Makasih Emran

1757 Kata
Pertemuan denganmu selalu terjadi sesaat sebelum aku sembuh dari gundahku tentangmu. Hasna juga datang ke Rumah Baca IQRA'. Apa yang kamu lakukan di sini Hasna? Hasna juga melihat ke arahku. Terlihat ia juga terkejut melihatku di sini. Dengan cepat ia menundukkan pandangannya. Anak binaan perempuan berebut untuk bersalaman dengannya. Aku bertanya-tanya bagaimana Hasna bisa sampai ke sini. Atau kembali lagi pada kenyataan semua orang di sekitarku mengenal Hasna kecuali diriku. Hasna mengajak anak binaan memasuki saung dilantai bawah saung yang kutempati. Ku dengar ia mulai membuka pertemuan dengan anak-anak perempuan. Kemudian yang ku tahu adalah aku mengerahkan tenaga ekstra untuk berusaha berkonsentrasi dengan anak-anak yang sedang ku hadapi. Aku berhasil menyelesaikan pertemuan dengan anak binaan sembari berkali-kali melawan keinginan untuk mengekori apa saja kegiatan Hasna. Aku tersenyum sendiri menyadari bahwa aku hafal apa saja yang Hasna lakukan di bawah sana sejak tadi. Mulai dari mengaduk-ngaduk tanah dan pupuk sampai diskusi tentang tanaman yang sudah mereka tanam bersama anak binaannya. Sekarang ku lihat Hasna membimbing anak-anaknya untuk menyusun tanaman yang sudah mereka tanan ke rak yang sudah disediakan untuk tanaman baru. Akhirnya Hasna mengakhiri kegiatan dengan anak binaannya sehingga aku bisa memperhatikan hal lain. Hal-hal yang kulewati adalah bagaimana anak-anak orang kaya itu belajar untuk menanam padi, menangkap ikan dan memasaknya. Peserta yang menanam padi terlihat sudah mengakhiri kegiatannya. Ia secara bersama-sama dituntun oleh trainer untuk membersihkan diri ke pancuran dengan aliran air yang besar. Sedangkan peserta yang menangkap ikan sudah memasak ikan menjadi berbagai bentuk makanan. Aku merebahkan tubuhku di saung. Merasakan semilir angin yang mengehembus membuatku dengan mudah terlelap.  Aku merasa nyaman di sini. Terutama dengan fakta Hasna juga berada di sini. Seorang anak yang ku ketahui bernama Jamal membangunkanku. "Assalamu'alaikum Bang. Ayo kita makan siang dulu." "Wa'alaikumussalam." Aku segera duduk. Kuperhatikan area saung utama sudah kosong. Pancuran sudah kosong. Dapur yang tadinya ditempati peserta yang menagkap ikan juga sudah kosong. Ku edarkan pandangan. Rupanya mereka sudah menempati saung-saung kecil dengan menikmati makanan yang sudah dimasak oleh peserta penangkap ikan. Dimana anak-anak yang tadi bersamaku? Dimana Hasna? Apa ia sudah pulang? Secepat itukah? Aku belum punya momen dengannya. Melihat kebingunganku, Jamal menungguku turun. Ia memanduku ke tempat untuk makan siang. Ada dua meja panjang yang jaraknya lumayan jauh. Meja itu beratapkan daun kelapa. Di sana sudah terlihat anak laki-laki dan perempuan sudah duduk terpisah. Ustadz Kareem juga sudah di sana. Ia melambai padaku. Kuperhatikan meja bagian perempuan. Tidak ada Hasna di sana karena kulihat dua perempuan asing yang duduk bersama anak-anak perempuan. Apa dia sudah pulang? Bisa kurasakan hatiku agak kecewa. Aku mengambil tempat duduk di samping Ustad Kareem. Ia menepuk-nepuk punggungku. Senyum itu sudah hinggap di wajahnya sejak pagi aku bertemu dengannya. "Kalau cuaca bagus, biasanya anak-anak binaan makan di sini. Tapi kalau hujan biasanya kita pakai saung utama itu." Aku memperhatikan atap yang menaungi meja panjang ini. Sepertinya atap itu hanya berfungsi untuk melindungi dari panas saja. Tapi sepertinya tidak bisa melindungi dari hujan. "Ana masih belum percaya ini Tad. Ini benar-benar hebat sekali." Ustadz kareem hanya terkekeh. "Terus dari mana datangnya makanan ini Tad?" aku terkagum-kagum melihat makanan yang memang sudah terhampar sebelum aku duduk. "Ini anak-anak yang bawa. Mereka bawa beras yang masih mentah. Tapi bawa lauk yang sudah jadi. Berasnya kita masak di sini." Lauk yang terhidang memang tidak punya keseragaman. Tidak mewah, tapi aura rasa yang enak sudah terpancar dari keserhanaannya." "Masya Allah." Aku menelan ludahku pertanda tidak sabar untuk memulai makan siang. "Sabar." Ustadz Kareem terkekeh melihatku. "Kita berdoa dulu." Ustadz Kareem memimpin anak-anak berdoa bersama-sama. Kemudian kami menikmati makan siang sampai habis. Anak-anak sedang membereskan peralatan makan siang sedangkan aku melanjutkan untuk bercakap-cakap dengan Ustadz Kareem. "Gimana Emran, apa antum punya minat untuk jadi relawan secara rutin di sini?" Ustad kareem membuka pembicaraan. Aku menahan godaan untuk bertanya-tanya tentang Hasna kepada ustadz Kareem. Biarlah ustad Kareem tidak mengetahui perasaanku terhadap Hasna. Ustadz Kareem menepuk bahuku. "Antum bukannya menjawab malah melamun." Aku terkekeh. "Gimana ya Tad. Ana sekarang di IGD jadi jadwal liburnya itu ga tetap sih Tad. Apalagi kegiatan untuk anak-anak kan tiap hari Ahad." Ini adalah tawaran paling menyenangkan menurutku kalau saja Fahri tidak akan mengkhitbah Hasna. Ustadz mengangguk. "Tapi nanti ada pertemuan selanjutnya ya di sini?" "Insya Allah Tad. Kalau libur di hari Ahad, Ana Insya Allah ke sini kalau tidak ada perihal lain." Aku menangkap sesosok perempuan terlihat keluar dari kantor. Itu Hasna. Ia sudah berganti pakaian dengan pakaian olahraga. Ia memabawa pengeras suara dan memberikan pengumuman kepada peserta training untuk berkumpul di tempatnya. "Itu mau ngapain sekarang Tad." Tanyaku berhati-hati. Jawaban yang ingin kudapatkan dari ustadz sebenarnya adalah tentang kehadiran Hasna di sini. "Sepertinya mau outbond. Hasna yang pandu." "Bukannya ia tadi volunteer anak perempuan Tad?" "Hasna itu sebenarnya salah satu founder IQRA' ini. Dia adik tingkat istri saya di kampus dulu. Dulu ada 4 orang yang memulai rumah baca ini. Dua orang sudah tidak di sini lagi karena ikut suaminya. Yang satu ke luar negeri. Yang satu lagi di Bali. Tinggal Hasna dan istri saya pendiri asli yang tersisa. Selain mengajar, Hasna juga rutin ke sini sekali atau dua ali seminggu." "Tapi kan sekarang tenaganya jauh lebih banyak kan Tad." "Alhamdulillah sekarang tenaganya sudah banyak. Istri saya dan Hasna perannya lebih ke pembinaan untuk volunteer dan trainernya. Tapi kadang-kadang bantuin juga kalau lagi kekuarangan." Dua kali aku merasa bersalah pada Hasna. Pasti ia malu sekali dengan kejadian di RS waktu itu. Selesai melaksanakan shalat Isya aku diantar ke tempat parkir mobilku. Terdengar suara perempuan yang sedikit berdebat. Aku mengikuti Ustadz Kareem yang mencari sumber suara itu. "Assalamu'alaikum." Sapa Ustadz Kareem pada istrinya dan Hasna yang sedang berdebat. "Wa'alaikumussalam." Jawab dua perempuan itu. Hasna melihat ke arah kami dan langsung mengalihkan pandangannya ke sembarang arah agar tidak melihatku. "Hasna, kenalkan ini dokter Emran. Beliau berhasil ku ajak untuk jadi sukarelawan setelah 2 berjanji." Aku mencoba menahan agar tidak tersenyum terlalu sumringah. Hasna tersenyum dan kami sama-sama menangkupkan tangan di depan d**a. Aku bertingkah agar terlihat kami belum kenal sama sekali. Ternyata Hasna memilih bersikap yang sama. Pura-pura tidak mengenal sama sekali. Aku kecewa. "Ada apa ini mi?" Tanya Ustadz Kareem pada istrinya. "Ini Bi, Hasna bersikeras mau pulang malam-malam." "Kenapa tidak menginap di sini saja Na?" Tanya Ustadz Kareem. "Ustadz gimana masa lupa. Kan biasanya Hasna juga ga pernah nginap. Besok masuk pagi soalnya." Jawab Hasna ramah. Ia merasakan kehadiranku tapi sepertinya enggan untuk melihat ke arahku. "Tapi kamu biasanya kan bawa mobil Na." Uni Ratih sepertinya benar-benar tidak rela untuk melepas Hasna sendirian. "Mobil sedang di pakai Ayah kak, beliau masih di kampung ada kemalangan." "Kemalaman Na kalau mau naik angkutan umum." "Tidak apa-apa kak, itu ojek nya sudah lama menunggu." Hasna langsung pergi sebelum Uni Ratih menahannya. Hal itu membuatku semakin yakin akan ketegasan Hasna. Kami memandangi Hasna yang sudah pergi dengan ojek menuju halte bus. "Emran pulang juga." "Iya ni." "Pulang pakai apa?" "Ini ada bawa mobil un." Uni Ratih memandang cemas ke arah jalan. Ojek yang ditumpangi Hasna juga tidak terlihat. "Tidak mungkin Hasna dan Emran akan pulang naik mobil yang sama walaupun kalian sebenarnya searah." Gumam Uni ratih, aku dan Ustad Kareem masih bisa mendengarnya. Bukan berarti aku tidak mau memberikan tumpangan pada Hasna. Hanya saja itu tidak boleh. Lagi pula semua juga sudah tau Hasna tidak akap pernah berdua-dua an dengan laki-laki yang bukan muhrim. Aku saja yang baru bertemu empat kali juga tau. Apalagi Uni Ratih dan ustadz Kareem yang sudah kenal lama. Aku berpamitan kepada Uni ratih dan Ustadz Kareem. Aku segera berangkat sebelum ustadz Kareem menerorku untuk datang ke sini lagi. Aku sampai di persimpangan jalan utama menuju kotaku dan apa yang kulihat adalah Hasna masih duduk di halte bus sendirian menunggu angkutan umum. Ku mengurungkan niatku untuk melanjutkan perjalanan. Ku putuskan untuk menunggu gadis keras kepala itu sampai ia mendapatkan angkutan. Aku menepikan mobilku dalam radius pengawasan. Hasna sempat memandangi mobilku lama dan kemudian mengalihkan pandangannya lagi. Aku meyakinkan diri bahwa Hasna tidak akan menyadari bahwa otang yang berada di dalam mobil putih yang sedari tadi menepi dengan alasan yang tidak jelas itu adalah Emran, orang yang berada dalam daftar paling atas miliknya untuk kategori tidak ingin punya urusan apapun. Setengah jam aku menunggu. Tidak satupun angkutan umum lewat. Tentu saja. Sekarang sudah hampir pukul sembilan malam. Tidakkah Hasna menyadari bahwa supir angkutan tidak bekerja 24 jam. Aku menghubungi nomor Ustadz Kareem untuk mendapatkan solusi terbaik bagi Hasna. Hatiku berbunga begitu Ustadz Kareem bersedia berangkat bersama Uni Ratih menuju kotaku agar Hasna bisa ikut dengan mobilku. Dengan kecepatan seperti Dominic Torreto dalam Film Fast and Furious aku menjemput ustad Kareem dan Uni Ratih kembali ke desa. Uni ratih berhasil membuat Hasna setuju ikut dengan mobilku. Tentu saja kami tidak berdua. Ustadz Kareem dan Uni Ratih juga ikut. Hasna menatapku datar. Sepertinya tatapan itu berarti aku-sudah-curiga-dengan-mobil-ini-dari-awal. Aku pura-pura batuk keluar jendela demi menyembunyikan kegugupanku ditatap seperti itu olehnya. Aku berdoa dalam hati agar Hasna tidak menganggap ini sebagai caraku untuk mendekatinya. Aku benar-benar hanya ingin ia bisa pulang dengan selamat. Bagaimana mungkin aku bisa pulang dengan tenang jika ada seorang perempuan sedang menunggu angkutan umum yang tidak jelas keberadaannya sedangkan mobilku bisa memberikan tumpangan. Uni Ratih dan Hasna tertidur di kursi belakang. Aku merasa bersyukur karena sepanjang perjalanan Ustad Kareem menggoda ku dengan pembicaraan tentang pernikahan. Ia terus menyayangkan aku diumur 27 tahun ini masih belum menunjukkan tanda keinginan untuk menikah. Ia juga menyampaikan kultum tentang pernikahan itu adalah separuh iman, kemudian bagaimana mungkin aku seorang dokter (tidak lupa menambahkan kata tampan) ini masih merasa nyaman dengan kesendirian. Untunglah Hasna tertidur. Aku malu sekali kalau sampai ia menyaksikan Ustadz Kareem menyinyiri kesendirianku. Hasna terbangun 15 menit sebelum sampai di tujuan. Ustadz Kareem tertidur. Aku menghembuskan napas lega. Ia memainkan ponselnya begitu menyadari hanya kami berdua saja yang terjaga. Ini canggung sekali. Untungnya Uni Ratih terbangun tidak lama kemudian. "Hasna turun dimana? Di rumah?" tanya Uni Ratih begitu menyadari kami hampir sampai. "Di asrama Ni." "Emran kita ke asrama pesantren tempat Hasna ngajar ya." "Oke ni." Jawabku cepat. Uni Ratih tidak menyadari bahwa ia belum menyebutkan nama pesantrennya. Semoga ia tidak curiga dari mana aku mengetahui tempat Hasna mengajar. Aku menepikan mobil di gerbang asrama pesantren Hasna. Hasna mebereskan barang barangnya. "Makasih Ni, Makasih Ustadz." Ia membuka pintu dan segera keluar. Tidakkah ada ucapan terima kasih padaku? Apa ia begitu tidak menyukaiku? Bukankah orang akan mengucapkan terima kasih jika berada di situasi ini? Ada apa denganmu Hasna? Aku akan menginjak pedal gas dengan kuat ketika seseorang mengetuk kaca jendela mobilku. Hasna mensejajarkan kepalanya dengan kaca mobil. "Makasih Emran." Katanya dengan senyuman di bibirnya. Ia tersenyum padaku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN