Bab 2. Penyemangat Ambu

1068 Kata
Guntur segera memesan segala keperluan untuk merenovasi rumahnya. Dari pasir, bata, semen, keramik dan lainnya.  Hari itu juga, dia menyuruh tukang untuk segera membongkar atap rumahnya, untung saja tembokan yang dulu masih kokoh dan belum rusak. Jadi mereka ingin membuat rumah mereka menjadi 2 lantai. "Mang Udin, tolong ya. Saya mau hasil yang serapih mungkin."  Mang Udin dan tukang yang lainnya pun segera menurunkan genteng dan merapikannya.  Para tetangga merasa bingung, karena secara tiba-tiba mereka merenovasi tanpa memberitahu mereka. "Uang dari mana dia, Sampai bisa merenov rumah seluas ini?" tanya Ayunda pada Fitriani. "Aku dengar sih kemarin mereka menjual semua sawahnya pada Kang Hari."  Begitulah obrolan para saudara Ambu. Mereka hanya bisa berkomentar tanpa tau apa-apa.  Wajah Livia terlihat lebih pucat dari biasanya, tetapi dia itu tetap bersikeras untuk membantu Ambu menyiapkan makanan.  Guntur melihat Livia dengan keadaan seperti itu, lalu menghampiri dan mengambil alih semua pekerjaan istrinya. "Kamu beristirahatlah sayang. Lihat wajahmu, sudah pucat sekali."  Liviapun segera duduk di kursi dan menyandarkan tubuhnya. Dia merasa sangat mual dan pusing, tetapi dia tidak mau mengeluh dan merepotkan siapapun.  Setelah selesai membantu Ambu, Guntur segera menghampiri Livia dan mengecek suhu tubuhnya. "Sayang badan kamu panas. Kita ke puskesmas yah?"  Tanpa menunggu persetujuan sang istri, Guntur langsung memapah Livia menuju motornya. Mereka berdua segera menuju puskesmas yang berada tidak terlalu jauh dari rumahnya.  Sesampainya disana, Guntur menyuruh Livia untuk menunggu di kursi yang sudah di sediakan, sedangkan dia mengambil nomor antrian. ••• Ambu sibuk merapikan gudang belakang, agar bisa mereka tempati saat rumah sedang di bongkar.  Wanita paruh baya itu mengerjakan semua perkerjaannya seorang diri. Meskipun ada saudara-saudaranya, tetapi mereka tidak pernah membantu Ambu sedikitpun.  Tidak lama kemudian, Guntur dan Liviapun datang dan menghampiri Ambu.  "Assalamualaikum Ambu."  Ambupun menghentikan aktivitasnya dan menanyakan bagaimana keadaan Livia. "Tadi kata bidan apa? Si Neng engga kenapa-kenapa kan?"  Guntur menuntun istrinya untuk duduk. Dan menyuruh Ambu beristirahat sejenak. "Dia cuma kecapean aja bu, Ambu juga istirahat jangan cape-cape ya, biar Guntur yang gantiin Ambu rapihin ini semua."  Guntur segera merapikan sisi yang belum terjamah oleh tangan Ambu. Dengan cepat diapun membereskan barang-barang dan menyapu gudang.  Ayunda menghampiri Guntur dan berkata,  "Kamu kok mau tur disuruh-suruh sama Ambu?" Guntur menghela nafas dan menyelesaikan pekerjaannya.  "Bibi kok engga malu, selalu komen tapi engga pernah bantu?"  Ayunda merasa dirinya di permalukan oleh Guntur, dan bersumpah serapah sambil meninggalkan tempat itu "Awas saja kau, aku tidak akan tinggal diam dengan keluargamu."  Guntur masih bisa mendengar apa yang dikatakan oleh Ayunda, tetapi dia tidak memperdulikannya.  Flashback on "Ambu kenapa menangis?"  Livia dan Guntur yang baru pulang dari sawah saat itu, segera menghampiri Ambu dan menenangkannya. "Ambu enggak habis pikir Neng. Ambu Enggak dapat warisan dari Nenekmu, itu sudah Ambu lupakan. Tetapi mengapa perlakuan mereka selalu merendahkan Ambu, dan selalu tidak menganggap Ambu sebagai kakak mereka."  Liviapun memeluk Ambu dan menenangkannya dan Guntur segera mengambilkan segelas air untuk diminum Ambu. Guntur sudah merasa geram dan kesal pada perilaku mereka. Tidak sepantasnya mereka memperlakukan Ambu seperti itu. "Bu yang sabar ya, biarkan saja mereka berbuat seperti apa pada kita. Kita kan memang bukan anak dan cucu dari nenek."  Ambupun menghapus air matanya. Perkataan Livia benar adanya, mereka di perlakukan tidak adil semenjak nenek meninggal. "Benar apa yang dikatakan Via bu, biarkan saja mereka. Kita cukup diam dan buktikan bahwa kita bisa tanpa bantuan mereka." Perasaan Ambu sedikit terobati karena perkataan Guntur dan Livia. Lalu Livia pergi ke dapur untuk menyiapkan makan siang. Setelah selesai merekapun makan bersama dengan sedikit gurauan yang Guntur dan Livia lontarkan. Flashback off Guntur tidak mau melihat Ambu menangis untuk yang kesekian kalinya oleh mereka. Dengan seluruh upaya yang dia bisa, dia akan membantu Ambu apapun yang terjadi. "Aa, tadi Bi Ayu tumben kesini? Ada apa memangnya?"  Guntur tidak ingin menjawab pertanyaan itu, karena itu sangat tidak penting dan tidak bermanfaat untuk ditanyakan. Gunturpun mengubah topik pembicaraan yang diajukan oleh istrinya, dan menyuruh Livia untuk beristirahat. "Aduhh sayang, kan bidan tadi bilang. Kamu harus banyak istirahat, sekarang ayo kita ke gudang lagi dan kamu istirahat disana."  ••• 2bulan kemudian Rumah merekapun sudah selesai di renovasi, dan hasilnya sangat rapi juga memuaskan. Segala perabotan sudah di tata rapi sesuai keinginan Ambu dan Livia.  Perut Liviapun kian membesar dan mereka memilih kamar bawah agar menghindari hal-hal yang tidak di inginkan. Rumah dengan desain minimalis namun terlihat mewah, membuat orang yang iri menjadi semakin iri pada mereka.  Ambu membuka usaha sembako di samping rumahnya, agar uang mereka tidak terbuang sia-sia dan tetap terus memutar.  "Alhamdulillah ya A. Semoga Allah selalu memberi memberi keberkahan pada setiap usaha kita."  Gunturpun tersenyum, dan terus membantu merapikan barang dagangan. Agar toko mereka segera bisa buka. "Iya bu, semoga aa juga diberi kelancaran rezeki, untuk si Via melahirkan nanti."  Tabungan Guntur memang masih ada. Namun itu tidak akan cukup untuk membeli segala peralatan untuk calon anaknya itu. Liviapun ikut membantu merapikan yang bisa dia gapai. Karena semakin bertambah usia kehamilannya, semakin lemah pula daya tahan tubuh wanita itu.  •• Sepupu Livia datang dari kota, Ambupun segera menyapanya dan bertanya kabar tentang dirinya. "Eh Mia, pulang kapan? Gimana kabarnya sehat?"  Miapun segera memberi salam dan pergi meninggalkan Ambu. "Tadi pagi jam 8."  Livia dan Guntur yang melihat sikap Mia seperti itu langsung merasa geram.  Saat Ambu masuk, Liviapun menyuruh Ambu untuk tidak menyapa duluan. "Ambuu, kan Neng sudah bilang. Kenapa Ambu masih aja nanya sih."  Ambupun duduk di samping Guntur yang sedang memainkan ponselnya. "Iya Ambu. Kan aa juga udah bilang, engga usah nanya kalau kita engga di tanya. Ambu itu yang paling tua disini, jadi harus tegas."  Pada malam harinya, mereka melihat semuanya berkumpul di rumah peninggalan nenek. Mereka tertawa dan makan bersama tanpa mengajak keluarga Ambu.  Ambu terlihat sangat sedih, dan Livia berinisiatif untuk memasak ayam geprek kesukaan mereka semua. Ambu dan Guntur mencium harum masakan yang sangat familiar di hidung mereka. Lalu mengikuti darimana harum masakan itu berasal.  Di meja makan sudah tersedia ayam geprek juga lalapan, dan juga nasi hangat yang menggugah selera. "Hmmm wangi, jadi lapar aku yang." Guntur segera menyendok nasi untuk Ambu, Istrinya dan dirinya. Mereka sangat menikmati makanan yang di masak oleh Laura.  "Kita setiap hari makan bersama, itu sudah lebih dari cukup. Jangan pernah sedih meskipun kita tidak di anggap oleh mereka. Karena tanpa mereka, kita juga bisa bahagia."  Ambu sangat terharu, dan bersyukur karena mempunyai anak seperti Livia dan menantu seperti Guntur. Mereka selalu memberi support dan masukan positif pada Ambu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN