"Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Dan sesungguhnya seseorang hanya mendapatkan apa yang dia niatkan. Maka barang siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju." (HR. Bukhari dan Muslim)
Dua minggu pasca Fahri mendeklarasikan diri akan mengkhitbah Hasna dengan cara yang benar. Dan sudah seminggu ini kulihat perubahan drastis pada diri Fahri. Selama dua tahun aku berbagi ruang kerja dengannya, tidak pernah kulihat ia beribadah serajin ini. Maksudku ia selalu mengerjakan kewajiban sebagai seorang muslim. Namun baru pada taraf kewajiban saja. Dulu ia juga agak ogah-ogahan kalau kubawa ke pengajian rutin setiap minggu di masjid. Sekarang ia bahkan tidak absen sekalipun shalat Dhuha. Kemudian selalu menyempatkan diri untuk shalat berjamaah di masjid.
Fahri serius dengan perkataannya. Batinku.
Aku tidak ingin membahas perubahannya ini dengan Fahri. Karena kalau kubahas nanti Fahri menyangka aku mengolok perubahannya. Aku senang sekali jika ia berhijrah. Walaupun masih karena cinta pada seorang wanita. Dari pada tidak sama sekali.
Aku sengaja berlama-lama keluar dari masjid. Berharap di masjid aku dapat menghilangkan kegundahanku untuk segera menghilangkan pikiranku tentang Hasna. Fahri akan mengkhitbahnya. Aku tidak akan berkompetisi dengan Fahri. Karena pernikahan memang bukanlah sebuah kompetisi.
Janganlah seorang laki-laki melamar di atas lamaran saudaranya, hingga pelamar sebelumnya itu meninggalkan lamarannya atau ia mengizinkannya.
Aku sedang berbaring memejamkan mataku ketika ustadz Kareem menghampiriku.
"Assalamu'alaikum."
Aku terlonjak kaget dan langsung duduk."Wa'alaikumussalam." Aku menyalami tangan Ustadz Kareem.
"Saya mengganggu antum?"
"Tidak ustadz." Aku segera memperbaiki dudukku dengan sopan.
"Antum lagi ada masalah? Tidak biasanya antum berbaring di sini? Biasanya langsung ke RS." Tidak tanggung-tanggung pertanyaan itu rasanya terlalu tepat sasaran seolah ustadz Kareem mampu mendengarkan isi pikiranku.
"Ehehehe... enggak ustadz. Ana lagi meluruskan punggung saja."
"Jangan mikir-mikir terlalu lama, langsung lamar aja. Nanti keduluan sama orang lain." Dua kali Ustadz Kareem berhasil membuatku salah tingkah.
Aku memutar bola mataku. "Apaan sih. Nanti kalau ana sudah ada calon pasti minta tolongnya ke ustadz juga."
"Ya mana tau kan kamu diam-diam udah mau nikah. Masa iya seorang dokter tampan nan soleh ini masih sendiri di usia 27 tahun. Ustadz aja udah sold out umur 22 loh."
"Ana pulang nih ustadz. Dari tadi ngejek terus." Aku pura-pura akan bangkit dan meninggalkan masjid.
"Gitu aja ngambek kek perempuan aja kamu Ran." Ustadz Kareem menahan lenganku.
Aku duduk kembali. Ustadz Kareem terkekeh dan menepuk-nepuk punggungku.
"Ustadz mau nagih janji kamu."
"Janji yang mana nih Tad?" Aku cemas.
"Janji antum yang mau ke Rumah Baca."
Aku menepuk dahiku. "Astaghfirullah, ana lupa Tadz." Padahal janji itu dua tahun yang lalu ku ikrarkan begitu kembali lagi ke kota ini setelah kuliah dan rutin mengikuti pengajian di masjid raya kotaku ini. Ustad Kareem adalah imam sekaligus pengelolanya.
"Kapan mau antum penuhi? Nanti antum kuliah lagi mau ambil spesialis."
"Belum Tadz. Uangnya belum cukup. Mau diprioritaskan buat menikah terlebih dahulu." Aku tersenyum. Mengingat kembali biaya kuliah kedokteran dulu adalah dari beasiswa.
Ustadz Kareem menepuk bahuku. "Nah...kan udah mau nikah aja."
"Belum Tad. Maksud ana itu mau nikah dulu sebelum ambil spesialis."
"Jangan kelamaan deh Ran. Dunia udah tua."
Aku terbahak. Hanya bisa menggeleng mendengar kelakar Ustadz Kareem.
"Jadi kapan antum mau ke Rumah baca?" Ustadz Kareem kembali ke topik inti pembicaraan.
Aku berpikir mengingat-ingat lagi jadwalku yang tidak begitu padat itu.
"Insya Allah hari minggu ana kosong Tadz. Palingan nanti Senin harus masuk pagi lagi."
"Alhamdulillah. Minggu ini kami juga kekurangan orang karena ada yang mau ikut workshop ke Jakarta."
"Nanti ana di sana bantu apa nih Tad?"
"Jangan serius begitu dong. Anggap aja ini wisata hati buat antum."
"Lah, ga boleh gitu dong Tadz. Ana udah denger dikit-dikit gimana di sana. Ga bisa main-main dong Tad."
"Sudah ah. Besok malam Ustadz jelaskan di WA saja. Mau tanya dulu kegiatannya." Ustadz Kareem bangkit meninggalkanku.
"Jangan mendadak banget ya Tad. Nanti ana mempermalukan diri di sana." Ujarku sedikit keras agar bisa didengar Ustadz Kareem sebelum ia menghilang.
Aku segera bangkit dan balik ke RS.
Aku berkali-kali menanyakan bahwa jalan yang kutempuh adalah jalan yang benar menuju desa yang disampaikan oleh Ustadz Kareem. Ustadz Kareem memang sudah mengirimkan lokasinya ke WA ku. Tapi aku belum tenang kalau belum bertanya kepada orang-orang di sekitar sini.
Akhirnya aku memasuki persimpangan terakhir menuju desa yang juga merupakan kampung halaman istri Ustadz Kareem. Sebenarnya tidak terlalu jauh dari jalan lintas utama. Aku baru menyadari bahwa ternyata banyak mobil-mobil pribadi lainnya yang juga memasuki kawasan ini.
Aku dengar bahwa rumah baca itu mendapatkan penghargaan sebagai rumah baca terbaik se Indonesia. Kabarnya rumah baca itu tidak hanya sekedar tempat untuk meningkatkan literasi saja. Tempat itu juga menjadi wisata keluarga yang edukatif.
Aku memasuki kawasan persawahan setelah melalui desa terakhir sebelum desa tempat rumah baca tersebut. Aku dengan mudah menemukan Rumah Baca tersebut. Namanya sederhana saja tapi sudah meneguhkan makna yang sangat tegas. IQRA'. Terpampang dengan neon box yang lumayan tinggi. Rumah Baca itu berdiri di daerah persawahan. Tampilannya sangat berbeda dari yang aku bayangkan. Saung-saung yang berdiri di sawah-sawah dan kemudian dihubungkan dengan jembatan bambu. Bisa ku sebut dengan komplek saung barangkali. Komplek saung yang mencerminkan nuansa pedesaan ini sangat kontras dengan deretan mobil mewah yang di lokasi parkirnya. Maksudku itu bukan mobil milik Ustadz Kareem. Itu adalah mobil milik pengunjung Rumah Baca IQRA'.
Ustadz menyambutku ke gerbang masuk Rumah Baca. Aku terlalu kikuk. Karena panjangnya antrian masuk. Pengunjung sepertinya harus mengisi semacam blangko. Aku tidak tau untuk apa fungsinya. Mungkin formulir pendaftaran atau tujuannya datang ke tempat itu. Untuk lebih mudah makanya aku lebih baik menghubungi Ustadz Kareem saja.
"Assalamu'alaikum." Ustadz Kareem memelukku.
"Wa'alaikumussalam." Aku segera mencium tangan Ustad Kareem.
"Gimana perjalanan antum? Berangkat pukul berapa?"
"Alhamdulillah lancar. Habis shalat Subuh langsung berangkat Tad." Ustadz Kareem menggandengku masuk melewati jalan yang berbeda dengan gerbang masuk tempat antrian pengunjung. "Masya Allah Tad. Ana ga menyangka. Ini bagus sekali. Ana jadi minder mau bantuin di sini."
"Kenapa antum pakai minder segala. Di sini kita itu hanya berbagi ilmu saja."
"Coba liat mobil mewah yang parkir di sana Tad." Aku menunjuk tempat parkiran.
"Memangnya kenapa? Itu Cuma mobil. Tidak menggambarkan isi otak penggunanya kok." Ustad Kareem.
"Tapi isi kantongnya tergambar dong Tad."
"Isi kantong tidak menjamin seseorang akan menjadi bahagia."
Aku membenarkan kata Ustadz Kareem. "Jadi ana nanti mau ngapain sama anak-anak orang kaya itu Tad?"
Kami memasuki salah satu saung dan duduk lesehan.
"Yang itu bukan tugas antum." Ustad Kareem mengintruksikan sesuatu pada seseorang yang berseragam.
"Dulu ini memang rumah baca biasa. Tapi sekarang Alhamdulillah sudah menjelma menjadi wisata edukatif seperti cita-cita istri saya. Di sini antum bisa ngafe, baca, dan menyembuhkan diri dari dunia yang melelahkan."
Aku mulai memindai sekeling Rumah Baca IQRA' ini. Benar saja. Begitu banyak saung-saung kecil di atas sawah. Di dalamnya terdapat meja dan terdapat rak buku ukuran kecil di setiap saung. Pastilah di rancang agar bisa membaca sambil bersantai menikmati makanan. Kemudian ada saung utama yang luas berdiri di atas pulau kecil yang ada di kelilingi sawah. Saung itu jauh lebih luas dari saung-saung kecil lainnya. Dibuat menjadi tingkat 2. Bukan bangunan permanen karena di buat dengan kayu dan bambu. Dindingnya juga setengah saja. Tentu saja agar dapat merasakan angina sepoi-sepoi. Tentu saja tidak lupa berbagai tanaman menghiasi keseluruhan Rumah Baca ini.
"Nah... yang bermobil mewah itu biasanya mereka mau healing ke sini. Kita ada paket-paket training yang bisa diikuti. Misalnya menanam padi, gardener, panen buah, outbond dan banyak yang lainnya."
Aku hanya bisa melongo.
"Kalau sudah sehebat ini kenapa Ustadz pengen ana jadi volunteer di sini." Aku merasa minder.
"Kalau yang training mah antum ga usah urus. Jadi kita di sini ada anak binaan. Mereka berasal dari anak-anak desa ini. Setiap minggu kita melaksanakan kegiatan untuk berbagi ilmu dengan mereka. Tentu saja untuk anak-anak masyarakat sini itu dilaksanakan secara gratis. Makanya ana minta antum jadi volunteer di sini sekali-kali penyegaran ilmu buat anak-anak. Di sini juga banyak volunteer yang datang sekali atau dua kali seminggu. Semoga biar bisa nambahin tabungan ilmu bermanfaat yang antum punya"
Aku hanya bisa ber-ooo karena masih takjub dengan tempat ini.
Aku dan anak binaan yang laki-laki menaiki saung utama bagian atas. Anak binaan yang perempuan harus menunggu mentornya yang masih dalam perjalanan.
Kami memulai kegiatan terlebih dahulu. Setelah berdoa dan melantunkan ayat suci Al-Qur'an, aku mulai dengan memberikan pengararahan tentang kegiatan bersamaku. pertama anak ini ku suruh untuk membuat gambar tentang cita-cita yang ingin digapainya. Ustadz Kareem juga berpesan semalam agar temanya itu tentang rencana masa depan. Maka ku turuti saja.
Anak-anak dibiarkan bebas menggambarkan cita-citanya. Ada yang memilih diwarnai dengan pensil warna, ada yang dengan crayon, dan ada yang menggunakan cat air.
Anak binaan yang perempuan masih bermain-main di sekitaran saung utama. Ada yang membaca, ada yang menyiram tanaman di sekitar saung, dan ada pula yang mencobakan permainan tradisional yang tersedia.
Aku masih takjub dengan pemandangan ini. Di bagian lain area persawahan ini tepatnya sekitar 100 meter dari seberang jalan, berdiri Rumah Tahfizh. Kata Ustadz Kareem rumah tahfizh itu baru berdiri 2 tahunan. Di sana ada sekitar 100 anak penduduk desa dan sekitarnya yang mengikuti program menghafal Al-Qur'an. Aku merasa iri pada Ustadz Kareem.
Aku mendengar anak binaan perempuan ribut di bawah berlari-lari ke arah gerbang. Sepertinya mentor yang mereka nanti-nanti sudah datang. Aku melihat sesosok perempuan berjalan dari kejauhan.
Mungkin namti antum bisa kenalan dengan salah satu volunteer akhwat di sini. Aku teringat Ustadz Kareem menggodaku.
Aku tersenyum sendiri mengingat hal itu. Mungkinkah aku terlihat sangat jones di hadapan Ustadz Kareem.
Sosok yang dikejar anak binaan perempuan sudah mendekat. Detak jantungku tiba-tiba terasa lebih cepat begitu mengenali siapa yang datang. Aku sampai lupa menundukkan pandangan. Ia juga melihatku ke arahku. Kemudian ia tundukkan pandangannya saat aku terus menatap nanar padanya.
Kenapa ia ke sini??
Pertemuan denganmu selalu terjadi sesaat sebelum aku sembuh dari gundahku tentangmu.
Hasna juga datang ke Rumah Baca IQRA'. Apa yang kamu lakukan di sini Hasna?