Pagi di kosan mulai terasa hidup. Dari jendela yang setengah terbuka, suara motor dan tukang sayur bersahutan, jadi backsound alami yang nggak pernah absen tiap hari. Matahari belum terlalu terik, tapi udara Jakarta sudah mulai gerah, bikin kipas angin di kamar Loli kerja ekstra sejak subuh.
Loli duduk di tepi kasur, sendok terakhir nasi goreng masuk ke mulutnya. Piring kosong di lantai, kopi sachet tinggal setengah. Ia melirik jam tangan, lalu berdiri sambil merapikan rambut yang masih sedikit acak-acakan.
“Fightin! Loli. Hidup lo emang udah penuh drama, jadi chaos begini mah udah langganan,” gumamnya dengan nada setengah nyemangatin diri sendiri. “Yang penting tetap gas. Si bos laknat Ivan Halim? Anggap aja kayak hantu lewat. Ada, tapi nggak usah ditanggepin.”
Tas kerja sudah siap, sepatu sudah di depan pintu. Tapi sebelum benar-benar berangkat, Loli sempat melirik ke arah Tania yang masih tidur pulas, selimut menutupi hampir seluruh tubuhnya. ‘Jadi anak sultan tuh privilege nya beda. Molor seharian, saldo tetap nambah. Loli cuma bisa menggeleng pelan, antara kagum dan pengen resign dari realita yang kadang terlalu jujur buat ditelan.
“Bangun, Tan. Gue mau ngantor dulu nih,” kata Loli sambil menyambar ponsel dari meja kecil disamping kasur.
Tania cuma bergumam nggak jelas dari balik selimut, setengah sadar. Rambutnya berantakan, satu kaki keluar dari gulungan kain, dan wajahnya masih tenggelam di bantal. Loli mendengus pelan, lalu berjalan ke pintu sambil merapikan blusnya.
Di luar, suara tukang roti keliling mulai terdengar, bercampur dengan deru motor dan obrolan ibu-ibu kompleks sebelah.
Sebelum benar-benar melangkah keluar, Loli sempat melirik layar ponselnya. Satu notifikasi baru muncul. Nomor asing.
“Jangan telat!”
Alisnya langsung naik. “Pagi-pagi udah dapet pesan begini? Jangan-jangan si bos laknat PMS lagi ni,” gumamnya pelan
Tapi belum sempat buka pintu, layar ponselnya nyala lagi. Nomor yang sama. Lagi-lagi.
“Telat satu menit, kamu akan dihukum.”
Loli berhenti sejenak, matanya menatap layar, lalu pindah ke arloji di pergelangan tangan. Masih ada waktu, tapi rasanya kok jadi deg-degan.
“Dasar bos nyebelin, kerjaannya neror gue mulu. Nggak capek apa?” bisik Loli pelan, nada suaranya mulai nggak nyaman.
Ia menyelipkan ponsel ke tas, lalu menarik napas panjang. Langkahnya teratur keluar kamar, melewati lorong kosan. Bau sabun mandi dari kamar sebelah samar-samar tercium, bercampur dengan aroma gorengan dari warung depan.
Matahari mulai naik pelan, menyusup lewat celah-celah genteng dan jendela, tapi suasana hati Loli belum ikut cerah. Rasanya kayak bawa awan mendung sendiri di atas kepala. Sepatu kerjanya beradu pelan dengan lantai keramik, tiap langkah terasa berat meski nggak ada beban fisik.
Di depan gerbang kosan, ia sempat berhenti sebentar. Menatap jalanan yang mulai ramai, motor berseliweran, dan tukang ojek yang udah standby nunggu orderan. Loli menarik napas lagi, kali ini lebih dalam.
“Semoga aja nggak macet,” gumamnya pelan.
Loli melangkah keluar gerbang kosan, menyeberang pelan sambil menghindari motor yang lewat seenaknya. Udara pagi Jakarta makin gerah, tapi angin tipis dari arah jalan besar cukup bantu bikin napasnya nggak terlalu berat.
Ia naik ojek online seperti biasa, duduk di belakang sambil memeluk tas. Helm yang dipinjam dari abang ojek agak longgar, tapi Loli udah nggak peduli. Matanya sibuk mantau waktu di layar ponsel, sesekali melirik jalanan yang mulai padat.
“Kalau macet di lampu merah depan, gue bisa tamat,” gumamnya, setengah bercanda, setengah panik.
Untungnya, abang ojek paham medan. Mereka nyelip lewat gang kecil, ngebut tipis-tipis di jalur alternatif, dan berhasil lolos dari jebakan macet pagi. Loli sempat senyum kecil, lega.
Lima belas menit kemudian, motor berhenti tepat di depan gedung kantor. Loli turun, bayar, dan mengucapkan terima kasih singkat. Ia berdiri sebentar di trotoar, menatap gedung tinggi itu dengan perasaan campur aduk.
Jam tangannya menunjukkan pukul 08.25. Lima menit sebelum waktu masuk.
“Masih aman,” gumamnya dengan napas lega, lalu melangkah masuk.
Namun…
Tiba-tiba ada satu tangan yang menahan lengannya dari arah belakang. Loli sontak menoleh, kaget.
“Siapa…? Oh! Tuan Ivan,” ucapnya, lalu membungkukkan tubuh secara refleks.
“Ayo masuk mobil,” perintah Ivan, masih mencengkram lengannya.
Loli menggeleng cepat. “Nggak mau, saya mau masuk kantor.”
“Lolita…”
“Katanya kalau saya telat bakal dihukum. Apa pun masalahnya, kita bicarakan di dalam,” ujar Loli dengan tampang polos, nada datar tapi jelas.
Ivan menepuk jidat, lalu berkacak pinggang. “Loli… sekarang ini kita harus ke Cilandak.”
Loli mengernyit. “Buat apa?”
“Bawel! Ayo!”
“Iya… tapi… Tapi…”
“Kamu tidak akan dihukum, Lolita. Tapi kalau kita telat sampai di sana, baru deh kamu saya hukum karena menunda waktu,” ucap Ivan, nadanya mulai kesal.
Loli mendecak pelan. “Bilang dong kalau ini urusan kerja. Ini malah narik-narik gitu tanpa penjelasan. Siapa yang mau? Mana mobilnya, ayo lah,” ucapnya cepat, langkahnya langsung mengikuti Ivan.
Ivan membuka pintu mobil hitam yang terparkir tepat di depan lobi kantor. Mobil mengkilap, bersih, dan jelas bukan kendaraan yang biasa dipakai orang kantoran biasa. Loli sempat melirik interiornya sekilas. Kulit joknya empuk, aromanya wangi mahal, dan dashboard nya penuh tombol yang bikin dia pengen pencet satu-satu.
“Masuk,” kata Ivan singkat, nada suaranya nggak bisa ditawar.
Loli menghela napas, lalu duduk di kursi penumpang dengan gerakan setengah ogah. Tas dipeluk erat, seolah jadi tameng dari segala kemungkinan absurd yang bisa terjadi.
Mobil melaju pelan keluar dari area kantor, lalu mulai ngebut begitu masuk jalan utama. Loli melirik Ivan yang duduk di belakang kemudi, wajahnya fokus tapi jelas lagi mikir sesuatu.
“Jadi… kita ke Cilandak buat apa sih?” tanya Loli akhirnya, nggak tahan sama rasa penasaran.
Ivan tetap menatap jalan, ekspresinya serius tapi tenang. “Ada meeting penting. Kita harus bertemu dengan influencer dan brand partner dari sektor lifestyle.”
Loli mengernyit. “Lifestyle? Maksudnya kayak skincare gitu?”
“Skincare, wellness, tech, bahkan makanan. Mereka mau kolaborasi buat campaign musim depan,” jawab Ivan, nada suaranya datar tapi jelas.
Loli menatap ke depan, mencoba mencerna. “Jadi bukan cuma fashion?”
Ivan mengangguk. “Sekarang fashion itu bagian dari gaya hidup. Kita tidak bisa berdiri sendiri. Harus gandeng yang relevan.”
Loli mengangguk pelan, mulai paham arah pembicaraan. “Oke… tapi kenapa saya yang harus ikut?”
Ivan menoleh sekilas ke arah Loli, lalu kembali fokus ke kemudi. “Ini bisa kamu anggap sebagai persiapan sebelum berangkat ke Paris. Kamu perlu mengalami sendiri bagaimana ritme kerja di lapangan, bukan hanya menerima hasil dari balik meja.”
Glek.!
Loli menelan ludahnya, rasanya kayak nelen batu kerikil. Kepalanya mulai penuh, bukan sama ide brilian, tapi sama pertanyaan absurd. ‘Paris? Gue? Seriusan? ‘Jantungnya berdetak kayak alarm jam 3 pagi, keras, nggak sopan, dan nggak bisa diabaikan.
“Ingat,” kata Ivan tanpa menoleh, nada suaranya datar tapi tegas. “Saat ketemu para influencer, kamu harus tenang. Jangan kelihatan norak, minta foto lah, fangirling lah. Jaga sikap.”
Loli langsung mengangkat alis, ekspresinya penuh skeptis. “Apa? Minta foto sama influencer?” ujarnya dengan nada setengah nyinyir. Ia mendengus pelan, lalu menyandarkan tubuh ke jok mobil. “Tuan, santai aja. Saya nggak ngefans sama mereka kok.”
“Followers mereka banyak bukan berarti saya harus ngejar-ngejar mereka kayak diskon tanggal tua.” Ia memutar bola matanya dengan gerakan dramatis, seolah dunia influencer itu cuma latar belakang reels yang bisa di skip.
Ivan tersenyum tipis, senyum yang lebih mirip spoiler daripada pujian. “Bagus kalau begitu,” katanya pelan. “Tapi jangan sampai kamu kaget nanti…”
Loli menoleh cepat, alisnya naik dua tingkat. “Kaget kenapa?”
Ivan hanya menatap lurus ke jalan, senyumnya masih menggantung. “Karena salah satu dari mereka mungkin lebih tertarik sama kamu… daripada kamu ke mereka.”
Loli terdiam. Otaknya mulai loading.
‘Apa maksudnya coba?’ batin Loli penasaran.