Audry

1207 Kata
"...dan perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik (pula)..." -------QS An-Nur:26 Aku ingin baiknya diriku sebanding dengan baiknya wanita itu  *** Jika bukan aku, maka pasti ia akan terkejut begitu melihat seorang perempuan duduk di kursimu. Ya benar, Audry. Percayalah aku bersenang-senang seminggu lalu ketika ia mengambil cuti tahunannya dan berlibur ke Thailand ku rasa. Tidak perlu salah paham. Ia telah berusaha mengajakku sejak enam bulan yang lalu. "Wa'alaikumussalam warahmatullahi wa barakatuh. Harusnya kamu membaca salam sebelum masuk ruangan Emran." Ujar Audry dengan logat yang dibuat-buat. Ia tidak perlu repot-repot mengingatkanku untuk baca salam. Harusnya ia menyadari bahwa ia perlu mengingatkan dirinya sendiri untuk tidak masuk sembarangan ke ruangan laki-laki. Aku berdiri di pintu sambil mengetuk-ngetukkan kaki pertanda bahwa ia harus keluar dari ruangan. Sudah cukup ia seenaknya saja masuk ke ruangan ini. "Okay, aku cuma mau nganterin oleh-oleh." Ia menunjukkan tumpukan oleh-oleh yang sepertinya cukup untuk teman sekelasmu. Aku masih memasang wajah tidak tertarik. Audry berjalan menuju ke pintu. Aku memberikan jalan dan bersiap-siap untuk masuk. "Jadi bagaimana menurutmu oleh-olehnya Emran?" Aku menutup pintu dan menyisakan celah sebesar wajahku. "Fahri pasti bakalan senang sekali." Segera ku tutup pintu sebelum Audry memahami maksudku. Tidak lupa kukunci. Benar saja Audry mengamuk. Segera mengetuk-ngetuk pintu dan berceloteh. "Aku memikirkanmu ketika membelinya dan tega sekali kamu berikan ke orang lain Emran!" Kupasang headphone ku dan menyalakan Murotal syeikh Mansour Al-Salimi favoritku. *** Aku terbangun begitu menyadari ponselku bergetar. Rupanya aku tertidur. Belum 2 jam karena Murotal Al-Baqarah yang ku pasang belum selesai. 20 panggilan tak terjawab dari Audry tentu saja. Astaghfirullah... ada 5 panggilan tak terjawab dari Fahri. Ia pasti berusaha masuk ruangan ini dari tadi. "Ada apa sih?" Fahri sibuk menandatangani resep obat. Nampaknya IGD ramai sebelum aku ke sini. "Ada oleh-oleh dari Thailand untukmu di meja." Fahri sempat tersenyum girang ketika mendengar kata oleh-oleh. Kemudian segera menghilang begitu menyadari apa maksudku. "Astaga aku harus berterima kasih pada Audry setelah ini." Fahri memutar bola matanya padaku. Aku terkekeh. "Tidak perlu. Sudah kusampaikan." "Terima kasih banyak Emran." "Sama-sama." "Ayo nanti makan di luar." Aku menaikkan alis mataku sebelah curiga pada Fahri. "Oke baiklah. Sebenarnya ada yang mau ngenalin seseorang padaku malam ini. Ya ga mungkin pergi sendiri." "Masya Allah, antum mau ta'aruf??" segera ku jabat tangannya. Fahri mengendikkan bahunya pertanda tidak terlalu yakin.. "Yeah something like that." *** Fahri terlihat gelisah di mobil. Berkali-kali ia melirik jam di tangannya. "Kenapa?" Akhirnya aku buka suara. "Kita telat." Ia berusaha tetap nyengir. "Sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan laki-laki ketika ta'aruf." Aku menimpali. Muka Fahri semakin suram. "Sepertinya aku salah bawa orang." "Astaga... Siapa yang mandinya lama banget." Aku memutar bola mataku padanya. "Not me." "Informan bilang, ia tidak suka laki-laki yang ga on-time." Aku tertawa. "Haruskah sediakan tisu untuk antum nih?" Fahri meninju bahuku. "Siapa informannya?" "Nanti juga tau." Oh ya? Aku kenal dengan orang itu? Aku tidak menyangka Fahri akan menghubungi Ustad Kareem diam-diam untuk ta'aruf. Kami sampai di café tempat pertemuan. Kulihat Fahri membetulkan kemejanya. "Jangan terlalu gugup lah. Udah terlanjur telat soalnya." Aku mencoba mencairkan kegugupan Fahri. *** Kami memasuki café. Fahri bertanya kepada pelayan café meja tempat pertemuan. Pelayan menunjuk ke arah meja yang sudah di isi oleh dua orang perempuan. Benar saja mereka sudah datang terlebih dahulu. Satu orang tidak memakai jilbab. Dan satu lagi memakai jilbab yang lebar. Sungguh kontras sekali. Dan aku merasa aneh. Kurasa aku akan bertemu dengan ustad. Maksudku ini adalah ta'aruf. Kami berjalan mendekati meja tersebut. Benar saja aku merasakan keganjilan. Aku mengenali sosok yang tidak memakai jilbab itu. Walaupun aku belum melihat wajahnya. Aku kenal dia. Ia adalah Audry. "Fahri..." Aku berbisik. Tapi Fahri sudah terlanjur sampai di meja tersebut dan Audry juga sudah melihat ke arahku. Aku berharap pertemuan tidak terduga yang berkali-kali terjadi ini adalah pertanda jodoh. Siapa sangka aku bertemu Hasna lagi. Hasna sama terkejutnya denganku. Bedanya adalah aku terkejut bertemu dengannya. Sedangkan ia terkejut karena tiba-tiba dua orang laki-laki bergabung di mejanya. Hatiku terasa sakit. Fahri sudah duduk dan membuat kesempatanku untuk kabur menghilang. Aku seharusnya kabur sejak tadi. Kemudian aku tinggal menunggu hitungan detik Audry memulai tingkahnya yang memuakkan itu. "Emran, Aku ga tau kalo kamu bakalan datang juga." Ujarnya dengan girang yang dibuat-buat. Aku bahkan belum selesai menghitung detik ke sepuluh. Aku curiga Audry bersekongkol dengan Fahri untuk mengajakku juga. Tapi Fahri bukan seperti itu. Ia juga tidak memaksaku. Aku saja yang terlanjur bahagia mendengar dia akan ta'aruf. Audry mencoba untuk tetap tersenyum setelah aku mengabaikan sapaannya. Aku benci sekali menerima kenyataan Audry mengenal Hasna dan sekarang berusaha menjodohkannya dengan temanku sendiri. "Fahri... ini Hasna." Tanpa basa-basi Audry memulai serangannya. Aku tidak mengerti kenapa jantungku yang berdebar kencang. Fahri menangkupkan tangannya di depan dadanya. "Fahri." Ia mengeluarkan senyum iklan pasta giginya. "Maaf tadi terlambat." Tambahnya. Perutku terasa mual. "Kalo yang ini Emran." Audry menunjukku tapi ia memberikan senyuman penuh arti pada Hasna. Aku berharap aku tidak mengerti arti senyuman Audry. Itu tergambar terlalu jelas. Entah mengapa aku tidak ingin Audry mengetahui kenyataan bahwa aku mengenal Hasna meskipun tidak begitu baik. 30 detik hening. "Apa ini Odi?" Aku baru sadar—selain Hasna memanggil Audry sebagai 'Odi' pertanda ia sangat dekat dengan Audry—Hasna mengepalkan tangannya. Hasna tidak nyaman. Ia juga berusaha mengatur napasnya. Maksudku ia tidak asma. Tapi sedang menahan emosinya. Audry kehilangan senyumnya. "Odi mengatur pertemuan ini agar Hasna bisa berta..ta'aruf dengan Fahri." Aku tau Audry sedang bikin masalah. Aku memalingkan mukaku dan memilih memperhatikan lantai saja. "Odi... Hasna tidak suka." "Tapi waktu itu kan Odi udah bilang mau kenalin temen sama Hasna." "Hasna tidak pernah meminta dan menyatakan kesediaan Odi." Aku bahkan tidak ingin melihat reaksi Fahri. "Odi... Hasna harap Odi tidak menyalah artikan tentang ta'aruf. Bukan berarti kita akan bertemu seperti ini." "Tapi kan ga ketemuan berdua aja Hasna." "Apa bedanya Odi? Ada dua laki-laki dan dua perempuan yang semuanya masih lajang. Bukankan bedanya hanya dalam jumlah orangnya saja? Tidak mengubah apapun. Kondisinya tetap berikhtilat." Aku tidak yakin Audry mengerti apa itu 'ikhtilat' tapi kata-kata Hasna benar-benar menusukku.  Belum 24 jam yang lalu ia marah padaku perkara hal berdua-dua an.  Sekarang aku terlibat perkara yang sama. Setelah ini ia pasti mencoretku dari daftar orang-orang yang bisa berurusan dengannya.  Bagaimana nanti aku akan menjelaskan bahwa aku tidak pernah berpacaran dan tidak akan berpacaran-- kecuali setelah menikah-- sedangkan Audry menggodaku di depan hidungnya.  "Hasna permisi. Assalamu'alaikum warahmatullahi wa barakatuh." *** Aku menyilangkan tanganku menunggu seseorang memecah keheningan setelah Hasna meninggalkan kami. "Aku ga nyangka Ri kalo Hasna bakalan marah. Fahri mencoba tersenyum. "Ya mau gimana lagi. Mungkin emang kita yang salah." "Hasna aja yang terlalu idealis. Ya kan Emran. Kita kan gak berdua-duaan" Gerutu Audry. "Dia ga salah. Yang Hasna katakan cukup jelas. Lagian antum sih Ri, ta'arufan pake perantara Audry. Emang antum udah kehabisan ustadz buat dimintai tolong mau ta'aruf." "Apaan sih Emran, Odi kan Cuma mau bantu." Aku segera berdiri. "ayo pulang, atau mungkin antum mau pulang sama dia?" Aku berjalan tanpa menunggu jawaban dari Fahri. Kutemukan kenyataan bahwa aku merasa kesal. Tidak hanya pada kenyataan Audry mencoba menjodohkan Hasna dengan Fahri—diam-diam aku bersyukur karena acara ini gagal. Tapi juga karena kekacauan yang terjadi disetiap pertemuanku dengan Hasna. Harapan pertemuan tidak terduga yang berkali-kali terjadi ini adalah pertanda jodoh rasanya begitu tipis. Ketika kekacauan itu tidak kuperbuat, maka orang lain yang melakukannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN