Part 1 : Different

1060 Kata
Seorang wanita cantik tengah asyik merias dirinya di depan meja dandan, ditemani dengan alunan musik reggaeton favoritnya, sesekali badannya meliuk berjoget ringan mengikuti alunan musik dari lagu boyband favoritnya. Meski umurnya sudah memasuki kepala tiga, namun  selera musiknya bak seorang abg puber. Bahkan beberapa bulan yang lalu wanita itu sengaja terbang ke Puerto Rico bersama teman-teman arisannya demi menyaksikan konser boy band favorite mereka.  Ceklek... Suara handel pintu mengalihkan fokus Kinan yang sedang mempertebal alisnya dengan  sebuah pensil khusus. Wanita itu menatap  sosok yang muncul dari balik pintu secara sekilas. "Kamu mau kemana?" tanya seorang laki-laki dari balik pintu. Dia adalah Pandji. "Mau arisan." jawab singkat Kinan pada Pandji, suaminya tanpa repot-repot menatap Pandji yang kini berdiri tak jauh dibelakangnya. Pandji pun masuk ke dalam kamar mereka, melangkah ke arah sofa dan mendudukan dirinya disana, dipandanginya wanita yang sejak sebulan lalu resmi menjadi istrinya. Siapapun tak akan dapat menolak pesona Kinanthi yang selalu tampil anggun dan modis meski sudah berkepala tiga, fashion style wanita itu tak kalah dengan gadis-gadis muda, bahkan terkadang hal itu membuat Pandji minder. Tangan Pandji terulur menarik tas kerjanya yang berada diatas sofa di didekatnya dan mengambil amplop coklat. "Ambilah, ini gajiku bulan ini." ucap Pandji menyerahkan amplop coklat itu pada istrinya yang masih sibuk merias diri. Kinan pun meletakan kuas blush on-nya diatas meja dan memandang ke arah Pandji dan kearah amplop itu secara bergantian dengan tatapan tak terbaca. Sebelum akhirnya memutar bola matanya malas. "Aku kan udah bilang sejak awal, nggak usah kasih aku uang bulanan gini." ucap kinan seraya mendorong halus amplop yang diserahkan Pandji, sambil berdecak ringan. Baginya itu hanya recehan. Pandji hanya memandang Kinan dengan tatapan yang sulit diartikan, kecewa? Marah? Mungkin. Kinan tak tau dan tak mau tau, lelaki itu sulit ditebak. "Kamu pake aja uang itu untuk dirimu sendiri Ndji, aku sudah cukup dengan apa yang kupunya, aku mampu membeli kebutuhanku sendiri." ucap Kinan santai sambil membereskan alat make up-nya lalu masuk ke arah walk in closet, meninggalkan Pandji yang masih berdiam diri dengan pikiran yang berkecamuk dan menggenggam amplopnya kuat-kuat. 'selalu seperti ini,' batin Pandji "Apa kamu akan diam saja disitu?" tanya Kinan yang sudah tampil cantik dengan rambut gelombang dan barang-barang branded yang menempel padanya. Pandji tak bergeming, ia menatap istrinya dari atas kebawah, Pandji tersenyum getir, bagaimana istrinya mau menerima gajinya yang jumlah hanya 5 juta, sangat jauh dengan harga sepatu milik Kinan yang memiliki harga puluhan hingga ratusan juta. "Kamu apaan sih Ndji?" tanya Kinanthi rishi, ia paling benci ditatap dengan sedemikian intensnya oleh siapapun, tak terkecuali Pandji. Pandji pun mengalihkan pandangannya dari istri cantiknya, dan mengambil dasi di walk in closet, ia pun harus segera pergi ke kampus. "Aku berangkat." Pamit Kinan, bahkan tanpa mencium tangam Pandji, jangankan cium tangan, salam pun tidak, wanita itu melenggang begitu saja bak seorang model. Tak lama, Pandji pu keluar dari kamar, diliriknya jam di dinding Tak ingin terlambat mengajar, Pandji pun segera bergegas berangkat dengan mobil sederhananya yang ia beli 2 tahun lalu. Tidaklah mewah yang terpenting cukup dan ia membelinya atas jerih oayah sendiri, bukan mengandalkan bisnis orangtuanya yang sejatinya orang yang lebuh dari berkecukupan. Kring.. Satu pesan dari Bu Widuri, Ibunda Kinanthi. Ibu Widuri: Le, malam ini ajak Kinan datang kerumah Ibu ya, ada yang ingin Ibu sampaikan Pandji pun langsung mengiyakan perintah ibu mertuanya. Dan ia langsung mengirim pesan ke Kinan. dengan kecepatan sedang Pandji membelah jalanan kota Jakarta, sambil sesekali mengikuti lirik lagu yang diputar oleh radio dengan suara emasnya. Ya, siapa sangka dosen yang selama ini terkenal garang, menyebalkan dan pelit nilai itu pandai bernyanyi bahkan saat SMA ia adalah salah satu bintang sekolahan. Cukup dengan empatpuluh lima menit, Pandji tiba di kampus. Beberapa mahasiswa terutama mahasiswi silih berganti menyapanya, dan tak segan melempar tatapan genit. Wajar rasanya, hanya beberapa orang kampus yang mengetahui status baru yang disandang Pandji. “Selamat siang semuanya.” Sapa Pandji saat memasuki kelasnya. Lelaki itu menyuruh beberapa mahasiswanya untuk maju kedepan dan mengambil lembaran yang entah apa isinya. “Seperti yang teloah saya janjikan minggu lalu, hari ini diawal kelas saya akan mengadakan kuis.” Ujar Pandji yang langsung disambut oleh helaan nafas dan keluhan mahasiswanya. “Perasaan itu yayang Andji minggu lalu nggak bilang mau kuis deh.” Bisik-bisik mahasiswi yang duduk dibelakang. “Yang tidak berkenan mengikuti kuis ini silahkan keluar.” Uajr Pandji datar dan dingin. Menbuat suasana kelas yang mulanya sedikit gaduh kini menjadi kicep. Ya, begitulah Pandji. Dosen dengan sejuta pesona dan tingkah menyebalkannya, padahal memang Pandji sadar dan tau kalau minggu lalu ia tak mengkonfirmasi bahwa hari ini ada kuis. Ia hanya ingin anak didiknya belajar. Itu saja. Baikkan? Saat jam makan siang, Pandji memutuskan untuk makan siang di kantin  bersama Bara, rekan sesama dosennya sekaligus teman curhatnya. Wajar kan? Lelaki juga butuh curhat. “Hebat juga ya lo.” Ujar Bara lirih, lelaki itu meneguk es tehnya sejenak. Alis kiri Pandji terangkat, pertanda ia tak mengerti. “Gue kemarin kepoin akun sosial media istri lo, pengikutnya belasan ribu coy! Mana fotonya keren-keren banget, sosialita emang beda.” Ujar Bara kagum. Pandji memandang Bara datar, mengapa ia tak suka saat ada yang mengagumi istrinya seperti ini? Padahal ia sendiri belum mencintai Kinanthi. “Yang sedang kamu kagumi itu istri saya.” Ujar Pandji sambil meletakan sendok baksonya. Ia dongkol sendiri, ia bahkan tak tau yang mana akun social media istrinya, karena ia sendiri pun jarang membuka aplikasi tempat orang berpamer dan memajang foto tersebut. Bahkan pengikutnya saja hanya sekitar tujuh ratus orang, dan rata-rata adalah akun tersebut adalah milik para mahasiswinya, yang seringkali meminta follow back, namun tak pernah ia respon. Hanya ada lima orang yang ia ikuti, yaitu dua akun berita dan tiga lainnya milik Bara, Renata dan ibunya. Ah ya Renata, gadis itu. Pandji sangat merindukannya.. Apa kabar gadis pujaan hatinya itu? Lamunan Pandji buyar kala Bara menepuk pundaknya. “Jangan baper, aku Cuma kepo sama istrimu.” Ujar Bara diakhiri kekehan. Namun sejenak air mukanya kembali serius. “Tapi kamu harus hati-hati, yang suka istrimu banyak. Aku kemrin lihat di postingan terakhirnya anak bupati kota sebelah ngajak dinner istrimu lewat kolom komentar, mana pakai emoticon love banyak banget.. waspada Nji, ku dengar dia tajir melintir.” Pandji tak ambil pusing, meski tak ia pungkiri bahwa ada sisi lain dirinya yang terganggu mendengar ucapan Bara baru saja. “Lagian kamu Nji, kakekmu itu konglomerat loh. Kok kamu lebih milih disini, jadi dosen.” Tanya Bara, memang hanya Bara yang tau silsilah keluarga Pandji. “Kepo kamu!” Jawab Pandji sebelum beranjak dari kursi. “Kamu bayar dulu Bar.” Ujar Pandji santai, membuat Bara mendengkus. “orang kaya ngutang sama fakir ya gini” teriak Bara, membuat Pandji diam-diam mengulum senyum. oh ayolah, Bara juga bukan orang miskin, hanya membayar makanan seperti itu saja tak akan membuatnya jatuh melarat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN