertama buat Loli bertahan.
“Udah, nggak usah dipikirin. Besok kita belanja. Gue yang traktir.” Tania tiba-tiba ngomong santai sambil ngeluarin masker sheet dari laci meja, kayak orang nggak punya beban hidup.
Loli sontak mendongak, wajahnya penuh keterkejutan. “Belanja? Traktir? Dari mana duit lo, Tan? Kita kan sama-sama anak kos yang menuhin perut pake indomie tiap malam.” Tatapannya menyipit curiga, lalu dengan nada setengah bercanda ia menambahkan, “Jangan bilang ke gue kalo lo tiba-tiba banting setir jadi ani-ani ya?”
Tania hanya menyunggingkan senyum penuh misteri, lalu menepuk d**a dengan gaya sok percaya diri.
“Tenang aja, Li. Lo belum tau aja siapa gue sebenernya. Pendapatan ani-ani mah receh banget dibandingin gue…” ujarnya jumawa, seolah baru saja membuka rahasia besar yang bakal mengubah dunia.
“Terus, siapa? Batman?” Loli nyengir.
“Lebih kaya dari Batman, mungkin.”
“HAH?!”
Tania ngakak liat wajah kaget sahabatnya. “Fun fact tentang gue Li, bokap nyokap gue tuh punya usaha fesyen dan properti. Duit nggak abis tujuh turunan. Tapi gue males hidup di bawah bubble keluarga kaya. Makanya gue pilih ngekos, biar bisa ngerasain hidup normal dan makan mie instan kapan pun gue mau,”
Loli melongo tak percaya. “Gila, jadi selama ini gue sekosan sama keturunan Crazy Rich Depok rupanya? Pantes aja kelakuannya absurd. Orang kaya mah emang nggak ada obat, selalu aja ada tingkah aneh yang nggak bisa ditebak.”
“Bego, jangan ngomong keras-keras.” Tania langsung nutup mulut Loli pake bantal. “Pokoknya, nanti urusan fashion biar gue yang atur. Anggap aja gue jadi sponsor pribadi lo.”
…
Mereka keliling mall, Tania semangat milihin kemeja, celana bahan, blazer ringan, sampai sepatu yang cocok buat kerja. Loli cuma pasrah jadi boneka coba baju.
“Tan, serius deh, ini kebanyakan. Gue kan cuma intern.”
“Nggak ada kata ‘kebanyakan’ di dunia fashion, Li. Trust me.”
Setelah beberapa jam, mereka akhirnya mampir ke Coffee Bean buat istirahat. Tumpukan paperbag belanjaan menggunung di samping meja.
Loli baru mau duduk nyaman ketika BRUK! Tas belanjaannya terjatuh, tepat ke arah kaki seseorang.
“Au.”
Suara itu dalam, datar, dan dingin banget.
Loli buru-buru menoleh. Seorang pria berdiri dengan wajah tanpa ekspresi, kemeja abu-abu rapi yang ngepas banget di bahu bidangnya. Satu tangan nenteng laptop, kayak lagi bawa buku tipis aja. Rambut hitamnya tersisir rapi ke samping, tapi ada beberapa helai yang jatuh santai di dahi, bikin dia kelihatan effortless cool. Hidungnya mancung, garis rahangnya tegas, dan matanya… dingin. Tatapannya tajam, datar, kayak es batu yang nggak bisa meleleh sekalipun di tengah teriknya siang.
“Eh, maaf! Gue nggak sengaja…” Loli jongkok buru-buru, merapikan tas-tas itu.
Pria itu mengangkat alis tipis. “Orang yang ceroboh biasanya suka ngulang kesalahan.”
Loli berhenti sejenak, menoleh ke arahnya. “What?”
“Barang-barang seperti ini mestinya nggak ditaruh sembarangan.” Ia melirik paperbag belanjaan penuh baju. “Kalau jatuh kena orang lain, bisa bikin masalah.”
Loli berdiri, wajahnya udah merah padam. “Mas, itu namanya kecelakaan kecil. Tinggal bilang ‘nggak apa-apa’, kelar. Kenapa malah jadi kayak sidang MK begini?”
Pria itu menatapnya datar. “Saya hanya menyampaikan fakta. Tempat ini bersifat umum, jadi kenyamanan bersama memang harus dijaga.”
“Fakta dari mana? Fakta bahwa saya harus gendong semua belanjaan ini ke punggung biar nggak ganggu orang?!” Loli mulai ngegas.
Tania di sampingnya udah hampir ketawa ngakak, buru-buru nutup mulut pake cup minumannya.
Pria itu menaruh laptopnya ke meja, duduk dengan tenang, dan berkata pelan tapi nyelekit “Kalau kamu nggak bisa bawa banyak barang, mungkin lebih baik… nggak usah belanja terlalu banyak.”
Loli ternganga. “EXCUSE ME?!”
“Jangan galak-galak gitu lah sama temen gue, siapa tau kalian jodoh nanti,” sela Tania, mencoba mencairkan suasana dengan candaan yang… sayangnya, garing banget.
“Jodoh? Serius?” keduanya sontak menukas bersamaan, dengan nada yang jelas sama-sama keberatan.
“Ya Allah… wisuda baru seminggu, udah ditodong jodoh sama stranger dingin kayak es batu gini? No way! Nggak banget, sumpah. Amit-amit dah…” batin Loli, sambil merinding.
Cowok itu hanya melirik sekilas, lalu berdiri dengan tenang. “Next time, jaga belanjaanmu. Dunia ini udah cukup berantakan tanpa kamu nambahin masalah.” ujarnya datar, sebelum melangkah pergi.
Loli menatap punggungnya yang menjauh, lalu mendesis pelan. “Nyebelin banget sih tuh orang!”
Tania malah ngakak. “Tenang, Li. Feeling gue, lo bakal ketemu dia lagi kok.”
“Jangan ngomong asal, Tan. Gue nggak butuh ketemu manusia es batu itu lagi seumur hidup.” Loli nggak sadar, ucapan itu baru aja jadi doa yang bakal gagal total.