Segala sesuatu tentangmu selalu menarikku kembali meski aku sudah ingin pergi
Aku merebahkan diri di kasur. Hampir 24 jam yang lalu sejak terakhir kali aku merebahkan diri untuk tidur. Sudah tiga hari IGD dipenuhi oleh pasien. Ya benar, kotaku sedang darurat kabut asap kiriman dari provinsi tetangga. Instansi sekolah sudah meliburkan kegiatan pembelajarannya sejak lima hari yang lalu.
Rumah sakit dipenuhi pasien yang mengalami gangguan pernapasan. Tidak sedikit pula korban kecelakaan lalu lintas karena jarak pandang hanya beberapa meter saja.
Aku menyalakan murotal favoritku. Berharap bisa tidur nyenyak.
Aku terbangun karena suara ponselku. Panggilan dari seseorang. Kulihat itu adalah Audry. Aku sangat sensitif dengan itu. Aku selalu berusaha menghindari untuk mengangkat panggilan dari Audry karena biasanya ia selalu menelponku untuk urusan yang tidak penting. Ku abaikan saja telpon itu. Setelah deringannya berhenti, aku mengecek ponselku. Ada lima panggilan tidak terjawab dari Audry.
Kubuka chat di aplikasi whattapps, ada beberapa chat.
Audry:
Emran, telpon aku sekarang juga!
Aku menelpon Audry. Kalau itu bukan urusan yang darurat, maka aku akan membuat perhitungan dengannya. Audry langsung mengangkat didering pertama.
"Emran, ke rumah sakit sekarang juga."
"Wa'alaikumussalam." Jawabku dingin. "Aku baru tidur satu jam Audry."
"Ini darurat Emran, langsung perintah dari dokter Herman." Audry mengabaikan sindiranku karena ia tidak mengucapkan salam sama sekali.
"Ada apa?"
"Kita harus ke pesantren Hikmah."
Kalau bukan karena pesantren tempat Hasna mengajar disebut, maka aku akan langsung menolak.
Aku mengabaikan Audry yang bersikeras ingin berangkat satu mobil. Begitu ada peluang untuk meninggalkannya aku segera menginjak gas mobilku. Dalam hitungan detik ia langsung menelponku. Kuabaikan saja panggilan itu.
Dokter Herman langsung meminta maaf padaku begitu aku sampai di rumah sakit.
"maaf saya mengganggu tidurmu Emran. Saya tau kamu belum istirahat sejak dua hari yang lalu."
Aku hanya tersenyum.
"Ada 76 anak di pesantren Hikmah yang perlu penanganan segera. Mereka lemas dan susah bernapas. Rumah sakit semuanya penuh. Kita dan pesantren Hikmah punya ikatan kerja sama."
"Tidak dibawa ke sini saja dok?"
"Tidak bisa, terlalu banyak kita tidak bisa menampung sebanyak itu dalam waktu bersamaan. Kamu dan Audry saja yang ke sana. Tim dan peralatan yang dibutuhkan sedang disiapkan."
"Baiklah dok." Aku hanya berbasa basi saja. Kalau sampai usulku diterima, maka hilang pula kesempatanku untuk bertemu dengan Hasna. Sudah dua minggu pasca kepulanganku dari IQRA'. Aku belum ke sana lagi karena kondisi tidak memungkinkan. Lagi pula sepertinya kegiatan di sana juga diberhentikan sementara waktu karena kabut asap ini. Di sana dampak kabut asap lebih parah ketimbang di kotaku.
"Sebenarnya mereka berpesan untuk mengirimkan dokter perempuan, tapi yang bisa hanya Audry. Bisa jadi di sana kamu hanya mendampingin Audry saja." Jelas dokter Herman padaku.
Kalau aku tidak mengenal Hasna melalui cara yang aneh mungkin aku akan tersinggung dengan penjelasan terakhir yang diberikan oleh dokter Herman.
"Tidak masalah dok."
Kami disambut oleh pimpinan perguruan. Setelah mendengarkan penjelasan singkat dari pimpinan aku diantar ke poliklinik sedangkan Audry masuk ke dalam lingkungan asrama. Beberapa anak terlihat menempati tempat tidur. Ada yang tertidur, ada yang menangis.
Seorang perempuan yang belakangan kuketahui adalah perawat yang bertugas di poliklinik ini melaporkan keadaannya padaku. Semua anak yang di poliklinik sudah diperiksa oleh dokter yang juga bekerja di RSUD. Beliau tidak bisa melanjutkan karena menerima panggilan tugas ke RSUD. Ada beberapa bapak-bapak yang sepertinya karyawan di sekolah ini datang berkonsultasi padaku.
Aku selesai memberikan perawatan kepada mereka yang ada di poliklinik. Tiba-tiba aku teringat kepada Aisha. Meski sekolah diliburkan, sepertinya santri tidak diperbolehkan pulang ke rumah.
"Permisi, boleh saya minta tolong?" aku
"Insya Allah, kalau saya mampu." Jawabnya dengan mata terus menatap lantai.
"Saya ingin mengetahui kondisi Aisha kelas sepuluh jurusan IPS." Tanyaku pada seorang perempuan yang dari tadi membaca Al-qur'an di sudut ruangan. Sepertinya ia adalah guru asrama yang ditugaskan untuk menemani anak-anak yang sakit di poliklinik.
Guru asrama itu memindaiku dari atas sampai bawah. Mungkin ia sedang menilaiku seberapa pantas aku menemui seorang anak mengingat begitu banyaknya proses yang harus dilalui ketika mengunjungi santri di sini.
"Tenang saja. Saya ada dalam daftar mahramnya." Tambahku ketika melihat ketidak yakinan dalam tatapan perempuan itu. Tentu saja aku adalah mahram Aisha meskipun tidak didaftarkan dalam daftar orang-orang yang bisa mengunjunginya di sini.
Ia segera mengeluarkan ponselnya dan menelpon seseorang. Aku tidak paham apa yang dibicarakannya karena ia berbicara dengan menggunakan Bahasa Arab.
"Gimana buk?" tanyaku segera begitu ia mengakhiri panggilannya.
"Aisha kondisinya agak lemas, ia sekarang berada di asrama bersama teman-temannya yang butuh perawatan."
Aku menarik napas panjang meredam kekhawatiranku. "Apa dokter Audry sudah memeriksanya?"
Perempuan ini mengetikkan sesuatu di ponselnya. Mungkin menanyakan sesuatu pada temannya.
"Belum dok, karena memang ada banyak anak yang akan diperiksa."
"Bisakah saya sendiri yang memeriksanya?" Aku benar-benar cemas memikirkan Aisha.
Perempuan itu tidak menjawabku. Ia terlihat kebingungan mendengar permintaanku yang sudah diluar kuasanya.
"Saya mohon, saya mahramnya Aisha."
"Bukan karena mahram atau bukannya dok, tapi karena Aisha ada di asrama yang laki-laki tidak boleh masuk ke sana."
"Saya mohon, mungkin ada cara lain agar saya bisa memeriksa Aisha. Kalau menunggu Audry rasanya terlalu lama. Saya sangat tau persis riwayat kesehatan Aisha. Dia keponakan saya."
"Baiklah saya akan coba tanya kepala asrama dulu. Tapi saya tidak bisa menjanjikan apa-apa."
Aku tidak menjawab. Perempuan itu segera men-dial nomor seseorang dan kembali berbicara dengan menggunakan bahasa Arab.
"Gimana?" Tanyaku harap-harap cemas begitu ia menutup telponnya.
"Kepala asrama sedang ada di Malaisya sedang melakukan pengobatan."
"Tidak bisa?" Aku benar-benar kecewa.
"Sedang dibicarakan dengan kepala divisi lain, mungkin sedikit menunggu."
Tiga puluh menit berlalu belum ada kabar sama sekali. Aku selesai memeriksa petugas keamanan yang mengeluh susah bernapas dan jantungnya terasa berdebar-debar.
Belum ada kabar izin untukku agar bisa memeriksa Aisha.
"Assalamu'alaikum." Sesosok perempuan masuk ke dalam poliklinik. Meski ia menggunakan masker, aku bisa mengenalinya. Ia adalah Hasna.
"Wa.. wa'alaikumussalam." Aku tergagap. Tidak mengira Hasna yang akan muncul. Apa ia sakit? Aku tidak berani menanyakannya. Biarlah ia yang mengutarakan kondisinya. Tameng yang ia aktifkan sejak awal membuatku selalu salah tingkah padanya. Atau mungkin lebih sederhananya disebabkan karena perasaanku padanya.
"Saya sudah bicara dengan Audry." Aku tidak menyadari Hasna sudah berdiri di hadapanku."
"Hah?" tanyaku bingung. Sepertinya kabut asap membuat otakku sedikit lemot untuk mencerna apa yang ingin dibicarakan dengan Hasna. Atau sebut saja aku kelewat bahagia karena akhirnya Hasna punya urusan denganku.
"O... maksud saya, dokter tadi menawarkan diri untuk memeriksa Aisha."
Dokter. Ia memanggilku dokter? Betapa merdunya panggilan itu ditelingaku.
"I..iya." Astaga... gagap ini bisa menghancurkanku sebentar lagi.
"Saya sudah bicara dengan Audry. Katanya ia sangat kewalahan dan butuh bantuan dokter."
Rasanya aku ingin mengulang momen setiap kali ia menyebut kata dokter padaku.
"Benarkah?" Tiba-tiba aku tidak keberatan Audry meminta bantuanku asal itu membuat Hasna punya urusan denganku. "kalau begitu sepertinya aku harus membantunya dengan segera." Aku mengeluarkan senyum termanisku. Aku memasang ekspresi Akulah dokternya di sini.
"Untuk sekarang saya hanya bisa memberikan izin dokter memeriksa Aisha saja. Saya sedang membahas ini dengan pimpinan untuk tambahan bantuan dokter perempuan."
"Sepertinya tidak akan berhasil. Tau sendiri kan bencana asap ini benar-benar membuat rumah sakit sibuk sekali." Jelasku sok akrab.
Hasna mengabaikan penjelasanku.
"Kalau begitu dokter ikut dengan saya."
Hasna memberikan pesan kepada akhwat yang tadi kumintai tolong untuk mencari tau tentang kamar Aisha. Ia berpesan untuk menghubunginya jika kondisi darurat di klinik.
Hasna memanduku memasuki asrama. Lagi-lagi ia berjalan dengan kecepatan 'Tidak-Boleh-Ku-Sejajari. Ia menyuruhku untuk menunggu begitu kami sampai di depan pintu salah satu asrama. Lima menit kemudian kepalanya muncul di pintu.
"Dokter sudah bisa masuk."
Aku masuk dan paham mengapa harus menunggu di luar selama itu. Hasna menyiapkan kondisi anak terlebih dahulu. Semuanya sudah berpakaian lengkap dan memakai jilbab.
Hasna membawaku ke tempat tidur Aisha. Ia menangis begitu mengetahui kedatanganku. Aku segera memluknya. Kurasakan panas badannya.
"Mau pulang." Lirih Aisha di tengah tangisannya.
Aku mengusap air mata di pipinya. "Om sudah ada di sini, Aisha jangan nangis lagi ya."
Aku memeriksa kondisi Aisha dan segera menuliskan resep obat untuknya. Ku berikan resep obat itu pada perawat yang ikut bersamaku ke sini agar segera disediakan . Sembari menunggu obat, aku menemani Aisha. Ia memejamkan matanya. Aku tau ia belum tidur karena sesekali air mata masih mengalir meskipun matanya terpejam. Hasna sudah menghilang sejak aku memeriksa Aisha. Ia berpesan agar aku tidak pergi sembarang.
Tidak ada orang dewasa selain aku. Santri lain yang terbangun terus memperhatikanku. Mungkin merasa tidak nyaman karena ada sesosok laki-laki di kamar. Beberapa anak di sudut ruangan yang terisak. Well, aku tidak akan merusak amanah dari Hasna dengan mengabaikan naluriku untuk ingin segera memeriksa mereka.
Terdengar seseorang masuk ke dalam asrama.
"Dokter." Panggil Hasna
Entah sejak kapan aku hafal dengan suara itu. Aku bisa mengenali suara itu meski tidak sedang melihat ke arahnya.
"Mungkin dokter bisa memeriksa yang lain juga." Katanya pelan. Aku tau sebenarnya ia keberatan.
"Bukankah tujuan saya ke sini sejak awal memang untuk mengobati mereka." Aku tersenyum sumringah.
Hasna sedikit terkejut melihat reaksiku. Ia segera menundukkan pandangannya.
"Ibu pimpinan sudah memberikan izin karena rumah sakit tidak bisa memberikan bantuan tambahan." Hasna sepertinya berusaha untuk mengabaikan senyumku.
Aku mengangkat bahuku seolah ingin berkata, sudah kubilang sejak tadi.
"Tapi saya harus mengawasi anda." Katanya cepat.
Aku belum paham maksud mengawasi, tapi itu membuatku senang. Hasna akan terus berada di dekatku untuk waktu yang cukup lama.
"Take your time, ma'am" godaku.
Sebelum Hasna menarik kata-katanya, aku segera memulai tindakan pertama; menyiapkan peralatan yang dibutuhkan.