bc

SEJENAK JADI AKU

book_age18+
0
IKUTI
1K
BACA
family
kickass heroine
mafia
blue collar
drama
sweet
bxg
love at the first sight
like
intro-logo
Uraian

[SIAPKAN TISU SEBELUM BACA] Bukan untuk tabungan masa depan, bukan untuk liburan atau membeli hal-hal yang ia suka. Semua habis untuk tagihan rumah, biaya kuliah adik, dan kebutuhan orang tua yang menggantungkan hidup padanya. Ia sudah terbiasa menelan impian sendiri—hingga kehadiran Arga mengusik segalanya.Arga datang membawa pertanyaan yang selama ini tak berani ia jawab, bolehkah ia sekali saja, memilih dirinya sendiri?Namun, cinta tak pernah berdiri sendiri. Saat keluarganya kembali terpuruk, Sinta harus memilih—tetap menjadi tumpuan atau mulai memperjuangkan dirinya sendiri.follow i********: @gumigulaofficial_ ✨

chap-preview
Pratinjau gratis
Bab 1 - Semua baik-baik saja
Sinta mengetik dengan kecepatan tinggi, berusaha menyelesaikan artikel terakhir sebelum tenggat waktu. Jari-jarinya kaku setelah seharian menulis, tapi ia tak punya pilihan. Menjadi penulis lepas memang fleksibel, tapi tanpa disiplin, tidak ada uang yang masuk. Dan Sinta tidak punya kemewahan untuk bermalas-malasan. "Lima menit lagi ya, Sinta," suara Rina, editor di kantor penerbitan tempatnya bekerja, terdengar dari meja sebelah. Sinta hanya mengangguk, matanya terpaku pada layar. Satu kalimat lagi... Namun sebelum ia bisa menyelesaikannya, suara berat menggema dari balik ruangan. "Sinta!" Langkah kaki berat mendekat. Ia tak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang. Pak Darma. Sinta menegakkan bahu. Kepala editor yang perfeksionis itu berdiri di belakangnya dengan ekspresi kaku. "Artikel yang kamu kirim pagi ini mana?" tanyanya langsung, tanpa basa-basi. "Sudah saya kirim ke email Bapak tadi siang." Pak Darma menyipitkan mata, lalu menyalakan ponselnya. Tak sampai lima detik, wajahnya berubah. "Ini menurutmu layak terbit?" suaranya naik satu oktaf. "Tulisan ini datar, kurang emosional, dan—Tuhan! Ending-nya terlalu klise!" Panas menjalari wajah Sinta. Ia bekerja hampir tanpa istirahat, mencoba memenuhi standar tinggi kantor ini, dan tetap saja masih salah. "Saya akan revisi lagi, Pak," jawabnya, menekan rasa frustrasi. "Jangan cuma revisi. Perbaiki total!" Pak Darma mendengus. "Saya butuh artikel berkualitas, bukan tulisan setengah matang. Kalau kamu mau tetap kerja di sini, jangan bikin saya kecewa." Sinta menundukkan kepala, menggigit bibirnya untuk menahan komentar. Begitu pria itu pergi, Rina menoleh dengan ekspresi iba. "Kamu nggak apa-apa?" Sinta menarik napas panjang, mengembuskan perlahan, lalu tersenyum tipis. "Nggak apa-apa, Mbak." Ia merapikan rambutnya yang sedikit berantakan, lalu kembali mengetik dengan cepat. Kepalanya pening, matanya panas, tapi ia tidak bisa berhenti. Di luar jendela, langit telah menghitam. Hanya lampu jalan yang masih setia menemani gedung ini. Di seberang meja, Rina melirik jam dinding sebelum berdeham pelan. "Udah hampir jam sepuluh malam. Kamu nggak pulang?" Sinta menelan ludah. Jam sepuluh? Ia bahkan tidak sadar sudah selama itu di kantor. "Nanti, Mbak. Aku selesain ini dulu," jawabnya tanpa menoleh. Rina mendesah, lalu berdiri sambil merapikan tasnya. "Jangan terlalu memaksakan diri, ya. Jangan lupa makan juga." Sinta hanya tersenyum tipis. Kata-kata itu sudah terlalu sering ia dengar. Tapi tidak ada yang benar-benar paham—waktu dan tenaga adalah kemewahan yang tidak ia miliki. Begitu Rina pergi, kantor menjadi lebih sepi. Hanya ada suara pendingin ruangan dan ketikan jemarinya yang terus berkejaran dengan waktu. Tiba-tiba, layar laptopnya berkedip. Koneksi internet terputus. Sinta membeku. Jangan bilang WiFi kantor mati? Ia buru-buru mengecek ponselnya—tidak ada sinyal. Sial. Kalau tidak segera mengirim revisi ini, besok pagi Pak Darma pasti akan menguliti habis-habisan pekerjaannya. Mengutuk dalam hati, ia bangkit dari kursi, berjalan cepat ke luar ruangan untuk mencari sinyal yang lebih baik. Begitu sampai di lobi, ia melihat ke sekeliling. Ruangan itu hampir kosong, kecuali satu petugas keamanan yang duduk di belakang meja resepsionis, sibuk dengan ponselnya. "Pak, WiFi kantor mati, ya?" tanyanya sambil mendekat. Petugas keamanan itu mengangkat kepala sekilas. "Iya Mbak Sinta. Kayaknya ada gangguan dari tadi sore." Sinta menahan umpatan. Tentu saja. Seperti biasa, hal-hal semacam ini selalu terjadi di saat yang paling tidak tepat. Ia merapatkan jaketnya, lalu berjalan keluar gedung. Begitu melangkah ke trotoar, angin malam langsung menyambutnya. Udara dingin membuatnya sedikit menggigil. Sinta kembali mengecek ponselnya. Kali ini, ada satu bar sinyal. Tidak banyak, tapi cukup untuk mengirim revisi. Tanpa pikir panjang, ia segera membuka email, melampirkan file revisinya, lalu menekan tombol kirim. Pesan terkirim. Ia menghela napas lega. Setelah memastikan pekerjaannya aman, ia membuka aplikasi ojek online dan memesan perjalanan pulang. Namun, beberapa menit berlalu tanpa ada driver yang menerima. Jalanan di depannya sudah mulai sepi. Lampu-lampu jalan berpendar samar, memantulkan cahaya ke aspal yang basah sisa hujan sore tadi. Sinta akhirnya memilih berjalan ke jalan utama untuk mencari taksi, dibanding harus tidur dikantor. ——— Begitu tiba di rumah, Sinta membuka pintu pelan-pelan. Ruangan gelap, hanya cahaya dari kamar ibunya yang masih menyala. Ia melepas sepatu dengan gerakan lelah, lalu berjalan ke dapur. Perutnya sudah perih sejak tadi, berharap masih ada makanan yang bisa dimakan. Namun, begitu mengangkat tudung saji, yang tersisa hanyalah piring kosong. Sinta terdiam, menatapnya beberapa detik sebelum membuka kulkas. Kosong. Hanya ada air mineral dan beberapa bumbu dapur. Saat ia hendak menutup pintu kulkas, suara pintu kamar berderit. Ibunya keluar, mengusap wajah dengan punggung tangan, jelas baru bangun tidur. "Kamu udah pulang?" Suaranya masih berat karena kantuk. Sinta menoleh, berusaha tersenyum kecil. "Iya, Bu." Mata ibunya langsung mengarah ke meja makan. Sejenak ia terdiam, lalu mengerutkan kening. "Lho, lauknya udah nggak ada?" Sinta tetap diam, menunggu penjelasan. "Tadi Ibu sisihin buat kamu, tapi kayaknya dimakan sama adikmu. Maaf ya," lanjut ibunya, suaranya terdengar sedikit ragu. Sinta kembali menatap meja kosong itu. Perutnya masih berbunyi pelan, tapi ia tahu ini bukan pertama kalinya. "Nggak apa-apa," jawabnya datar. "Aku masih kenyang, Bu." Padahal, dia tidak ingat terakhir kali ia makan tadi. Ibunya menghela napas, melirik jam dinding. "Harusnya Ibu bangun lebih awal tadi, jadi masih sempat masak buat kamu." "Nggak apa-apa, Bu," potong Sinta cepat. "Ibu udah capek seharian. Aku juga bisa cari makan sendiri kalau butuh. Tapi perutku masih kenyang kok," bohongnya. Ibunya menatapnya beberapa detik, lalu mengangguk pelan. "Ya udah. Kalau lapar banget, masak mi aja, itu masih ada satu di rak." Sinta tersenyum tipis. "Iya, Bu. Kalau begitu Sinta masuk kamar dulu ya." "Kamu sudah ngantuk?" tanyanya. "Lumayan." Ibunya mengangguk lagi. "Ya udah, istirahat sana. Besok kerja lagi, kan?" Sinta menghela napas, lalu melangkah menuju kamarnya. "Iya, Bu. Aku masuk dulu." Begitu pintu tertutup, Sinta memejamkan mata, mengatur napas yang terasa berat. Setiap kali ia pulang larut, situasinya selalu sama. Makanan habis, ibunya kelelahan, dan adiknya selalu jadi prioritas. Ia tidak menyalahkan siapa pun, tapi di sudut hatinya yang paling dalam, ada rasa letih yang sulit dijelaskan. Ia berjalan ke tempat tidur dan menjatuhkan diri di atas kasur tipis yang sudah lama kehilangan empuknya. Punggungnya terasa pegal, efek duduk terlalu lama di depan laptop sepanjang hari. Menjadi sandwich generation bukan hanya tentang menghidupi keluarga. Ada tanggung jawab yang tak kasatmata, yang terus menekan dari berbagai arah. Gajinya nyaris selalu habis sebelum akhir bulan. Sebagian besar untuk kebutuhan rumah, biaya sekolah adik, dan tagihan-tagihan yang seolah tak ada habisnya. Kadang ia bertanya, kapan terakhir kali membeli sesuatu untuk dirinya sendiri? Sebuah baju baru? Sepasang sepatu? Atau sekadar duduk santai di kafe tanpa perlu menghitung sisa saldo di rekening? Ia tidak ingat. Dulu, ia berpikir bahwa bekerja keras akan membawanya ke kehidupan yang lebih baik. Tapi semakin ia berusaha, semakin ia merasa terjebak dalam lingkaran tanpa ujung. Tapi ia tidak boleh menyerah. Kalau bukan dia, siapa lagi yang akan memastikan ibunya bisa beristirahat tanpa harus khawatir soal uang? Siapa lagi yang akan memastikan adiknya bisa sekolah tanpa takut karena tunggakan? Sinta menatap langit-langit kamar yang mulai mengelupas. Hari ini berlalu, dan besok ia harus mengulang segalanya dari awal lagi. Menghela napas panjang, ia akhirnya memejamkan mata. Besok adalah hari baru. Dan ia harus bertahan—seperti biasanya. ————- Halo gais! Jangan lupa like, comment, dan share cerita ini ke teman-teman kalian ya! Buat kalian yang pernah merasa lelah, sendirian, atau terus berjuang tanpa henti—ingat, kalian nggak sendiri. Dunia mungkin terasa berat, tapi kita tetap bisa bertahan. Have a reading! ❤️

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Sweetest Pain || Indonesia

read
77.6K
bc

Pengganti

read
304.0K
bc

Happier Then Ever

read
92.3K
bc

Love Match

read
180.2K
bc

Stuck With You

read
75.8K
bc

Ditaksir, Pak Bos!

read
149.7K
bc

Rainy

read
19.3K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook