CEO -2

889 Kata
"Ya, Ma. Aku masih di Surabaya kok ini." Tangan kanan Eka memegang ponsel, sementara tangan kiri memasukkan pakaian ke dalam koper. Baju-bajunya dulu yang belum sempat dibawa, sekarang akan diangkut pulang. "Sendiri, Ma. Ryan masih pincang habis kujebol bisulnya. Dia miara bisul kayak miara Bebirah. Dielus mulu, nggak tega dipencet." "Ya udah, bentar lagi pulang. Kangen ngelonin aku banget kayaknya. Hati-hati di sana, Ma. Salam ke Papa. Cup muah dulu kali, Ma ... sebelum nutup telepon. Biar nggak kerasa jones aja jauh dari peri bahenol kesayangan Papa Dika." Eka memutus sambungan telepon. Dilihatnya lagi kamar kontrakan yang beberapa tahun lalu pernah ia tempati bersama Ryan, temannya. "Mas, kok banyak amat? Mau ikut rombongan haji?" Novi, adik Ryan datang. Setengah kagum dan berdecap heran. Kontrakan yang dulu ditempati Eka dan Ryan semasa kuliah, kini beralih pada Novi yang masih semester enam. "Mau sih, tapi nunggu keriput dulu." "Kok gitu? Kalau beribadah itu disegerakan, Mas." "Heh, ngantri ke sononya dua puluh tahun lagi. Udah keriput, tiang juga udah nggak tegak menantang. Baru deh ke sono." Novi menggeleng kepalanya maklum. "Terserah Mas deh. Aku berangkat kuliah dulu." *** Sambutan yang meriah dilakukan Emil saat anak sulungnya datang. Melihat Eka datang sambil berlari-lari kecil, turun dari motor Bang Go-Jek ala Sahruk Khan, Emil lantas berdendang lagu Via Vallen. "Eka, Sayang ... opo kowe krungu. Jerite atiku. Mengharap engkau kembali. Eka sayang ... nganti memutih rambutku. Ra bakal luntur tresnoku." Eka segera memeluk mamah muda beranak empat itu dengan erat. Tak lupa kecupan manja di sekitar pipi, telinga, hidung dan bibir bekas cipokan papanya. "Uluh ... kesayangan Papa Dika. Makin sekseh aja, Ma. Pakek daster pula. Kelar deh hidup Papa kalau nggak cipok Mama sehari aja." "Yee, mana tahan dia nggak cipok Mama sejam aja. Masuk yuk ... ke kamar langsung aja gimana? Mama udah pengen kelon." Eka mengangkat tangannya di depan d**a. "Eits, stop. Perut lagi laper, Ma. Kasih asupan dulu napa. Biar tetep jantan, Mamen!" Tanpa pikir panjang, Emil menyeret Eka ke dapur. Makan siang sudah siap. Ayam goreng kesukaan Eka pun sudah tersedia. Emil memang selalu mengingat makanan kesukaan semua anggota keluarganya. Terlebih keempat anaknya. Si sulung suka unggas. Anak nomor dua suka rendang tapi nggak harus daging sapi. Lain lagi yang nomor tiga, dia penyuka s**u sapi. Dan anak terakhir ... penyuka ASI. Meski harus rebutan dulu dengan Papa Dika setiap malam. "Ma, Papa lum pulang? Nggk ikut nyambut anaknya ini?" "Mana mau dia. Sekarang jadi KAJUR, sibuk mulu ke luar kota. Mama juga kurang belaian akhir-akhir ini." "Dududududu ... kasihan. Kurang belaian tapi nggak minta jatah ke Bebirah kan?" Menunjuk pada kucing berbulu kuning, hasil perkawinan silang anak Deborah dengan kucing kampung. Bisa dibilang, Bebirah adalah cucu ke sekian dari bapak yang berbeda dengan Deborah. "Udah ah, cepetan makannya. Kita ke kamar langsung. Mama kangen banget sama kamu. Goyang sepuasnya juga mama siap." Setelah sendawa panjang, Eka mengikuti langkah Emil menuju kamar. *** Pintu kamar bertuliskan CEO dengan huruf kayu, terpampang nyata kala Eka membukanya. Wajah lelah dan suara serak tengah diderita. Tiga jam mama bahenol yang mengaku selalu menjadi mamah muda itu mengajaknya karaoke di dalam kamar. Melepas rindu, sambil bobok sayang di paha muntuk. Meski anak lelaki, Eka tak malu bermanja di pangkuan mamanya. Sejak lulus SMA, ia kuliah di Surabaya. Hanya setahun sekali bisa pulang. Saat itulah Emil akan memanjakannya. Eka masuk ke kamar. Menggaruk kasar kepalanya, hingga rambut semakin kusut. Ia sudah tertidur sebentar di kamar Mama. Karena azan asar, ia segera bangun dan pindah ke kamarnya sendiri. "Beb, Mama mau ke rumah Om Iko dulu ya? Nanti kalau adikmu minta makan, kasih aja sekop. Mereka udah bisa suapin diri sendiri." Emil sering memanggil anak sulungnya dengan kata "Beb." Lebih mesra, dekat dan terasa muda selalu. Juga mengingatkan sosok Baby Eka saat masih disusui. "Mama, sama anak sendiri suruh pakek sekop. Sama Papa malah suapin bibir ke bibir." "Itu beda lah. Udah, Mama lambai-lambai dulu." Sepeninggal Emil, Eka kembali tiduran di kamarnya. Seminggu ia di Surabaya untuk mengecek bisnisnya. Sejak kuliah, Eka sudah berbisnis kecil-kecilan dengan Ryan. Hingga setelah lulus kuliah, keduanya bisa mengembangkan bisnis Ena-Ena dengan lancar. Bahkan distribusinya sudah merambah ke wilayah Jawa bagian timur hingga barat. Dan dua tahun belakangan sudah sampai di wilayah Jakarta. Meski kantor pusat dan produksinya masih di daerah Surabaya, sebentar lagi ia akan mendirikan juga di Jakarta. Karena akan mencoba distribusi hingga ke luar pulau. Belum sampai Eka menjemput Mimi peri di alam mimpi, pintu kamar digedor oleh adik keduanya. "Mas," panggilnya. Eka bangun, adik perempuan yang masih SMA itu masuk. "Apaan? Mau jemput Mimi peri aja suseh bener sih. Ada aja gangguannya." "Oy ... oy! Nggak ada yang kerenan dikit. Dijjah Red aja, sekarang makin kece habis ke Kuria. Bedah plastik. Atau Nurani gitu.” "Buruan ada apa. Gue mau bergumul di bawah selimut nih." "Bagi duit, Mas." "Elah ... gue kira mau nawarin temen lo yang jones juga. Buat apaan? Jangan bilang buat beli paket data lagi. Boros amat!" "Hehehe, kok pinter banget sih, Mas bisa nebak. Sini, bagi duit." Meski menggerutu, Eka merogoh isi sempak, maaf isi kantong celananya untuk mengambil dompet. "Untung adek gue. Kalau pacar, udah gue suruh ambil sendiri di dalem sempak." "Najis lo, Mas. Untung juga lo jomlo. Entah gimana cewek lo kalau ngadepin mulut sampah gitu. Bye deh, Mas. Makasih ya!" "Mulut gue banyak faedahnya kali, bukan sampah." __________
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN