"Hai manusia sesungguhnya kami telah menciptakan kalian dari seorang pria dan seorang wanita, lalu menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal (li-ta'arofu) ..." (QS. al-Hujurat: 13).
Akulah yang ingin mengenalmu, hanya saja ia yang mendapat kesempatan lebih dulu. Kali pertama aku ingin kabur dari pertemuan denganmu.
***
Audry mencegatku pagi-pagi sekali. Kalau dia bukan Audry yang selama ini ku kenal, maka aku akan dengan senang hati meluangkan waktu pagi ini dan mulai melakukan wawancara tentang bagaimana-kamu-bisa-kenal-dengan-Hasna. Andai saja dia bukan Audry yang membuat orang satu rumah sakit menganggap aku adalah pacarnya.
"Apalagi Audry?" tanyaku tanpa menghentikan langkah. Aku tidak ingin memberikan kesempatan bagi Audry berpikiran ia bisa bicara seenaknya saja padaku karena aku bukan pacarnya.
"Odi mau bicara tentang yang semalam."
"Bukankah sudah cukup jelas. Kalau saja aku tau lebih awal, aku tidak ingin terlibat sama sekali."
"Tapi Hasna marah." Rengeknya.
"Tentu saja ia marah, kamu berharap kayak apa? Dia akan senang dan kasih penghargaan gitu?" Aku mempercepat jalanku.
"Tunggu Emran." Ia menarik jasku. Aku segera menepis tangannya.
"Audry! Aku harus segera ke IGD. Ini pergantian shift, pergilah ke tempatmu." Aku menahan diri untuk tidak membentaknya.
"Tapi jelasin dulu tentang ta'aruf."
"Untuk apa? Kamu bukan tipe yang akan melakukan ta'ruf."
"Odi mau minta maaf sama Hasna."
"Tinggal minta maaf saja. Tidak ada hubungannya dengan pengetahuan tentang ta'aruf."
"Pliss..." Audry memohon.
Tiba-tiba saja aku tertarik. Tidak ada salahnya menjelaskan pada Audry. Mungkin nanti aku juga bisa mendapatkan informasi bagaimana Audry bisa kenal dengan Hasna.
"Tidak sekarang. Aku harus segera ke IGD."
Audry tersenyum sumringah.
"Nanti istirahat ku bawakan makanan ke ruangan Emran ya." Teriak Audry karena jarakku sudah jauh.
Bukan Audry namanya jika tidak memanfaatkan kesempatan ini untuk membuat orang-orang semakin yakin bahwa ia adalah pacarku. Astaghfirullah.
***
"Assalamu'alaikum Emran." Audry masuk ke ruanganku menenteng kotak yang sepertinya berisi makanan.
"Wa'alaikumussalam." Jawabku dengan nada malas. "Ada hal?"
"Bukannya Emran mau jelasin tentang ta'aruf."
Aku segera menyimpan pekerjaanku dan berjalan keluar ruangan.
"Emran mau kemana?"
"Kita ga akan ngobrol di sini."
"Kenapa?"
"Kenapa? Karena kita bukan mahram Audry."
"Kalo gitu makan siang dulu deh." Audry mengeluarkan makanan dari kotak yang dibawanya.
"Aku puasa." Jawabku singkat.
"Kenapa kamu ga bilang? Aku kan udah capek-capek siapin ini dari tadi."
"Puasa atau tidak, aku ga perlu bilang sama kamu."
Audry cemberut.
"Audry, aku ga punya waktu banyak, kalau masih mau bahas tentang itu, sekarang atau tidak sama sekali." Ujarku tegas.
"Tapi makanan ini gimana?"
"Kamu yang makan."
"Tapi ini kan kebanyakan. Lagi diet"
"Audry, rumah sakit ini sangat luas dan kurasa banyak orang yang sedang lapar di RS ini. Kalau kamu mencoba berbaik hati, kemungkinan makanan itu akan menjadi mubazir sangat kecil."
Audry membereskan lagi kotak makanan yang sudah setengah dikeluarkannya. Ia menghentak-hentakkan kakinya berjalan keluar dari ruangan.
"Kita bahas ini di kantin RS saja, sekalian nanti aku langsung jaga."
"Kenapa di kantin, kan rame banyak orang." Gerutu Audry.
Aku diam tidak menjawab karena semakin ku jawab, Audry semakin mencoba menawar-nawarku.
Kami sampai di kantin. Audry memesan minuman tapi tidak meminumnya sama sekali.
"Mau bahas apa?" Aku mengatur temat dudukku agar tidak terlalu berhadap-hadapan dengan Audry. Sepertinya Audry sudah lelah mencoba untuk menyamakan posisinya denganku. Ia akhirnya pasrah.
"Jadi ta'aruf itu gimana?" Tanyanya masih dengan wajah kesal.
"ta'aruf? Ta'aruf itu perkenalan." Jawabku singkat.
"Iya, Odi juga tau itu perkenalan. Tapi kenapa Hasna sampai marah sama Odi semalam."
"Audry, jangan tanyakan tentang Hasna yang marah padaku. Ia mengatakannya cukup jelas."
"Ya tetep aja ga jelas. Hasna bilang ta'aruf itu berarti kenalan yang ga pake pacaran. Ga berdua-duaan. Tapi kan Hasna-nya tetep marah."
Aku menarik napas panjang berusaha meredam ketidaksabaranku terhadap pikiran singkat Audry.
"Kamu ga paham. Hasna bilang ia tidak pernah menyatakan 'setuju' dengan ta'aruf yang mungkin kamu tawarkan sebelumnya." Jawabku begitu lancar seolah aku tau persis apa yang Hasna pikirkan. Sejujurnya aku bahagia mendengar pernyataan Hasna yang itu. Aku menyembunyikan senyumku.
"Jadi ga boleh kalau mau jodoh-jodohin gitu aja?"
"Ya engga lah. Harus dengan persetujuan masing-masing pihak. Emangnya ini zaman Siti Nurbaya."
"Tapi Hasna juga marah, padahal kan kita di sana berempat."
"Kamu ga dengar dia bilang apa emangnya."
"Ga paham sih lebih tepatnya."
Aku menarik napas panjang lagi mencoba menghirup kesabaran yang berterbangan bersama oksigen.
"Hasna tidak ingin berikhtilat. Artinya laki-laki dan perempuan yang bukan mahram bercampur baur. Kita berempat masih sama-sama lajang dan bukan mahram. Walaupun berempat orang tetap saja dapat menimbulkan fitnah. Aku mau ikut karena ku pikir Fahri akan melakukan perantara melalui seorang ustadz."
"Jadi kalau ta'aruf harus melalui ustadz?"
"Ya tergantung, kalau kamu mau pakai perantara atau mungkin mau langsung ke orang tuanya."
Aku yakin baru saja melihat senyum tipis di wajah Audry. Tapi kemudian kuabaikan.
"Gimana itu caranya."
"Ya tinggal dateng ke orang tuanya terus menyatakan keinginan menikah dengan anaknya."
"itu laki-laki yang datengin." Semangat Audry tiba-tiba meningkat.
"Ya tergantung."
"Tergantung gimana?"
"Ya tegantung keinginan menikahi itu muncul dari siapa dulu. Kalau datangnya dari laki-laki ya tinggal datengin bapaknya si perempuan."
"Kalau misalnya cewek yang mau sama cowok itu?
"Ya si perempuan tinggal bilanglah keinginannya. Tapi pake perantara."
"ooo..." Gumam Audry. Senyum di wajahnya semakin jelas. Aku tidak ingin menebak apa yang ada dipikirannya. Hanya berdoa semoga itu tidak menyulitkan aku nantinya.
Aku berpikir keras bagaimana mengorek informasi tentang Hasna dari Audry.
"Jadi gimana bisa tiba-tiba mau jodohin Fahri sama Hasna? Emang dia siapanya kamu?" Aku berhati-hati agar tidak terlihat terlalu focus Hasna dan Audry tidak berpikir bahwa aku kenal dengan Hasna.
"Rumah Odi satu komplek sama Hasna. Jadi dari kecil udah satu sekolahan. Cuma kuliahnya aja yang beda."
"ooo."
"Jadi waktu itu kami bicara tentang nikah-nikah gitu. Terus aku bilang aku punya temen yang baik di RS. Emang sih Hasna nolak. Tapi waktu itu Odi pikir Hasna nolak karena malu aja. Ga nyangka ampe marah gitu."
Hmmm sudah ada keinginan menikah rupanya. Tiba-tiba hatiku secerah musim semi.
Aku tidak ingin mengetahui lebih dalam tentang Hasna dari Audry. Selain karena ia nantinya akan curiga, informasi dari Audry tidak bisa ku jadikan data yang sahih nantinya meskipun ia kelihatannya cukup dekat dengan Hasna.
Aku melihat Fahri lewat di depan kantin. Sepertinya ia akan ke IGD.
"Udah, aku mau ke IGD."
Aku beranjak tanpa menunggu persetujuan Audry. Sepertinya ia terlalu sibuk memikirkan sesuatu.