Hari berjalan seperti biasanya, kami disuguhi oleh beberapa lembar ujian hingga di hari jumat nanti. Soal demi soal telah berhasil kukerjakan dengan baik, terlebih ketika aku mengingat harus kembali menempati posisi peringkat satu di tahun ini.
Tanpa terasa, bel pulang berbunyi. Aku langsung berlari menghampiri Keenan di mejanya.
“Keenan, kita jadi kan ngelilingin sekolahan naik sepeda?”
“Jadi.” sahutnya sambil melangkah keluar kelas menuju parkiran. Sambil memasang senyuman lebar-lebar, aku mulai berjalan mengikuti langkahnya.
“Celine!” Teriakan suara Adit yang berjalan menghampiri kami berhasil membuatku menoleh.
“Kenapa, Dit?”
“Lo mau ke mana?” tanyanya kemudian setelah tiba tepat di hadapanku.
“Pulang lah, sama Keenan.”
“Lo lupa hari ini punya janji sama gue?”
Aku mulai menepuk dahi pelan. “Astaga, iya gue lupa. Besok aja boleh gak, Dit?”
“Gak bisa, lo kan udah janji sama gue. Kemarin lo ngebatalin, masa sekarang harus ngebatalin lagi.” protesnya sambil terus menatapku dengan sinis sementara Keenan hanya terdiam sedari tadi.
“Tapi gue sama Keenan..”
“Udah, sana lo pulang sama Adit. Gue duluan ya, Bye.” sahut Keenan yang sudah terduduk di atas jok sepedanya lalu mulai melaju dengan perlahan.
“Nah kan, Keenannya juga dua balik. Ayo cepetan naik.” pinta Adit saat telah menduduki jok sepedanya.
‘Dasar, ganggu kebahagiaan orang aja!’ gerutuku dalam hati sambil mencoba menaiki injakan belakang sepedanya.
Andai aku tidak mempunyai janji dengan Adit, pasti saat ini aku sedang tertawa riang bersama Keenan di atas sepedanya, menyusuri teriknya langit Jakarta di siang hari seperti ini.
“Oh iya, ngomong-ngomong gimana kemarin jalan-jalannya sama bokap lo? Seru?” tanya Adit di sela-sela kayuhannya.
“Seruuu, seru banget! Pokoknya setiap akhir pekan gue bakalan terus jalan-jalan sama Papa.”
“Loh, bokap lo udah pindah kerja ke sini lagi berarti?”
Aku terdiam sejenak, “Eng-enggak gitu, maksudnya bokap udah janji kalo setiap akhir pekan bakalan ke rumah buat ajak gue main.”
“Bagus dong kalo kayak gitu. Kak Alice gak diajak?”
“Mana mau, Kak Alice aja benci banget sam..” Aku mendadak membungkan mulut ketika menyadari hampir saja keceplosan.
“Benci banget kenapa?”
“Eng-enggak, maksud gue Kak Alice mah kan anaknya rajin belajar banget gitu loh, Jadi dia pasti bakalan lebih milih belajar di kamarnya dibanding harus keluar jalan-jalan.”
“Iya juga sih, Kak Alice kan rajin banget anaknya gak kayak lo.”
Dengan jengkel, aku menepuk bahu Adit hingga membuatnya meringis. “Enak aja! Gue juga rajin belajar tau, kalo gak rajin mana mungkin gue selalu ranking di kelas.”
“Iya, tau deh yang sering dapet peringkat di kelas dan jadi anak kesayangan para guru-guru. Eh tapi, setelah kegagalan rencana kita waktu di kedai Kak Ibnu itu kelanjutannya gimana Cel? Kak Alice gak marah sama lo?”
“Wah, jangan ditanya Dit. Pokoknya Kak Alice marah banget, terus juga dia curiga kalo kita sengaja buat nemuin dia sama Kak Dafa di kedai.”
“Terus, lo bilang apa?”
“Ya gue bilang aja kalo gue gak tau menau, lagian kan emang Kak Dafa juga sebelumnya sering dateng ke kedai Kak Ibnu.”
“Dan akhirnya Kak Alice percaya gitu aja?”
“Lebih ke terpaksa percaya sih kayaknya.”
“Susah juga ya luluhin hati Kak Alice.”
“Emang, dia itu keras banget anaknya.”
“Kayaknya feeling gue bener deh, Cel.”
“Feeling lo yang mana?” tanyaku heran sambil mencoba menatapnya dari samping.
“Soal Kak Alice yang pernah disakitin sama laki-laki yang dia sayang, itu sebabnya kenapa dia jadi kayak sekarang.”
Andai saja Adit tahu jika memang itu alasan Kak Alice tumbuh menjadi pribadi yang seperti ini. Bagaimana bisa ia tidak hancur, saat seorang ayah yang seharusnya menjadi cinta pertama bagi anak perempuannya justru malah menjadi patah hati pertama baginya. Kebencian itu membuatnya tumbuh tanpa kasih sayang dan perhatian dari seorang Ayah. Semenjak kejadian itu pula, tidak ada satu pun laki-laki yang ia percayai di dunia ini. Kak Alice tidak lagi peduli sampai berapa lama ia akan hidup tanpa adanya sosok Ayah dalam kehidupannya. Baginya, yang terpenting adalah selama Mama masih bisa tersenyum bahagia dan berada di sampingnya, itu sudah lebih dari cukup.
“Cel, ini kita mau belajar di mana jadinya?” tanya Adit sambil menghentikan kayuhannya ketika kami telah sampai di depan gerbang komplek.
“Gimana kalo di rumah gue aja, Dit?”
Adit menoleh ke arahku, “Emangnya gak apa-apa? Gue takut ah sama Kak Alice.”
“Santai aja. Kak Alice itu galaknya cuma ke laki-laki yang seumuran sama dia dan laki-laki yang suka sama dia aja. Di luar itu mah aman, kok. Buktinya Kak Alice aja gak galak dan benci sama Kak Ibnu.”
“Beneran, nih? Masalahnya kan waktu itu dia ngeliat gue sama Kak Dafa di kedai. Pasti Kak Alice juga mikirnya lo sekongkol sama gue deh buat nemuin dia sama Kak Dafa.”
“Udah lah, tenang aja. Gue jamin Kak Alice gak akan galak ke lo. Ya, paling jutek-jutek dikit karena lo kan sepupunya Kak Dafa. Lagian kemarin nyokap bilang, kalo bisa ngajarin lo nya di rumah gue aja.”
“Ya udah deh, di rumah lo aja.”
Adit kembali mengayuh sepedanya. Tak memakan waktu lama, kami pun sampai di depan rumahku.
“Santai, Kak Alice mah jam segini belum pulang kok.” ujarku setelah berhasil turun dari sepeda.
“Alhamdulillah, aman.”
“Ayo masuk.” ajakku kemudian.
Setelah berhasil memarkirkan sepedanya di halaman depan, Adit pun mulai mengikuti langkah kaki ku masuk ke dalam rumah.
“Eh, anak Mama udah pulang. Gimana hari ini ujiannya, Sayang? Lancar? “ sapa Mama yang berpapasan dengan kami di ruang tamu.
“Lancar kok, Ma.”
“Eh, ada Adit toh.” Dengan senyuman hangatnya, Mama menatap ke arah Adit yang kini berdiri tepat di sebelahku.
“Hai, Tante. Apa kabar?”
“Baik, kok. Kamu sama Mama kamu gimana kabarnya?”
“Baik juga kok, Tante.”
“Kalian mau belajar bareng ya?”
“Iya, Tante. Boleh kan Adit numpang belajar bareng sama Celine di sini?”
Mama tertawa kecil, “Jelas boleh dong, Dit. Ayo masuk-masuk, kebetulan Bi Lastri juga baru selesai masak. Jadi kalian bisa makan siang dulu sebelum belajar, ya?”
“Terima kasih, Tante.”
“Mama mau ke mana?” tanyaku kemudian.
“Ke rumah Kak Dafa sebentar, Mama mau pinjem chopper, chopper Mama kayaknya rusak deh.”
“Oh, ya udah kalau gitu.”
“Tante tinggal dulu ya, Dit.” Mama mulai mengusap bahu Adit pelan.
“Iya, silakan Tante.”
“Bi, tolong buatin minum untuk Celine dan Adit ya.” teriak Mama sebelum akhirnya melangkah keluar.
“Iya, Bu.” sahut Bi Lastri dari dapur.
“Lo tunggu di sini sebentar ya, Dit. Gue mau salin dulu, gerah soalnya.”
“Oke, Cel.”
Setelah berhasil mengganti seragam sekolah dengan pakaian santai, aku pun kembali keluar dari kamar menghampiri Adit yang tengah terduduk di ruang tamu.
“Non, ini minumnya ya? Kalo mau minuman rasa lain bilang aja, nanti Bibi buatin.” ujar Bi Lastri yang tengah menaruh minuman di hadapan Adit.
“Udah, itu aja gak apa-apa kok, Bi.”
“Den Adit kalo butuh apa-apa bilang ke Bibi aja, ya.”
“Siap, Bi. Makasih ya.”
“Sama-sama. Kalau gitu Bibi permisi dulu.”
Dengan senyuman ramahnya, Bi Lastri kembali melangkah menuju dapur. Aku berjalan menghampiri Adit yang sedang duduk di atas sofa sambil mencoba meneguk segelas orang juice yang baru saja dibawakan oleh Bi Lastri untuknya.
“Dit?” tanyaku setelah berhasil menduduki sebuah sofa di sebelah sofa yang ia duduki.
Adit mempercepat tegukannya lalu mulai menoleh ke arahku. “Iya, ada apa Cel?”
“Pokoknya apapun yang terjadi jangan pernah bahas atau nanya soal bokap gue ke nyokap ya.”
“Kenapa emangnya?”
“Ya gak apa-apa, pokoknya jangan aja.”
“Iya tenang aja, Cel. Jadi Ini kita mau mulai dari pelajaran apa dulu?”
“Besok ulangannya apa aja sih?”
“Bahasa Inggris, Matematika sama Seni Budaya.”
“Lo mau yang mana dulu?”
“Matematika dulu aja, gimana?”
Aku mengangguk. Sesuai janjiku, aku mengajari Adit semua mata pelajaran yang akan dijadikan ujian selama satu minggu. Meski Adit anak yang pemalasan, jarang belajar dan mengerjakan Pekerjaan Rumah, namun aku tidak merasa kesulitan dalam membantunya belajar, ia dapat memahami dengan cepat apa yang telah aku terangkan padanya.
Tak lama kemudian, terdengar suara mobil masuk ke dalam halaman, pertanda Kak Alice telah pulang dari sekolahnya.
“Mama ke mana, Cel?” tanya Kak Alice saat melintasi ruang tamu.
“Ke rumah Tante Michelle, dari tadi belum pulang.”
“Ngapain?”
Aku mulai mengangkat kedua bahu, “Gak tahu.”
Tanpa menjawab lagi, Kak Alice hanya melirik ke arah Adit sekejap sambil kembali melanjutkan langkah menuju kamarnya.
“Tenang, emang gitu. Gak bikin lo gemeteran kan kalo cuma ditatap jutek kayak gitu?”
“A-aman, Cel. Aman.” jawab Adit dengan senyum tipisnya.
Tante Michelle adalah Mama Kak Dafa, yang juga berarti adalah Kakak dari Ibu Adit, Tante Viny.
Semenjak keluarga Tante Michelle pindah ke komplek ini mengikuti Adiknya, Tante Viny. Ketiganya menjadi sangat akrab hingga kini. Begitu juga dengan kami, anak-anaknya. Sebelum akhirnya Kak Alice menjauhi Kak Dafa karena rasa sakit hatinya kepada Papa.
Jam telah menunjukan pukul 16:00, Adit pun akhirnya pamit pulang karena hari sudah sore.
“Thanks ya Cel, udah mau ajarin gue.”
“Sama-sama, Dit. Lagian kan gue emang udah janji mau ngajarin lo. Jangan lupa nanti di rumah dihapalin sama pelajarin lagi, biar besok lo makin bisa dan gampang ngerjainnya.”
“Siap, Cel! Oh iya, Nyokap lo belum pulang juga?”
“Belum, lo tau sendiri kalo nyokap gue udah ketemu Tante Michelle sama nyokap lo tuh udah auto betah.”
Adit tertawa, “Iya juga sih. Ya udah kalo gitu gue balik ya? Salam aja buat nyokap.”
“Oke, hati-hati ya Dit. Salam juga buat Tante Viny.”
“Oke, Cel!”
Setelah Adit berhasil menaiki sepedanya dan beranjak keluar dari halaman rumahku, aku pun kembali masuk ke dalam untuk pergi mandi.