Matahari udah tepat di atas kepala waktu Loli melangkah keluar dari kantor imigrasi. Kakinya pegel, otaknya mumet, dan perutnya keroncongan minta jatah.
Loli hampir aja menghela napas lega. ‘Syukurlah… satu masalah selesai. Tinggal… yah, sekitar tiga ribu masalah lagi antri di belakang,’ batinnya sambil memutar bola mata ke langit-langit imajinasinya
Tanpa banyak bicara, Ivan membuka pintu mobil untuknya. Gestur simpel tapi bikin Loli makin salah tingkah. ‘Eh, ini beneran bos gue? Atau kembaran bos gue yang lebih manusiawi?’
Beberapa menit kemudian, mobil hitam itu berhenti di depan sebuah restoran bergaya industrial chic dengan jendela kaca besar dan deretan tanaman hijau.
“Turun. Kita makan siang dulu,” kata Ivan datar.
Loli spontan mengangkat alis. Makan siang? Ditanggung bos? Gratisan? Dalam hati dia udah pengen jingkrak-jingkrak, tapi bibirnya cuma bisa meringis jaim. “Eh… iya, Pak. Maksudnya… eh, Tuan Ivan.”
Begitu masuk, aroma pasta dan kopi langsung menyambut. Resto itu penuh anak muda stylish, tapi tetap cozy. Loli melirik ke arah Ivan yang jalan santai di depan, aura cool nya bikin beberapa cewek di meja lain sempat curi pandang.
‘Ya Tuhan… ini cowok kenapa bisa kayak magnet manusia? Semua mata otomatis nempel ke dia. Mana gue harus jalan bareng… duh, malu banget!’
Ivan memilih meja di pojok dekat jendela. Dengan nada tenang, ia berkata, “Pesan apa saja. Anggap ini… goodwill dari saya.”
Loli menatap daftar menu, mata berbinar. Goodwill? Yang bener aja, ini mah surga gratisan! Tapi…’
“Ehem…” Loli berdehem pelan, pura-pura ngerapiin pita suaranya. “Tapi saya nggak laper kok,” bohongnya dengan senyum kaku.
Ivan langsung menatapnya dengan tatapan menelisik, alisnya terangkat tipis. “Yakin kamu nggak laper?” nada suaranya datar tapi matanya penuh curiga.
Loli buru-buru geleng kepala. ‘Ya ampun, jelas gue laper lah! Tapi tenggorokan gue nggak bisa nerima pasta itu, sumpah!’ jeritnya dalam hati.
“Saya pesan kopi aja, Tuan,” ucap Loli akhirnya, berusaha terdengar tenang. Padahal dalam hati, Loli panik setengah mati. Dia sama sekali belum pernah masuk tempat sekelas ini. Mainnya sama Tania paling banter cuma ke warung, warteg, atau ya kafe biasa. Restoran fancy macam gini? Baru sekali ini kakinya menginjakkan diri.
Ivan hanya mengangguk pelan, entah sungguh percaya atau sekadar pura-pura. Ia kemudian memanggil pelayan dan memesan satu flat white, satu espresso, serta seporsi pasta untuk dirinya sendiri.
Setelah pesanan datang, Ivan langsung fokus dengan pastanya, sementara Loli perlahan menyeruput flat white yang terasa lembut sekaligus mewah di lidah.
‘Ternyata kopi orang kaya memang beda rasanya. Enak banget, sampai bikin nagih.’ gumam Loli dalam hati.
Loli sibuk mengedarkan pandangan, matanya nyangkut pada detail kecil yang terasa asing, lampu gantung kristal, sofa beludru, bahkan barista yang menyiapkan kopi seakan sedang performa di panggung.
Semua tampak terlalu rapi, terlalu mewah, sampai ia sadar kalau dirinya seperti turis kismin di dunia orang kaya.
Tanpa benar-benar memperhatikan, tangannya meraih cangkir di depannya dan ia menyesapnya ringan. Rasa pahit pekat langsung menyentak lidah. Loli terbatuk kecil, buru-buru menurunkan cangkir itu sambil melirik Ivan yang malah menahan tawa.
‘Oh no…’ ia ngedumel dalam hati, pipinya langsung panas. Baru nyadar, yang diminumnya bukan flat white dia, tapi espresso punya Ivan, pahitnya kebangetan.
“Ternyata—”
Belum sempat Ivan menuntaskan kalimatnya, dari samping muncul seorang wanita paruh baya dengan penampilan anggun. Setiap detail tubuhnya berbalut merek luar negeri, mulai dari syal sutra sampai gelang emas tipis yang kilaunya halus tapi jelas mahal.
“Ivan… ternyata kamu di sini, ya. Kebetulan sekali. Sekalian Mama kenalkan kamu pada anak teman Mama yang kemarin itu sempat Mama ceritakan. Pas sekali, dia juga ada di sini.” Nada suaranya penuh semangat, tatapannya berbinar antusias.
Ivan menahan napas singkat sebelum menjawab tenang, sopan, tapi terdengar tegas, “Please, Ma… aku sedang bekerja, dan sekarang waktunya istirahat makan siang.”
“Tapi, Van…”
“Tante… Ternyata disini, tapi aku cari kemana-mana loh,” ucap satu suara feminim lembut tapi penuh percaya diri.
Seorang wanita muda melangkah anggun mendekat, setiap gerakannya berkelas, seolah seluruh ruangan otomatis memberi ruang. Rambut hitam bergelombang terurai indah hingga pinggang, berkilau seakan baru selesai hair treatment. Dress midi pastel yang ia kenakan sederhana tapi jelas high end, tas kecil limited edition menggantung di lengannya, dan heels ramping menambah posturnya semakin tegap elegan.
Wajahnya memesona, alis tertata sempurna, eyeliner tipis menegaskan tatapannya, bibir berbalut warna nude yang natural. Senyum manisnya menawan, tapi ada aura dominan yang membuat orang secara refleks menaruh hormat.
‘Buset! Cakep banget ini cewek,’ batin Loli sambil menelan ludah. Tatapannya otomatis nyangkut ke sosok itu. ‘Kayak nonton feed i********: selebgram kelas sultan, tapi versi nyata. ‘Gila sih… ini beneran manusia?’
“Ivan, kenalan dulu deh. Ini Nayla Jovanka,” ujar mamanya sambil senyum tipis.
Bukannya diam di tempat, Ivan justru bangkit dengan gerakan santai. Langkahnya tenang, tapi tetap memancarkan wibawa. Tanpa banyak basa-basi, ia langsung menghampiri Loli. Sebelah tangannya terulur ringan lalu merangkul bahu gadis itu, sontak membuat Loli terbelalak kaget.
“Kenalin juga, Ma. Ini Lolita… pacar aku,” ucap Ivan tenang, nadanya datar tapi tegas.
“Uhuk! Uhuk! Uhuk!” Loli langsung keselek napas sendiri.
“Tu-tu…-”
Sebelum sempat protes, Ivan sudah pun menunduk, suaranya rendah nyaris seperti bisikan, wajahnya mendekat begitu dekat hingga napasnya terasa di kuping Loli.
“Jangan lupa, kamu masih punya utang sama saya. Anggap saja ini cara membayar. Bunga harian untuk hari ini saya tolak, asal kamu mau temani saya… bersandiwara.”
‘Astaga naga! Dasar setan berkedok manusia! Dia serius nyuruh gue jadi pacar bohongan? Itu sama aja nyodorin kepala ke mulut macan!’ jerit Loli dalam hati. ‘Ta-tapi… utang gue… gimana dong?!’
“Sayang…” Ivan beralih bicara dengan nada halus, senyumnya sekilas tapi berwibawa. “Ayo salaman sama Mama.”
Loli cuma bisa menelan ludah. Senyum itu bukannya bikin adem, malah sukses bikin merinding.
“Sayang? Kamu… Van, jadi kamu benar-benar sudah punya pacar?”
Suara Santi, mama sambung Ivan, terdengar heran sekaligus sulit percaya. Tatapannya memantul antara terkejut dan enggan menerima kenyataan. Telunjuknya terarah lurus pada Loli, yang hanya bisa berusaha keras menampilkan wajah seolah semuanya baik-baik saja.
Ivan mengangguk mantap. “Jadi, aku mohon Mama berhenti jodoh-jodohin aku sama anak-anak teman Mama. Percuma saja, aku tidak akan melirik mereka.”
Santi menatap Ivan lama, seolah mencari celah dusta di wajah putra sambungnya itu Tangannya sempat mengepal di samping tubuh, tapi ia cepat menghela napas, memaksa senyum tipis
. “Baiklah, kalau begitu. Mama tidak akan mengganggumu lagi. Ayo, Nay, kita cari tempat duduk lain,” pamitnya, sambil menggamit lengan Nayla yang masih menatap Loli penuh arti.
Begitu keduanya pergi, Loli mendecak. “Keren! Masalah nambah satu lagi!” sindirnya, nada ketus menyembunyikan keresahan.
Ivan hanya melemparkan smirk santai, seolah semua ini bukan masalah besar. “Berbagi beban sama atasanmu itu sebuah kehormatan, Loli. Jadi, jangan bawel.” Ia melirik gelas kopi di depan gadis itu. “Habiskan kopimu. Setelah ini kita balik ke kantor.”
Wajahnya benar-benar tanpa dosa. Terlalu tenang. Terlalu seenaknya. Sampai Loli gatal ingin melempar cangkir kopi ke kepalanya
Loli mendengus, hendak menjawab, tapi langkahnya terhenti ketika notifikasi ponsel Ivan berbunyi. Layar menyala sebentar, menampilkan sebuah pesan singkat dengan nama pengirim yang membuatnya membeku.
‘Kamu yakin mau terus main api, Ivan?’- Nayla