Alasan yang syar'i

691 Kata
Semua orang mengenalnya. Kemana saja aku selama ini? Aku menepuk punggung Fahri. Seperti kata Doni, ia sedang mencariku. "Ada apa? Bukannya antum harusnya di rumah?" "Gua mau bicara sebentar bisa?" "Sepertinya ga bisa Ri, ini baru mau ganti shift." "Kalo gitu gua tunggu lo di ruangan aja ya. Ntar pas istirahat aja." "Ya terserah antum sih." Fahri berlalu begitu saja. Wajahnya suram. Sepertinya kejadian semalam sangat mempengaruhi emosinya. Aku berusaha konsentrasi untuk tidak terlalu memikirkan apa yang akan dibicarakan Fahri. Sebenarnya aku juga penasaran tentang apakah Fahri sebenarnya sudah kenal Hasna dari awal. Aku melihat Fahri sedang mengerjakan sesuatu dengan komputernya. Melihatku masuk, ia segera menyimpan pekerjaannya. "Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumussalam." Jawab Fahri. Berbeda dengan tadi pagi yang cemberut. Fahri sudah tersenyum walaupun sedikit. Kami menghabiskan makanan dalam diam. "Gua semalaman memikirkan apa yang lo bilang." "Apa emangnya?" Aku tidak yakin bagian mana yang dimaksud oleh Fahri. "Gua salah karena minta bantuan sama Audry buat ta'arufan sama Hasna." Aku menghela napas begitu nama Hasna disebut Fahri. Aku takut apabila nanti Fahri meminta pendapatku tentang Hasna. Takut tidak bisa menyembunyikan ketertarikanku pada Hasna. "Terus antum mau gimana?" "Gua akan meminang Hasna dengan cara yang benar." Deklarasi Fahri itu rasanya menyengat ke ulu hatiku. Aku tidak sanggup mengucapkan apapun pada Fahri. Apa aku cemburu? Entahlah, aku masih pada tahap penasaran,  sedangkan Fahri sudah mantap ingin bersamanya. Hatiku sakit? Sepertinya iya. Sedikit. "Gimana menurut lo?" Pertanyaan yang paling tidak kuinginkan akhirnya keluar dari mulut Fahri. Ku kuatkan hatiku agar bibir ini tersenyum. "Kalau antum jatuh cinta. Tidak ada obat yang lebih baik selain menikah." Wajah Fahri sumringah setelah mendapat dukungan dariku. "Lo bakalan bantu gua kan Ran?" "Ana belum pantas untuk membantu antum. Coba minta sama Ustadz Kareem." Jawabku lesu. "Kenapa sama Ustadz Kareem segala?" "Antum kan mau meng-khitbah Hasna. Cobalah berkonsultasi sama beliau. Beliau orang yang berilmu. Mungkin nanti beliau juga bakalan kasih antum nasehat gimana bagusnya." "Oke, nanti gua temui ustadz Kareem." Kami terdiam cukup lama. Aku tidak berminat sama sekali memecah keheningan. Sungguh tidak menyenangkan memberikan nasehat kepada orang lain yang nantinya akan menghalangi kesempatan kepada diri sendiri. "Lo tau gak Ran. Gua kenal Hasna udah lama banget." Rupanya Fahri belum selesai membuatku merasakan perasaan tidak nyaman yang sepihak ini. Baiklah. Semua orang mengenal Hasna. Kemana saja aku selama ini? Bahkan Audry yang terlihat seperti orang yang paling tidak mungkin ternyata mengenal Hasna. "Gua ketemu Hasna waktu ke panti jompo pas kita semester 6." Tanpa kuminta Fahri melanjutkan ceritanya. Sekali lagi. Ternyata aku datang ke panti jompo yang salah waktu itu. "Hasna waktu itu lagi Praktek Lapangan di sana. Sayangnya kita cuma sehari di sana." "Terus gimana?" Aku mencoba sebiasa mungkin. "Ya interaksi kita biasa-biasa aja waktu itu. Gua cuma kenal sekedar nama sama jurusan aja. Gua ga nyangka bakalan bisa liat dia di insta story-nya Audry." "Masih inget aja. Kan udah lama itu ke panti jompo." Fahri mengulum senyumnya. "Itu namanya kesan bro... Dia ga menonjol waktu itu. Tapi berkesan." Aku menaikkan alisku penasaran. "Kesan gimana?" "Dia ga mau salaman sama sekali padahal tangan gua udah ulurin tangan." Fahri tersenyum mengenang masa itu. "maksud gua. Waktu itu gua belum paham yang begituan. Belum ada cewek-cewek yang gua temui yang ga mau salaman sama gua." Aku mencoba tersenyum. Aku ingin sombong pada Fahri bahwa kesan yang ditinggalkannya padaku lebih kuat ketimbang Fahri. Seandainya antum tau Ri. Dia hampir pingsan dan tiba-tiba muntah di sampingku. Setelah ia mengusirku dari balim tirai. Hasna meninggalkan kesan yang syar'i padaku dan Fahri. Ia tidak mau berjabat tangan dengan Fahri. Sedangkan padaku adalah ia tidak membenarkan aku untuk mengintip karena takut aurat temannya akan terlihat—walaupun waktu itu Hasna mengira aku bukan orang yang berkepentingan. Kesan seperti ini sudah cukup untuk dianggap romatis oleh laki-laki yang mencari perempuan yang soleha sebagai tulang rusuknya yang hilang. Contohnya seperti aku, dan sekarang ditambah dengan Fahri. Haruskan aku berkompetisi dengan Fahri? "Kesan yang membuat antum penasaran kan?" Ujarku seolah sedang mengungkapkan isi hatiku sendiri. "Ya betul." Wajah Fahri kembali sumringah. Fahri meminta kontak ustadz Kareem. Ia serius dengan perkataannya. Akan meminang Hasna dengan cara yang benar. Bagaimana denganku? Apakah aku akan berkompetisi dengan Fahri. Entahlah. Aku bahkan belum yakin dengan perasaanku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN