whistlist Jadi wajib list

1065 Kata
Sejak pulang dari kantor tadi, wajah Loli nggak pernah lepas dari ekspresi masam. Seolah ada awan kelabu yang sengaja nongkrong di atas kepalanya, bikin suasana kamar jadi ikut berat. Tania, yang baru selesai mandi dengan rambut masih setengah basah, langsung kepo begitu melihat sahabatnya rebahan tanpa semangat di kasur. “Lu kenapa, Li? Baru hari pertama kerja kok udah loyo gini? Ada masalah, ya?” Tania menjatuhkan diri ke kasur samping Loli, tubuhnya memantul ringan di atas spring bed. Ia menoleh sambil memainkan ujung rambutnya, lalu menambahkan dengan nada seenaknya, “Oh iya, sebelum gue lupa… besok kita pindah aja dari kosan ini. Kita pindahnya ke apartemen.” Loli kontan menoleh cepat, mata membesar. “Apartemen? Nggak, ah! Lu aja yang pindah. Gue tetep di sini.” Suaranya tegas tapi lelah, jelas-jelas ogah. Tania justru menggeleng keras, rambut basahnya ikut berantakan. “No way. Kalau gue pindah, lu juga harus pindah. Deal nya gitu. Lagian gue udah ngomong sama ibu kos. Besok pagi gue yang beresin semuanya, lu ngantor kayak biasa. Soalnya sore udah ada anak kos baru yang mau masuk ke kamar ini.” “Lu serius, Tan? Nyewa apartemen? Duit dari mana coba gue?” Dia menggeleng pelan, lalu menambahkan, “Bikin paspor aja tadi gue mesti ngutang sama bos. Masa sekarang harus ngutang lagi?” Nada bicaranya campur aduk, ada capek, ada malu, tapi juga sedikit frustasi. Bukan marah besar, cuma lagi nggak punya ruang buat ide-ide yang terasa jauh dari kenyataan. Tania bukannya ikutan tegang, malah ngakak kecil. Ia menepuk-nepuk bahu sahabatnya. “Udahlah… nggak usah mikirin biaya. Itu apartemen punya gue. Hadiah kelulusan dari Papi. Lo tinggal duduk manis, tidur nyenyak. Gue nggak bakal minta bayaran sewa sepeser pun sama lo.” Loli mengintip dari balik bantal, menatap Tania penuh curiga. “Lo beneran?” Tania mengangguk cepat, ekspresinya serius tapi senyum tipis masih nyelip di bibir. “Iya beneran. Mau gue tunjukin sertifikat apartemennya juga biar lo yakin?” Loli sontak menggeleng panik. “Nggak usah juga kali,” cicitnya, wajahnya memerah sendiri. Keduanya sempat terdiam sejenak, hanya suara kipas angin yang terdengar memenuhi kamar. Sampai akhirnya Tania kembali menoleh, alisnya terangkat penasaran. “Eh, Li, tadi lu belum jawab pertanyaan gue. Sebenarnya ada apa sih? Kok muka lo kusut banget?” Loli menarik napas panjang, jemarinya mencubit ujung selimut seakan butuh pegangan. “Lo inget cowok di kafe kemarin?” tanyanya pelan, balik bertanya. Tania langsung menegakkan tubuhnya, matanya berbinar. “Ya inget lah. Emangnya kenapa?” Loli menelan ludah, lalu dengan suara rendah ia menceritakan semuanya, dari pertemuan tak terduga sampai kejadian gila yang barusan dialaminya. “What?!! Serius, beb? Kalian ketemu lagi?” seru Tania, matanya langsung berbinar penuh antusias. Ia menatap Loli seperti baru saja menonton episode drama favoritnya. “Bener kan apa gue bilang? Terus… lu bakalan ikut si doi ke Paris, dong?” Loli menunduk, bahunya merosot pasrah. “Gue nggak mau, Tan… tapi gue diteror bakal di PHK kalau nolak! Nggak lucu banget, kan?” keluhnya, suara nyaris pecah. “Iya udah, lo ikut aja, Li. Nggak papa kok itu.” suara Tania terdengar cepat, matanya berbinar. “Lagian, kesempatan bagus begini nggak bakal datang dua kali, loh.” Loli langsung bangkit dari posisi rebahnya, menatap sahabatnya dengan wajah sedih. “Gue juga mau, Tan. Bisa jalan-jalan ke Paris itu kan salah satu wishlist gue—” “Iya sudah… gas kan aja!” potong Tania cepat, suaranya nyaris nggak bisa menahan antusias. “Tapi…” Loli mendesah berat, wajahnya keruh. “Saldo gue cuma lima ratus ribu, Tan! Mau makan apa gue di sana nanti coba? Masa ngutang lagi sama bos b******k itu?” Tania mendengus, wajahnya santai banget. “Jadi itu doang masalahnya? Coba deh cek saldo lo sekarang.” Loli langsung nyambar ponselnya, jempolnya cepat buka M-Banking. Begitu angka saldo terpampang jelas di layar, matanya langsung membelalak. “TUJUH PULUH JUTA?!” pekiknya, suaranya setengah tercekat, napasnya ikut tersendat. Tania cuma mengangguk, senyumnya penuh arti. “Iya, bener.” Loli melotot. “Kapan lo transfer uang sebanyak ini, Tan?” “Tadi.” jawab Tania pendek dan datar. Alis Loli merapat, wajahnya penuh curiga. “Kok lo tau gue lagi butuh duit?” “Karena gue tau lah.” sahut Tania cepat, ekspresi sekilas berubah gugup. “Tau dari mana coba?” nada suara Loli meninggi, matanya menyipit, menelanjangi wajah sahabatnya. Kali ini Tania terdiam. Wajahnya pucat, jemari tangannya saling meremas gelisah. Ia tersenyum kaku, lalu berusaha menutupi. “Halah… nggak usah lo pikirin gue tau dari mana. Anggap aja Tuhan lagi ngedenger keluhan lo. Udah, selesai, beres.” suaranya terdengar terbata, jelas banget kayak lagi menyimpan sesuatu. “Tania…” panggil Loli lirih, matanya menyipit makin dalam, penuh curiga. Tania kontan panik. Dengan cepat dia melompat turun dari kasur, meraih tas, lalu kabur sambil teriak, “Gue cabut dulu ya! Mau cek apartemen. Lo istirahat aja dulu!” “Woi! Tania! Mau kabur kemana?! Lo belum jawab pertanyaan gue!” teriak Loli, suaranya putus asa. Sayang, teriakannya cuma mentok di udara. Tania sudah lenyap, langkahnya cepat menghilang. Loli hanya bisa mengembuskan napas kasar, kepalanya menggeleng tak percaya. “Dasar Tania! Anak satu itu emang bikin resah. Sehari doang udah bikin gue ketiban utang puluhan juta! Gimana cara bayarnya coba? Apa gue harus jual ginjal?” Loli menggerutu sendiri, wajahnya kusut penuh frustasi. Perutnya tiba-tiba berbunyi keras. Dengan lemas ia menyeret tubuh ke dapur, merebus mie instan seadanya. Begitu mie mengepul di piring, ia menatapnya lama, sendok di tangan tak segera bergerak. “Apa gue harus stok mi instan aja ya buat dibawa ke Paris? Masukin ke koper gitu?” gumam Loli sambil mengerutkan kening. “Eh… tapi emang boleh?” lanjutnya ragu. Dia tiba-tiba menunduk, suaranya mengecil. “Koper aja gue nggak punya. Sadis amat hidup.” lirihnya Akhirnya sendok bergerak. Suapan demi suapan masuk ke mulut, tapi pikirannya masih saja muter ke Tania. Ada yang nggak beres. ‘Jangan-jangan Tania punya hubungan sama bos gue. Mereka komplotan? Mau ngejebak gue pakai utang? Tapi… apa untungnya coba?’ batinnya penuh tanda tanya. Loli buru-buru menggeleng, pipinya menggembung karena masih penuh mie. “Nggak! Nggak! Tania nggak mungkin kayak gitu.” katanya setengah keras, bicara sendiri. Tapi otaknya ngeyel. ‘Atau… jangan-jangan Tania punya agenda lain? Tapi… apa?’ Sendoknya berhenti di udara. Uap mie perlahan naik, menari di antara pikirannya yang makin sumpek. Semakin lama, rasa curiganya justru semakin tebal.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN