Limerence

Episode 9

Beberapa menit selama perjalanan, akhirnya kami pun sampai. Terlihat mobil Pak Burhan masih terparkir di depan halaman rumah Papa. Tak lama kemudian, Pak Burhan keluar dari rumah.

  “Eh, sudah pulang Non.”

  “Udah. Bapak dari tadi di sini?” tanyaku setelah melangkahkan kaki keluar dari dalam mobil.

  “Enggak, sempet pergi dulu untuk jemput Non Alice pulang. Terus izin lagi buat jemput Non Celine di rumah Non Merry.”

  “Mama gak curiga kan, Pak?”

  “Tenang, Non. Aman!” sahut Pak Burhan sambil mengacungkan ibu jari.

Papa yang baru saja keluar dari mobil pun mulai menghampiri kami. “Pak Burhan, maaf ya kalo saya tinggalin lama.”

  “Gak apa-apa Pak, santai aja.”

  “Makanan di dalam dimakanin, kan?”

  “Iya, Pak. Maaf ya kalo saya kebanyakan makaninnya.” Pak Burhan tertawa kecil sambil menggaruk ke kepalanya.

  “Eh, gak apa-apa, Pak. Dihabisin juga boleh, kok.”

  “Sudah, Pak. Terima kasih, sudah kenyang saya.” sahutnya terkekeh.

  “Ya udah, Celine kamu langsung pulang ya, Sayang. Takut Mama khawatir sama Celine.” ujar Papa padaku.

Dengan wajah murung, aku coba untuk mengangguk.

  “Jangan cemberut gitu dong. Gak seneng ya abis jalan-jalam sama Papa?”

  “Seneng kok, seneng banget. Celine sedih karena harus pisah lagi sama Papa.”

  “Jangan sedih dong, Sayang. Kan kita masih bisa ketemu lagi.”

  “Kapan, Pa?”

Sambil mencoba membungkukan tubuhnya, Papa tersenyum menatapku. “Celine maunya kapan?”

  “Setiap hari.”

  “Kalo itu Papa belum bisa kabulin. Gimana kalo setiap libur akhir pekan aja? Nanti Celine main ke sini temenin Papa.”

  “Emangnya boleh, Pa?”

  “Boleh dong, Sayang. Boleh banget malah.”

  “Iya, Non. Biar nanti Bapak yang anter buat nemenin Non ketemu Papa.” timpal Pak Burhan.

  “Tuh, Pak Burhan udah bersedia anter Celine untuk ketemu Papa.”

  “Asyiiik! Ya udah deh kalo gitu sekarang Celine mau pulang.”

Papa mencoba untuk berjongkok agar bisa memelukku dengan erat. Tentu saja aku membalas pelukannya dengan tak kalah erat. Meskipun berat rasanya, setidaknya aku masih bisa bertemu dengan Papa walau hanya setiap akhir pekan.

  “Dadah, Papa.”

  “Dadah, Celine Sayang. Sekolahnya yang rajin ya!”

  “Iya, Pa.” Aku berjalan menuju mobil sambil memeluk kedua boneka yang tadi didapatkan dari mesin pencapit boneka di timezone.

  “Mari, Pak. Kalau gitu saya antar Non Celine pulang dulu ke rumah.”

  “Oh, iya silakan Pak Burhan. Makasih ya udah mau bantu saya, maaf kalau jadi merepotkan Pak Burhan.”

  “Ah, gak apa-apa, Pak. Kayak sama siapa aja. Saya malah senang bisa bantu Non Celine buat terus ketemu sama Bapak.”

  “Sekali lagi, terima kasih ya Pak Burhan.” ujar Papa sambil menepuk bahu Pak Burhan beberapa kali.

  “Sama-sama, Pak. Permisi.”

Akhirnya, aku dan Pak Burhan pun masuk ke mobil untuk segera pulang karena hari yang sudah semakin sore.

Menghabiskan waktuku bersama dengan Papa hari ini membuatku mengingat perkataan Mama, Mama pernah berkata jika ia akan melakukan apapun agar membuat aku dan Kak Alice bahagia. Jika Mama tahu kalau kebahagiaanku tercipta karena aku bertemu dengan Papa, apa Mama akan terus mencoba untuk memperjuangkannya? Jika Mama tahu kalau kebahagiaanku terletak pada kembalinya keutuhan keluarga kami, apa Mama akan bersedia melakukannya?

Entah lah, setidaknya untuk saat ini, aku hanya berharap Mama dan Kak Alice tidak mengetahui jika aku dengan sembunyi-sembunyi mencoba untuk bertemu dengan Papa tanpa sepengetahuan mereka.

***

Sesampainya di gerbang komplek. Aku meminta Pak Burhan untuk mengantarku menuju kedai kopi Kak Ibnu sebelum akhirnya pulang ke rumah.

  “Pak Burhan mau minuman juga gak? Biar Celine pesenin.” tanyaku setelah kami sampai di Parkiran kedai kopi tersebut.

  “Gak usah, Non. Terima kasih.”

  “Ya udah deh kalo gitu. Tunggu sebentar ya, Pak.”

Aku pun langsung bergegas masuk ke dalam kedai. Berbekal sebuah senyuman, aku berlari menghampiri Kak Ibnu yang sedang membuat pesanan seseorang yang sepertinya sedari tadi telah menunggu di tempat duduk.

  “Kak Ibnuuuu!” sapaku dengan nada girang.

  “Hei, Celine. Sama siapa ke sini?” Kak Ibnu sempat melirikku sebentar sebelum kembali fokus meracik minuman.

  “Sama Pak Burhan.”

  “Loh, tumben amat ke sini naik mobil? Sama Kak Alice juga?”

  “Enggak, Kak Alice di rumah. Ini Celine baru pulang. Kakak tau gak Celine abis dari mana?”

  “Dari mana, tuh?”

  “Celine abis main ke Mall sama Papa.”

  “Ha? Seriusan?” tanyanya dengan sedikit terkejut sambil menampakan ekspresi bahagia kemudian.

Aku mengangguk tersenyum.

  “Sebentar ya, Cel. Kak Ibnu kelarin pesenan Masnya dulu.” Lirik Kak Ibnu kepada seorang laki-laki yang tengah duduk sambil asyik menatap layar ponselnya.

  “Oke, Kak.”

  “Mas, pesanannya udah siap.” ujar Kak Ibnu kepada pelanggannya itu.

Laki-laki itu beranjak dari tempat duduknya, berjalan menghampiri Kak Ibnu sambil memasukan ponselnya ke dalam saku.

  “Oh iya, terima kasih ya.”

  “Terima kasih, kembali.”

Setelah berhasil mendapatkan pesanannya, laki-laki itu pun berjalan keluar dari kedai.

  “Kak, Celine mau cokelat karamelnya satu ya.” ujarku kemudian.

  “Oke siap, Cel. Duduk dulu ya.”

Sambil menunggu, aku duduk di sebuah kursi yang pelanggan tadi sebelumnya duduki.

  “Terus-terus, kelanjutannya gimana? Kok Celine bisa ketemu Papa?” Dengan raut wajah yang penasaran, Kak Ibnu kembali bertanya sambil membuatkan segelas cokelat karemel sesuai pesananku.

  “Iya, Pak Burhan yang temuin Celine ke Papa setelah Pak Burhan gak sengaja ketemu Papa di jalan.”

  “Waaah, syukurlah. Akhirnya doa kamu selama ini dijabah Tuhan ya, Cel.”

  “Iya, Kak. Celine seneng banget akhirnya bisa ketemu Papa lagi setelah sekian lama.”

  “Terus, Mama tau?”

Aku menggeleng pelan. “Enggak, baik Mama maupun Kak Alice gak ada yang tau kalau Celine ketemu Papa, mereka pasti bisa marah banget ke Celine. Terutama Kak Alice, pasti dia bakalan benci sama Celine karena nemuin Papa secara diam-diam.”

  “Gak mungkin lah, Cel. Semarah-marahnya Kak Alice, dia gak akan mungkin benci sama Celine.”

  “Ya, semoga aja begitu. Kak Ibnu jangan bilang ke siapa-siapa, ya? Pokoknya yang tau soal ini cuma kita bertiga.”

  “Bertiga? Satunya lagi siapa?” tanya Kak Ibnu bingung.

  “Pak Burhan, kan.”

  “Oh iya. Sip deh, Cel. Semua aman kok kalo sama Kakak.”

  “Iya, Celine juga percaya kok sama Kak Ibnu.”

  “Ini minuman udah jadi.”

Sambil beranjak dari tempat duduk, aku merogoh kantung seragam untuk mengambil uang lalu menyerahkannya pada Kak Ibnu.

  “Ini Kak uangnya.”

  “Makasih ya, Cel.” balas Kak Ibnu sambil menyerahkan uang kembalian.

  “Sama-sama.”

  “Kak Ibnu cuma bisa berharap untuk keinginan Celine yang berdoa agar Mama, Papa dan Kak Alice bisa bersatu lagi itu akan segera terwujud. Biar Celine bahagia terus.” ujarnya kemudian.

  “Aamiin. Terima kasih ya, Kak Ibnu. Celine bisa curhat kayak gini paling cuma ke Kakak, Pak Burhan sama Bi Lastri aja.”

  “Gak apa-apa, pokoknya kapan pun Celine butuh seseorang buat dengerin curhatan, dateng aja ya ke sini, pasti Kak Ibnu dengerin.”

  “Ah, baiknya. Emang deh Kak Ibnu adalah Kakak yang the best! Kalo gitu Celine balik dulu ya, Kak. Udah sore, takut Mama nyariin.”

  “Oke. Nanti kalo ketemu Papa lagi, salam aja ya dari Kak Ibnu.”

  “Siap, Kak. Dadah Kak Ibnuuu!”

  “Dadah Celine!!!”

Sambil menenteng kantung pelastik berisi minuman cokelat yang kupesan, aku berlari keluar kedai, menghampiri Pak Burhan yang telah menunggu. Setelah itu, kami langsung bergegas pulang ke rumah.

*Keesokan harinya*

  “Terima kasih, Pak Burhan.” ujarku pada Pak Burhan setelah ia menghentikan laju kendaraannya di depan gerbang sekolah.

  “Sama-sama, Non.”

Setelah berhasil keluar dari mobil, aku melangkah masuk ke area sekolah. Baru saja mengambil beberapa langkah, Keenan dengan sepedanya melintas di sebelahku.

  “Keenan!”

  “Apa?” jawabnya tanpa menoleh dan memberhentikan laju sepedanya.

  “Ih, berenti dulu, kek.”

Akhirnya, Keenan pun mulai menghentikan laju sepedanya.

  “Ada apa lagi, sih?” tanyanya dengan nada ketus.

  “Astaga, masih pagi loh, udah galak aja.”

  “Udah deh jangan pake basa-basi segala. Lo mau apa?”

  “Bonceng dong, gue capek banget nih jalannya.” ujarku dengan wajah memelas.

  “Udah gue duga. Pemalesan banget sih lo jadi orang.”

  “Ya ampun, baru juga sekali gue minta dibonceng. Pelit amat.” gerutuku. Keenan terlihat menghela napas panjangnya. “Ya udah, cepet naik.”

  “Nah, gitu dong.” jawabku sambil terkekeh.

Selama dibonceng, aku terus berpegang pada kedua pundaknya agar tidak jatuh.

  “Keenan, lo udah belajar buat ulangan hari ini belum?” tanyaku seraya membuka percakapan.

  “Jelas udah lah. Jangan bilang kalo lo belum belajar.”

Aku menepuk bahu kanannya pelan, “Udah juga lah, lo pikir lo doang yang rajin.”

  “Ya kan lo rajinnya kadang-kadang doang.”

  “Gue yang rajinnya kadang-kadang aja bisa ngalahin posisi lo di peringkat 1 selama tiga tahun berturut-turut. Apalagi gue rajin terus, yang ada lo gak akan bisa dapet peringkat 1 di kelas selama 6 tahun.”

  “Gak usah sombong. Liat aja, tahun ini pasti gue yang akan duduki peringkat 1 di kelas.”

  “Nggak, pasti gue. Lo bakalan jadi peringkat kedua lagi di tahun ini.”

  “Tidak mungkin, Celine Shaenette. Gue jamin, lo yang bakalan menduduki peringkat dua di tahun ini. Atau mungkin, bahkan lo bisa jadi ada di peringkat 5 nantinya.” ujar Keenan tak mau kalah.

  “Enak aja! Selama ini gue gak pernah ya keluar dari peringkat 2, kalo gak peringkat 1 ya peringkat dua, gak pernah 3 ke bawah.”

Keenan mendengus meledek, “Ya, kan gak ada yang tau.”

  “Gak ada yang tau juga kalo ternyata lo yang bakalan dudukin posisi peringkat 5 di tahun ini.”

  “Gak akan!”

Tak lama kemudian, kami pun sampai di parkiran sekolah. Keenan telah menghentikan laju sepedanya.

  “Tunggu apalagi? Cepet turun.” ujarnya sambil menoleh ke belakang, ke arahku.

  “Iya, iya, sabar kenapa sih. Lagian cepet banget sampenya, perasaan baru aja naik.”

  “Mau lama? Lo puterin aja satu sekolahan.”

  “Kayaknya seru deh, yuk?” ajakku dengan wajah sumringah.

  “Ogah. Lo pikir gak berat bonceng lo? Berat tau.”

  “Ya elah, payah amat. Sini gantian lo yang gue bonceng!”

  “Bener ya? Lagian emang lo bisa bawa sepeda?”

  “Ah, bawa sepeda doang mah gampang.”

  “Oke, nanti pulang sekolah boncengin gue keliling sekolahan.” ujar Keenan sambil melangkah pergi menuju ruang kelas.

  “Eh, Keenan. Beneran lo mau?” tanyaku sambil berlari mengejarnya.

  “Iya, gue mau buktiin lo bisa atau enggak bawa sepeda.”

  “Siapa takut.” balasku.

Dengan terus tersenyum, aku mengikuti langkahnya menuju ruang kelas sambil membayangkan betapa bahagia nanti sepulang sekolah, akan membonceng Keenan mengelilingi sekolahan ini. Hanya berdua. Terlihat begitu romantis meski harus aku yang memboncengnya.