Bab 2 (Sosok Ayah)

1108 Kata
Nadia sudah berada di dalam ruangan direktur utama, Nadia tampak meneteskan air mata saat pria paruh baya yang sudah dia anggap seperti ayahnya sendiri itu memeluknya. “Pak Danu, apa Bapak tidak bisa tetap memimpin perusahaan ini saja, tidak perlu di ganti dengan orang lain?” Pria paruh baya itu tersenyum melihat Nadia. “Tidak bisa, Nadia, saya harus pergi, sudah waktunya saya untuk lebih banyak beristirahat. Sebenarnya ada hal yang ingin saya katakan sama kamu.” “Apa itu, Pak?” “Saya memutuskan berhenti dari sini karena saya akan menjalani perawatan dari penyakit kanker darah yang saya derita selama ini. Dan pemilik asli dari perusahaan ini yang sudah menyiapkan semua kebutuhan saya di Singapura nantinya.” “Apa? Bapak menderita kanker darah? Tapi ini tidak mungkin! Bapak terlihat sehat dan baik-baik saja.” “Saya sedang sakit, Nadia. Selama ini saja sudah menjalani kemoterapi untuk penyakit ini, dan sudah saatnya saya benar-benar harus beristirahat. Saya yakin, kamu akan bisa bekerja sama dengan pemilik perusahaan ini, kamu gadis yang pintar, jujur, dan sangat bertanggung jawab.” Tangan yang tampak ada garis keriputan mengusap lembut pucuk kepala Nadia.” “Tapi, Pak. Saya dan karyawan lainnya akan sangat merindukan Pak Danu. Pak Danu adalah sosok pemimpin yang bijaksana dan sangat baik.” Sekali lagi Nadia menghapus tetesan air mata di pipinya. “Doakan saya saja, supaya saya bisa segera pulih dan bertemu dengan kalian lagi, saya juga pasti akan merindukan kamu dan karyawan lainnya, serta tidak lupa putri kecil kamu.” Senyum hangat pak Danu terlihat jelas di mata Nadia. Nadia sekali lagi memeluk pria paruh baya itu, dan sekarang pelukannya lebih erat. Nadia seolah taku kehilangan pria yang sudah menjadi sosok ayah baginya selama ini. Nadia ingat pertama kali saat bertemu dengan pak Danu di suatu tempat, pria itu akan dirampok oleh seseorang. Namun, dengan berani Nadia mencoba menolongnya dengan memukul perampok itu dengan balok kayu yang dia temukan sampai perampok itu pingsan, dan akhirnya Nadia mengajak pak Danu pergi dari sana. Dari situ Nadia berkenalan dan akhirnya bisa bekerja di perusahaan besar yang di pimpin oleh pak Danu. Nadia termasuk salah satu karyawan yang rajin, jujur dan pintar, akhirnya dia bisa diangkat menjadi sekretaris dari pria paruh baya itu. Dan pak Danu juga seorang yang sangat baik yang selalu membantu Nadia, apalagi pak Danu mengetahui kisah Nadia yang seorang single parent. Pak Danu sendiri sudah memilki keluarga, tapi tidak dikaruniai seorang anak, istri pak Danu juga sangat kenal baik dengan Nadia dan putrinya. “Pak, ini ada hadiah kecil dariku, semoga Bapak menyukainya, saya harap Bapak bisa memakainya sehingga Bapak akan memiliki semangat untuk berjuang melawan penyakit Pak Danu.” Pak Danu membuka kotak berukuran sedang yang diberikan Nadia. Sebuah jam tangan berwarna silver dengan desain klasik. Pak Danu sangat menyukai sekali jam tangan. “Nadia, ini indah sekali, kenapa kamu membuang uang kamu untuk membeli ini?” Kedua mata pak Danu menatap sayu pada Nadia. “Tenang saja, Pak. Saya sudah menabung karena memang ingin bisa membelikan Bapak jam tangan ini. Dan maaf, ya, Pak, jam tangan ini mungkin tidak semahal jam tangan yang Bapak miliki.” “Ini sudah sangat berharga bagiku, Nadia, karena jam tangan ini di berikan oleh putriku.” Sekali lagi mereka berpelukan. “ Nadia, nanti kamu harus sabar dalam menghadapi direktur utama perusahaan ini, karena dia orang yang sangat disiplin dan tidak suka bertele-tele. Dia juga orang yang sangat profesional, tidak menerima sedikitpun kesalahan, jadi kamu harus bisa sabar dalam menghadapinya.” Nadia menganggukkan kepalanya. “Ya sudah, kembalilah ke tempat kerja kamu, nanti kita akan bertemu di ruang pertemuan, kalian nanti akan bisa berkenalan dengan direktur utama kita.” “Saya permisi dulu, Pak.” Nadia keluar dari ruangan Pak Danu dengan perasaan yang sangat sedih. Pun dengan pria paruh baya itu, di dalam ruangannya, pak Danu juga menteskan air matanya. Sarah melihat Nadia yang matanya agak sembab, dia kemudian mendekati kursi Nadia. “Kamu baik-baik saja, kan, Nad?" “Iya, Sarah. Rasanya berat sekali harus berpisah dengan beliau. Dia sudah seperti ayah bagiku.” Nadia menceritakan juga kenapa pak Danu harus mengundurkan diri dari perusahaan. “Ya, Tuhan! Kasihan sekali pak Danu. Semoga dia segera bisa sembuh dari penyakitnya,” ucap Sarah berbisik. Mereka berdua saling berpelukan. Pekerjaan kembali seperti biasa. Nadia ingat ucapan pak Danu tadi, jika nanti direktur utama yang baru itu orangnya sangat tidak mau menerima kesalahan, jadi Nadia menyiapkan semua berkas yang perlu dia teliti dengan baik. “Aduh! Benar-benar tidak dapat di tahan.” Wajah Nadia meringis menahan sesuatu. Nadia beranjak dari tempatnya dan bilang sama Sarah jika dia mau ke toilet lebih dulu. “Jangan lama-lama! Sebentar lagi kita harus ke ruang pertemuan.” Nadia mengangguk dan segera berlari kecil ke arah toilet. Nadia yang sangat buru-buru, tidak sengaja malah mematahkan hak salah satu sepatunya. Karena tidak mau nanti terjatuh dia akhirnya melepaskan satu lagi sepatunya, jadi dia berlari tanpa alas kaki. Bruk! “Maaf, ya, maaf!” Nadia mengucapkan maaf pada seseorang yang ditabraknya tanpa melihat, dia langsung berjalan masuk ke arah toilet. Nadia sudah tidak bisa menahan ingin buang air kecil, dan juga tidak ingin terlambat datang ke acara pertemuan itu. Pria yang di tabraknya itu malah mengerutkan kedua alisnya melihat penampilan Nadia yang berlari di dalam kantor tanpa alas kaki begitu. “Pak, apa ada masalah?” tanya seorang wanita dengan penampilan rapinya. “Tidak ada, ayo kita ke tempat pertemuan,” ucapnya tegas. Dia berjalan dengan gagah dan wanita yang bertanya padanya tadi berjalan mengikutinya dari belakang. “Huft! Lega.” Nadia tersenyum setelah menghela napasnya. Nadia keluar dan mencuci tangannya di wastafel, dia melihat ke arah sepatu hitamnya yang tadi dia letakkan di atas meja wastafel seenaknya. “Sepatuku! Lalu bagaimana ini? Tidak mungkin aku memakai sepatu dengan hak yang bersebelahan begini?” Nadia mencoba mematahkan hak sepatunya yang masih utuh, berharap nanti sepatunya bisa seimbang. Beberapa kali dia mencoba, tapi tetap tidak bisa untuk mematahkannya. “Tidak bisa patah!” Nadia memegangi kepalanya bingung. “Harus bagaimana sekarang? Apa tetap aku pakai saja? Tapi nanti jalanku jadi aneh?” Nadia melihat ke arah jam di tangannya. “ Ini juga sudah jamnya untuk datang ke acara pertemuan itu.” Nadia mondar mandir di depan kaca besar wastafel, dia bingung mau berbuat apa sekarang? Tidak lama ponsel Nadia berdering dan dia melihat nama Sarah pada layar ponselnya. “ Nadia! Kamu di mana? Kita sudah ditunggu dari tadi.” “Sarah, ada yang mau aku katakan sama kamu" "Ada apa?" Sekarang Sarah yang tampak cemas mendengar suara Nadia. "Sarah, salah satu hak sepatuku patah, aku bingung,” ucap Nadia cemas. “Apa?" Sarah tampak terkejut mendengar ucapan Nadia barusan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN