Surat Utang

1201 Kata
Senin pagi, Lolita atau lebih sering dipanggil Loli, berdiri terpaku di depan gedung kaca menjulang dengan logo emas besar bertuliskan Auréole Fashion. Dari luar aja udah kayak headquarters drama Korea. Dinding full kaca yang berkilau kena sinar matahari, lobby mewah dengan pintu otomatis, dan receptionist yang pakai seragam stylish mirip pramugari premium. “Ya Tuhan… ini kantor atau hotel bintang lima?” gumam Loli sambil merapikan blazer barunya, hasil sponsor pribadi Tania. Begitu melangkah masuk, lantai marmer putih mengkilap nyaris bikin Loli takut sepatu barunya ninggalin jejak. Di kanan kiri, deretan sofa minimalis dengan coffee table marmer, plus majalah fesyen yang ditata rapi seolah nggak ada yang berani menyentuhnya. Aroma kopi premium dan wangi diffuser lavender menambahkan suasana high class. Sementara itu, layar LED raksasa di dinding memutar video kampanye terbaru Auréole, model-model muda bergaya clean girl aesthetic, berjalan anggun di jalanan kota Paris. Semua orang yang lewat di lobby terlihat… fashionable sekali. Nggak ada yang pake hoodie lusuh atau sandal jepit. “Fix, gue salah habitat,” bisik Loli sambil menunduk, berharap tidak ada yang sadar kalau jantungnya udah lomba lari seratus meter. Seorang staf HR dengan setelan rapi menghampirinya. “Lolita, ya? Intern baru untuk divisi Social Media & Trend Research?” Loli mengangguk cepat. “I-iya, itu saya.” Staf itu tersenyum ramah lalu mengajaknya menuju lift yang super canggih, cukup tempel kartu akses, pintunya terbuka dengan suara ding elegan. Di dalam lift, musik instrumental jazzy mengalun pelan, bikin Loli makin kikuk. “Divisi kamu ada di lantai dua belas. Open space, cukup nyaman untuk tim kreatif. Kamu pasti suka,” ujar staf HR sambil menatap layar digital di lift yang menampilkan video editorial terbaru brand itu. Begitu pintu lift terbuka, Loli langsung disambut pemandangan kantor modern, Semua karyawan tampak sibuk di depan laptop, beberapa brainstorming sambil berdiri dengan whiteboard penuh coretan tren fesyen, sementara yang lain memotret outfit untuk konten i********:. Suasananya hidup, kreatif, tapi… intimidating buat intern cupu kayak Loli. Loli menelan ludah, berusaha kelihatan tenang padahal dalam hati dia cuma bisa teriak, “Ya Allah, ini beneran kantor gue? Kayak masuk dunia lain nggak sih?.” bisik Loli dalam hati “Nah, meja kamu ada di pojok situ,” ujar staf HR sambil menunjuk ke sebuah kubikel kosong. Letaknya agak tersembunyi di sisi ruangan, bikin Loli sedikit lega karena nggak harus jadi pusat perhatian. “Oh… iya. Makasih,” jawab Loli cepat, berusaha terdengar sopan meski dalam hati pengen sujud syukur dapat spot low profile. “Sekarang aku antar kamu ke ruangan atasanmu dulu, ya. Beliau Social Media Manager di sini. Namanya Pak Ivan.” Staf HR itu berhenti di depan sebuah pintu kaca berlabel ‘Social Media Manager–Ivan Halim’. Loli otomatis menegakkan badan, jantungnya berdetak nggak karuan. ‘Ya ampun, kenapa rasanya kayak mau sidang skripsi jilid dua?’ Setelah mengetuk dua kali, staf HR mendorong pintu. Begitu satu langkah masuk, aroma maskulin tipis campuran kopi hitam dan cologne mahal, langsung menyergap indra penciuman. Dan di balik meja kerja modern dengan laptop terbuka… Deg! ‘Dia! Bukankah itu cowok di kafe kemarin?!’ batin Loli kaget bukan kepalang. Jantungnya nyaris copot. “Morning, Ivan. Ini intern baru kita, Lolita,” ucap staf HR memperkenalkan, sementara Loli berdiri di samping dengan wajah pucat pasi, saking pucatnya, kalau digores mungkin nggak bakal keluar darah. Ivan mengangkat wajah dari laptop, menatap Loli dan staf HR bergantian. Ekspresinya datar, suaranya tenang tapi dingin. “Dia? Intern baru?” Loli buru-buru membungkuk kaku, dengan suara terbata. “Se-selamat pagi, Pak Ivan. Nama saya Lolita…” “Baiklah, Loli. Sekarang saya serahkan kamu ke Pak Ivan,” ujar staf HR itu sebelum pamit keluar. Loli mengangguk patuh, tapi dalam hati udah nangis darah. Mbak… sumpah jangan tinggalin gue sendirian sama manusia kulkas ini, please! Jeritan batinnya makin kenceng waktu bayangan ucapan Tania kemarin terngiang-ngiang, “Tenang, Li. Feeling gue, lo bakal ketemu dia lagi kok.” Berusaha memberanikan diri, Loli membuka suara. “Err… Pak, soal kejadian kemarin di kafe, saya minta maaf. Semoga Bapak nggak dendam sama saya, ya.” Ivan bersandar santai di kursi kerjanya. Tatapannya naik turun menilai Loli, sementara kedua tangannya terlipat di d**a. “Kamu kira saya tipe pria picik, hmm?” tanyanya datar. Loli langsung menggigit bibir bawah. Harus jawab apa coba? Rasanya setiap kata dari pria ini kayak jebakan skripsi yang bisa bikin salah langkah. Hening sejenak, lalu Ivan tiba-tiba bertanya, “Kamu punya paspor?” “Hah?” Loli spontan melongo, otaknya blank seketika. “Saya tanya, kamu punya paspor?” ulang Ivan, nada suaranya tetap tenang tapi bikin jantung Loli makin nggak karuan. Loli menggeleng cepat. “Nggak punya, Pak.” Dalam hati ia menggerutu, Ngapain juga nanya paspor segala? Kantornya aja masih di Jakarta Pusat, bukan Singapura kok.’ Ivan berdecak pelan. “Ck.” Ia lalu berdiri, meraih kunci mobil di meja. “Ayo. Saya antar kamu bikin paspor.” Loli melongo, nyaris salah dengar. “Kenapa harus bikin paspor, Pak?” “Dua minggu lagi, kamu harus ikut saya ke Paris. Research pasar fashion. Durasi tiga puluh hari.” Ucapannya singkat, sambil melangkah keluar ruangan dengan santai. Loli menatap punggung Ivan yang sudah melangkah keluar ruangan dengan santai. Masih syok setengah mati. “Paris? Tiga puluh hari?!” suara tercekatnya cuma bergema di kepala sendiri. Belum sempat otaknya mencerna, Ivan berbalik sekilas. “Kamu ngapain bengong di situ? Jalan. Kita ke kantor imigrasi sekarang.” “Sekarang?!” Loli hampir tersedak ludah sendiri. “Tapi… tapi saya bahkan belum—” “Kalau banyak tapi, minggu depan surat PHK kamu udah siap.” Nada Ivan datar, tapi cukup untuk bikin bulu kuduk Loli berdiri. Dan begitulah, beberapa menit kemudian Loli sudah duduk kaku di kursi penumpang mobil hitam yang melaju mulus keluar dari basement Auréole. Dari gedung kaca mewah, suasana cepat berganti jadi jalanan macet Jakarta dengan klakson bersahut-sahutan. Loli menatap kosong ke luar jendela mobil, ekspresi pasrah total. Ya Tuhan… baru juga hari pertama magang kok cobaan hidupnya udah segini berat? Rasanya pengen nangis, tapi takut maskaranya luntur.’ … KANTOR IMIGRASI “Pak…” Ivan langsung mengangkat wajah, alisnya terangkat tipis. “Bapak? Saya belum masuk usia bapak-bapak. Stop panggil saya begitu.” Nada suaranya tenang, tapi jelas ada kesal yang ditahan. Loli langsung mengerjap. “I-iya… maaf. Tuan Ivan, maksud saya… tadi itu, Tuan beneran mau bayarin?” suaranya kecil, nyaris kayak cicitan. Ivan menyandarkan punggung di kursi, lalu berkata santai, seolah hal sepele, “Bukan bayarin. Pinjemin. Nanti kita bikin surat utang. Dan… ada bunga harian.” Mata Loli melebar. “Loh… tapi kan itu bukan kemauan saya! Tuan bisa ajak orang lain kok ke—” Belum sempat selesai, Ivan memotong kalimatnya datar. “Mau ikut saya atau mau saya kirimin surat PHK minggu depan?” Glek. Tenggorokan Loli kering seketika. ‘Setdah! Sadis amat nih bos. Pake acara ngancem segala. Untung gue butuh banget kerjaan ini. Kalau nggak, kepalanya udah gue bikin gepeng kayak kepala Adudu,’ omelnya dalam hati. Ivan mencondongkan tubuh sedikit, alisnya naik turun dengan ekspresi menggoda. “Kenapa? Hmm?” Loli mengangkat tangan tanda menyerah. “Iya… iya! Saya tulis surat utangnya.” “Bagus.” Ivan hanya mengangguk kecil, seolah baru saja memenangkan pertandingan yang jelas-jelas Loli nggak pernah daftar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN