"Jernihkan pikiranmu. Aku akan meminta bantuan Rose, jika bahaya besar harus ditanggung, lebih baik resiko itu dibagi." Aku mengedikkan dagu pada Rose yang masih sibuk bermain-main dengan belatinya.
Rose berbicara tanpa memandang kami. "Waktu yang tepat untuk balas dendam, mereka harus membayar darah ayahku. Dan aku tidak sabar bisa menunggangi naga seperti para leluhur kita dulu."
Ayah Rose adalah salah satu korban p*********n oleh Kerajaan Al Maghribi. Mereka menghabisi semua laki-laki dari kalangan penyihir, memaksa kami mundur dan bersembunyi di dalam hutan terkutuk yang miskin.
Ia adalah rekanku dalam segala hal, terutama dalam kejahatan. Kemampuan bersandiwaranya sangat dibutuhkan untuk mengalihkan perhatian para penjaga yang berpatroli. Karena tidak ada kesempatan memasuki istana itu dengan mudah.
Dengan kuda-kuda hitam legam khas penyihir, tidak butuh waktu lama untuk sampai. Mereka bersandiwara seolah-olah Rose adalah bangsawan yang telah dirampok. Ia menjerit memanggil-manggil penjaga dengan air mata palsunya.
Jari-jariku berpegangan pada batu-batu yang tidak rata, memanjat dinding adalah keahlianku. Tak lama aku sudah berada di balkon sang Pangeran.
Aku merasakan gelisah yang mematikan menjalari nadiku. Kugenggam erat gagang belati dengan ukiran bulan perak, tapi aku bukan pembunuh. Karena pembunuhan hanya akan melahirkan pembunuhan baru.
Pangeran Benyamin, pewaris kerajaan Al Maghrib. Namanya telah merambat dan menembus ke bagian terdalam hutan terkutuk akhir-akhir ini, orang-orang banyak membicarakan kehebatannya.
Aku menyelinap setelah membuat para penjaga tertidur pulas dengan serbuk sari bunga tidur. Ruangan itu tidak segelap yang kuharapkan.
Api perapian menyala, berderak kecil. Cahaya lilin meliuk-liuk di dinding. Langkah kakiku seperti kucing yang akan mencuri, senyap.
Aku sudah hampir mencapai tempat tidur ketika menyadari kesalahan besar, sangat besar. Pria itu tidak ada di tempat tidur. Ia berdiri condong ke atas meja besar memandangi peta, tak bergerak seperti pahatan patung.
Untungnya aku melihatnya sebelum ia melihatku. Kuraih pedang dengan bentuk ekor naga yang menggantung di dekat jubah tebal dengan sangat pelan.
Ada sebuah pedang lagi yang membuatku sangat tertarik, kilaunya keperakan seperti cahaya bulan. Aku tak bisa menahan godaan untuk tidak mengambilnya.
Seolah-olah pedang itu memohon untuk dicuri. Kuikatkan kedua pedang itu di punggung.
Sedetik kemudian pria itu sudah menatapku dengan mata menusuk seperti elang. Tak ada satupun dari teman-temanku yang memperingatkanku bahwa dia sangat tampan, ketampanan yang tak biasa. Perpaduan antara kebengisan dan keindahan.
Dia tidak terlihat terkejut melihat orang asing berpakaian serba hitam dengan penutup wajah berdiri di kamarnya. Dia mendengus, melipat kedua tangan di d**a alih-alih memasang kuda-kuda untuk menyerang.
"Kau siapa?"
Aku terkejut dengan kemantapan suaranya. Tinjunya terkepal erat di dadanya yang keras, dagu tegasnya mendongak angkuh.
"Kau boleh memanggilku sebagai Moonglade, Tuan."
Matanya berkilat, ekspresinya berubah memancarkan ketertarikan akan nama samaranku yang cukup terkenal di hutan terkutuk sebagai penjahat yang baru menetas.
"Aku sudah mendengar desas-desus perampok sepertimu yang baru naik daun."
Punggungnya menegak, matanya menyipit memandangku lekat-lekat, ada sebuah keterkejutan di wajahnya yang tak kumengerti, seolah-olah aku orang yang baru kembali dari kematian.
"Rampok?" kataku. "Sepertinya itu berlebihan. Aku hanya mengambil sesuatu yang tak terlalu berharga dari para pasukanmu yang m***m dan melecehkan para gadis desa."
"Lalu kenapa kau di sini? Semua milikku sangat berharga."
Itu mungkin sebuah pertanyaan bodoh, tapi ada kecerdasan di dalamnya. Aku menunggu kata-kata selanjutnya.
Dia berdiri diam, memperhatikanku, dan kemudian memiringkan kepalanya. "Kurasa aku dulu sangat mengenal seseorang yang memiliki mata sepertimu."
Ketajaman sorot matanya mereda, menjelma menjadi tatapan berkabut, seolah-olah dia tergoda. Sudut bibirnya sedikit menukik, kuakui dia benar-benar menawan, seolah-olah senyumannya mengandung sihir.
"Dari matamu yang bercahaya seperti bulan, kurasa jiwamu baik dan murah hati. Sulit dipercaya jika kau datang dari hutan terkutuk tempat segala macam penjahat tidak berperasaan bersembunyi." Ia berjalan mantap mendekatiku, nampak mengabaikanku yang bersenjata lengkap.
"Jangan meremehkanku, kau belum mengenalku." Aku mundur selangkah.
"Baiklah, aku akan tahu seberapa bahayanya kau setelah kita bermain sedikit." Ia mengedipkan mata seperti pria kurang ajar.
Aku melemparkan pandangan bingung, tak mengerti dengan jalan pikirannya. Jantungku berdebar, memperhitungkan bertarung dengannya.
Aku punya sedikit kelebihan dengan serbuk-serbuk sihir dalam kantong-kantong kecil yang kusimpan di pinggang.
Aku ingin memberi pelajaran kepadanya, menggores wajahnya dengan sedikit mantra agar para wanita dari kalangan pelayan sampai bangsawan lari terbirit-b***t saat melihatnya dan mengunci rumah mereka rapat-rapat.
Aku ingin mempermalukannya, menjatuhkannya dari puncak tempatnya bertengger sebagai musuh tak terkalahkan bagi hutan tergelap dan terkutuk.
Namun postur pria itu terlalu berbahaya, dan cerita-cerita yang beredar di kalangan warga hutan tentang bagaimana mengerikannya pria itu saat bertarung membuatku bergidik.
Kemampuan bela diriku sudah tentu jauh di bawahnya, tapi kemampuanku juga tidak bisa diremehkan. Sihir berakar, sihir yang memadukan mantra dan kekuatan segala macam tanaman.
Tanpa peringatan tubuhnya terdorong ke arahku, giginya menyergap penutup wajahku. Sedikit gigitan di cuping telingaku untuk menyibak penutup wajahku, rasanya menyakitkan tapi untung telingaku tidak putus.
Kedua lengannya memerangkapku erat dengan sangat kurang ajar. Kubenturkan kepalaku, namun tak sampai mengenai kepalanya yang menjulang di atasku.
Namun cukup keras menghantam tulang dadanya. Ia terkekeh, matanya bersinar seperti kucing yang bermain-main dengan tikus.
Kurogoh kantong di pinggang dengan jari-jariku yang masih bebas menaburnya di bawah kakinya, serbuk tanaman labu. Sambil komat-kamit, bubuk hijau itu bercahaya.
Dari setiap butiran lembutnya mengeluarkan sulur-sulur yang yang memerangkap pria itu. Aku berhasil melepaskan diri.
Selanjutnya kuterjang ia dengan belatiku dan berhasil melukai rahangnya. Saat akan melemparkan serbuk dari bunga bangkai ke luka itu agar memasuki aliran darahnya, tiba-tiba ia menggeram membuat sulur-sulur yang membelit tubuhnya terputus.
Aku masih di atas angin, tangannya masih berkutat dengan sulur-sulur yang masih berusaha membelitnya. Ia memalingkan wajah saat kepalan tanganku hendak melemparkan serbuk lagi.
Tapi itu sia-sia, sebagian serbuk menempel di rahangnya yang tersayat. Sari pati bunga bangkai memasuki aliran darahnya, dan akan mengubahnya menjadi makhluk mengerikan.
Ia menggeram, suaranya sudah berubah mirip dengan gorila. Aku terkekeh, sihir itu menyerang pita suaranya lebih dulu.
Bisa kulihat tubuhnya bergetar. Aku melompat dari balkon, mendarat di atas rumput yang tercukur rapi.
Setelah memanjat pagar tinggi istana, kudengar suara sepatu bot di jalanan batu. Dua penjaga istana mengacungkan pedangnya ke arahku.
"Jangan sampai istri-istri kalian menjadi janda besok pagi, menyingkir dari jalanku!"
Seekor serigala besar tiba-tiba melolong di belakangku. Membuat mereka berhamburan berlari terbirit-b***t.
Mereka terkekeh, "Jadi?" tanya Mercy.
Aku mencabut Pedang Ekor Naga dari pundakku, melemparkannya ke udara. Ia menyambarnya dengan anggun seperti kucing, memutarnya di bawah sinar bulan dan mengagumi kilaunya.