Itu lah yang Adit ketahui, ia hanya tahu jika Papa kini berkerja di luar kota yang menyebabkannya jarang pulang ke rumah. Tidak ada satu pun selain keluargaku yang tahu kalau ternyata orang tuaku telah bercerai, kecuali Kak Ibnu. Karena pada saat itu, sepulang dari pengadilan, aku berlari keluar dari rumah menuju kedainya. Di sana lah untuk pertama kalinya aku menumpahkan air mataku di depan orang lain.
Kak Ibnu tahu semua yang terjadi, dengan isakan tangis yang tak kunjung usai, aku terus menceritakan semuanya. Maka dari itu ia sangat memaklumi keadaan Kak Alice sekarang. Apalagi mengenai sifatnya yang kini begitu membenci Kak Dafa.
*teng.. teng.. teng..*
Bel masuk telah berbunyi, satu per satu murid mulai masuk memadati ruang kelas saat langkah guru ikut masuk setelahnya.
“Hari ini sebelum Ibu membagikan selembar kertas ujian, Ibu ingin mengacak tempat duduk terlebih dahulu.” ujar seorang wanita sambil melihat buku absen.
“Yah, gimana nih, Cel? Gue bakal susah buat nyontek ke lo nya.” keluh Adit dengan wajah khawatir.
“Ya gimana? Gue juga gak tau kalo bakalan diacak kayak gini.”
Beberapa murid telah berhasil duduk sesuai dengan keinginan sang Guru.
“Adit, kamu pindah duduk di sebelah Merry. Dan Keenan pindah ke tempat duduk Adit.”
Dengan perasaan tidak percaya, hal yang kuimpikan selama ini akhirnya menjadi kenyataan. Aku akan duduk sebangku dengan Keenan meski hanya untuk satu mata pelajaran. Dengan wajah jengkel, Adit beranjak dari tempat duduknya menuju kursi di sebelah Merry. Lalu, Keenan pun mulai menempati kursinya.
Sambil menarik napas, aku mencoba untuk tetap tenang meski rasanya ingin teriak karena saking bahagianya.
“Nah, sudah semua kan? Semuanya juga udah pada pegang kertas ujian masing-masing? Apa ada yang belum?” tanya Guru tersebut.
“Sudah, Bu.” jawab Para Murid dengan serentak.
“Kalau gitu, kalian sudah boleh mengerjakannya. Ingat, jangan berisik. Kalau sampai ada yang ketauan menyontek, Ibu tidak akan memberikan nilai di ujian kali ini. Mengerti?”
“Mengerti, Bu.”
Dengan wajah tengilnya, Keenan melirik ke arahku sambil mencoba menutupi kertas ujian dengan bahunya agar aku tidak bisa melihat jawaban pada kertas ujiannya. Aku yang melihat tingkahnya, membalas tatapan tengilnya sambil ikut menutupi kertas ujianku.
Detik terus berjalan, hingga akhirnya Bu Guru memberi tahu hanya tersisa 20 menit lagi waktu kami untuk harus berhenti lalu mengumpulkan selembar kertas ujian itu kembali ke atas mejanya.
Aku yang sudah hampir selesai, sesekali mencoba melirik ke arah Adit yang terlihat kebingungan. Tidak ada celah sama sekali yang bisa kupergunakan untuk memberinya setidaknya satu jawaban. Guru itu terus memperhatian kami tanpa lengah.
“10 menit lagi.” ujarnya memperingatkan, “Pastikan semua nomor terisi dengan benar, jangan sampai ada yang terlewatkan.”
Keenan beranjak dari kursinya, sambil membawa selembar kertas tersebut, ia berjalan ke depan untuk menaruh kertas ujian yang telah berhasil ia kerjakan ke atas meja sang Guru, lalu kembali duduk.
“Waktu sudah habis. Letakan selembar kertas itu masing-masing di atas meja kalian. Jangan ada yang coba-coba untuk masih mengerjakannya. Saya akan keliling untuk mengambil kertas tersebut.”
Semua murid pun menghentikan aktivitasnya lalu membiarkan sang Guru mengambil kertas ujian milik mereka masing-masing.
“Keenan, bisa bantu Ibu kumpulkan?”
“Baik, Bu.” Keenan kembali beranjak dari kursinya untuk membantu Guru itu mengumpulkan kertas-kertas ujian.
“Untuk ujian kedua, kalian boleh kembali ke tempat duduk masing-masing. Dan ingat, jangan berisik sampai Pengawas selanjutnya datang. Mengerti?”
“Mengerti, Bu.”
“Terima kasih ya, Keenan. Kamu boleh duduk sekarang.” ujar wanita itu pada Keenan.
“Sama-sama, Bu.”
Dengan wajah pasrah, Adit berjalan kembali menuju kursinya.
“Kacau, gue gak bisa ngisi satu pun.” gerutunya dengan wajah murung.
“Emang lo semalem gak belajar sama sekali?”
“Enggak.”
“Lagian, salah lo sendiri!” cibirku kemudian.
Sambil menghela napas panjang, ia bersandar pada kursi. Sesekali tangannya menepuk-nepuk jidatnya.
Tanpa terasa, akhirnya bel pulang berbunyi. Dengan semangat yang penuh, aku langsung menggendong ranselku lalu bergegas berjalan menuju gerbang sekolah dengan senyuman tanpa henti.
Keenan dengan sepedanya berlalu begitu saja melewatiku tanpa menyapa. Tak lama kemudian, Adit memperlambat gowesannya ketika melihatku.
“Jadi gue harus belajar sendiri dulu nih malam ini?” tanya Adit sambil menoleh ke arahku yang terus berjalan.
“Iya lah, Dit. Lagi pula kan gue ngajarin lo juga nanti cuma dari hari selasa sampe jumat. Seterusnya? Lo sendiri yang bakal berjuang, apa lagi nanti kalo udah lulus terus kita beda sekolah. Lo mau minta diajarin sama siapa kalo gue jauh?”
“Ya gue bakalan masuk ke sekolah yang sama ama lo lah.”
“Kalo kita gak sekelas gimana?”
Sambil terus menggowes dengan perlahan, ia hanya terdiam menatapku.
“Bokap lo jadi jemput?”
“Jadi, dong.” jawabku dengan sumringah.
“Seneng amat kayaknya nih gue liat-liat.”
“Ya jelas lah. Udah lama banget gue gak ngabisin waktu berdua sama bokap.”
“Gue juga udah lama banget gak ketemu bokap lo, boleh ikut samperin gak?”
“Boleh, kok.”
“Ayo naik. Biar lebih cepet nyampe ke gerbangnya.” ajak Adit sambil memberhentikan laju sepedanya.
“Nah gini kek dari tadi.”
Aku dan Adit pun pergi menuju gerbang dengan menaiki sepedanya. Dari kejauhan, Papa sudah terlihat sedang berdiri di depan mobilnya.
“Dit, gowes yang kenceng!” pintaku tak dengan sabar.
“Sabar sedikit kenapa sih, Cel? Emangnya lo pikir lo gak berat apa.” protesnya sambil mencoba mempercepat kayuhan.
Akhirnya kami pun sampai persis di depan Papa. Aku bergegas turun dari sepeda Adit dan langsung berlari memeluk Papa dengan erat.
“Papaaaa!!!”
“Sayang!!” sahut Papa setelah berhasil membalas pelukanku.
“Akhirnya Papa dateng juga.” ujarku sambil melepaskan pelukan lalu menatapnya.
“Dateng dong, kan Papa udah janji sama Celine.”
“Halo, Om.” ujar Adit yang bersalaman dengan Papa setelah berhasil turun dari sepedanya.
“Eh? Halo, ini teman sekelasnya Celine?”
“Pa, ini Adit. Sepupunya Kak Dafa. Masa Papa lupa?” timpalku.
“Oh ya ampun. Ini Adit? Aduh maaf ya, Dit. Udah lama banget soalnya kita gak ketemu, kamu makin tinggi dan tampan, Om sampe gak ngenalin.”
“Ah Om bisa aja. Adit juga sengaja ikut ke sini buat ketemu sama Om.”
“Kamu gimana kabarnya, Dit?”
“Alhamdulillah baik. Om sendiri gimana kabarnya? Enak gak om kerja di luar kota?”
“Ha?” Papa terdiam heran, lalu mulai menatap ke arahku.
“Emm, Eh, Pah? Ayo udah siang nih, nanti keburu sore. Celine juga udah laper banget.” ujarku seraya mengalihkan pembicaraan.
“Dit, kalau gitu Om sama Celine mau permisi dulu ya? Takut kesorean, kasian juga Celine udah laper. Nanti kapan-kapan kalau ada waktu kita ngobrol lagi ya.”
“Oh iya silakan, Om. Hati-hati di jalan.”
“Kamu juga ya.” ujar Papa sambil mencoba ikut masuk ke dalam mobil.
Sebelum Papa melajukan kendaraannya, aku menekan tombol untuk sedikit membuka kaca mobil.
“Have fun ya, Cel!”
“Thanks, Dit. Lo hati-hati ya di jalan. Dadah Adiiiit!”
Sambil membunyikan klakson, Papa pun mulai melajukan kendaraannya menuju tempat yang akan kami datangi.
“Cel? Kok Adit nyangkanya Papa kerja di luar kota?” tanya Papa di tengah-tengah perjalanan.
“Celine sengaja bohong, Pa. Semenjak Papa sama Mama pisah, gak ada satu pun orang yang tau tentang itu, termasuk keluarga Adit dan Kak Dafa. Jadinya, Celine bilang aja kalo Papa pindah kerja keluar kota dan jarang pulang ke rumah.”
Papa hanya terdiam, menoleh sebentar ke arahku, lalu mengusap kepalaku dengan lembut.
“Pak Burhan ke mana, Pa?”
“Pak Burhan lagi di rumah Papa. Sengaja Papa suruh diam di sana dulu, soalnya kalau Pak Burhan tetap di rumah Mama, Mama pasti bakal curiga karena Pak Burhan gak jemput kamu.”
“Waaah, Papa pinter juga.”
“Iya, dong. Apapun akan Papa pikirin, yang penting Papa bisa ketemu Celine.”
Aku hanya menatap ke arahnya sambil tersenyum.
Langit Jakarta begitu cerah hari ini, sama seperti suasana hatiku yang sedang bahagia. Rasanya, ingin sekali waktu berjalan lebih lambat dari biasanya, hanya untuk hari ini saja. Agar aku bisa lebih lama bertemu Papa.
Papa mulai mengemudikan mobilnya masuk ke area Parkiran salah satu Mall terbesar di Jakarta. Setelah berhasil mendapatkan lahan untuk parkir, kami pun keluar dari mobil. Di sepanjang jalan menuju masuk ke dalam Mall, Papa menggandeng tanganku tanpa melepasnya sedikit pun.
“Celine mau makan apa, Sayang.” tanya setelah langkah kami berhasil melewati beberapa resto yang ada di dalam Mall.
“Apa aja. Papa mau makan apa?”
“Papa mah bebas, ikutin kemauan Celine aja. Pokoknya, apapun kemauan Celine di hari ini langsung bilang aja ke Papa, pasti akan Papa turutin.”
“Beneran, Pa?” tanyaku kegirangan.
“Beneran dong, Sayang.”
“Ya udah. Kalau gitu, Celine mau makan ramen.”
“Boleh. Ayo kita pergi ke tempat ramen!”
Sambil sedikit berlari, Papa terus menggandengku menuju Ramen yang dulu sempat kami datangi beberapa minggu sebelum kejadian Kak Alice memergoki Papa di dalam kamar.
“Gimana? Enak gak?” Di sela-sela menyantap ramen yang telah datang, Papa mulai membuka percakapan.
“Enak banget, Pa. Ini kan emang tempat ramen kesukaan Celine sama Kak Alice.”
“Iya, sayang Kak Alice gak bisa ikut.”
Aku mulai mengentikan kunyahan lalu menatapnya, “Pa?”
“Iya, Sayang?”
“Papa gak benci sama Mama dan Kak Alice, kan?” tanyaku kemudian.
Papa tersenyum kecil, “Enggak, dong. Mana mungkin Papa bisa benci sama Mama dan Kak Alice.”
“Meskipun Mama dan Kak Alice gak pernah mau dengerin penjelasan Papa?”
“Sayang, Papa yakin suatu kebeneran akan terbongkar. Mama dan Kak Alice pasti bakalan tau kalo ternyata selama ini Papa gak salah. Dan Papa juga gak bisa nyalahin mereka karena udah bersikap seperti sekarang sama Papa. Kalau Papa ada di posisi Mama dan Kak Alice, mungkin Papa juga akan melakukan hal yang sama kayak mereka.”
“Celine selalu berharap hari itu akan segera tiba.”
“Iya, semoga aja. Kita berdoa terus ya?” Dengan senyuman hangatnya, Papa mengusap kepalaku lembut.
Aku mengangguk sambil kembali melilitkan ramen ke sumpit. “Kabar Mama dan Kak Alice gimana?” tanya Papa lagi.
“Baik. Tapi..”
“Tapi kenapa, Sayang?”
“Semenjak kejadian itu, Kak Alice jadi benci sama semua laki-laki seusianya, apalagi sama laki-laki yang suka dan mencoba untuk ngedeketin dia. Bahkan, Kak Alice juga jadi benci sama Kak Dafa, Pa.”
Papa menghela napas panjang. “Papa tau, ini semua pasti sangat berat untuk Alice. Kalau aja Alice gak benci sama Papa, pasti sekarang Papa bisa ketemu lagi sama dia.”
“Nggak, Celine yakin Kak Alice gak bener-bener benci sama Papa kok.”
“Papa juga berharap seperti itu, Sayang. Ya udah, ayo cepat dimakan lagi ramennya. Nanti keburu dingin loh.”
Sambil mengangguk, aku kembali menyeruput mie beserta kuah dalam mangkuk berukuran sedang itu. Hingga semuanya habis tak tersisa.
“Ya ampun, anak Papa laper atau doyan nih?” ledek Papa.
“Dua-duanya, Pa.” jawabku sambil terkekeh.
“Habis ini, Celine mau apa lagi? Atau masih mau cari makanan?”
“Enggak, Celine udah kenyang kok, Pa.”
“Terus mau apa lagi? Mumpung hari belum sore, nih.” Papa menatap ke arah jam di tangannya.
“Pa, kita main timezone aja yuk?”
“Ayok!! Berangkaaaat!”
Setelelah membayar dua mangkuk ramen tadi. Kami pun beralih menuju tempat permainan, timezone.
Di sana lah tempat terakhir kami menghabiskan waktu pada pertemuan kali ini hingga sore menjelang.
Aku mendapatkan 2 boneka yang didapatkan dari mesin pencapit boneka yang Papa mainkan, satu boneka beruang yang lucu dengan ukuran kecil, satunya lagi boneka panda dengan ukuran sedikit lebih besar.
Setelah merasa puas dan karena hari juga sudah semakin sore, kami pun memutuskan untuk kembali ke mobil dan pergi menuju rumah Papa.