Part 1

1848 Kata
Seorang perempuan duduk di gazebo kayu dengan kepalanya bersandar pada tiang. Setelah kepergian sang ayah sepuluh hari lalu, yang dilakukannya lebih banyak diam dan memilih untuk menyendiri. Perempuan dengan hijab berwarna hijau army itu sedang dirundung kesedihan yang mendalam.   Perempuan itu menghela napas panjang, mendongak menatap langit yang mendung sore hari. Cuacanya sejuk sekali membuat ia betah berlama-lama di sana sendirian.   Hingga derap langkah kaki seseorang membuat perempuan itu menoleh. Seorang wanita paruh baya menghampiri, tersenyum penuh arti dan duduk di sampingnya.   "Azizah," panggilan Maryam, wanita paruh baya yang baru saja duduk, membuat gadis yang dipanggil Azizah itu menoleh sekilas. Azizah masih tak bergeming dari tempatnya. Maryam mengusap pundak Azizah, gadis remaja berusia tiga belas tahun yang baru saja ditinggal oleh sang ayah untuk selamanya. "Azizah kok di sini?" tanya Maryam, suaranya lembut sekali dan penuh rasa keibuan. "Cuacanya dingin, lho. Nanti Zizah masuk angin. Masuk, yuk, ketemu temen-temen di dalam." ajaknya, tapi tak ada respons dari Azizah.   Azizah masih diam. Tak merespons Maryam yang berada di sebelahnya. Maryam menghela napas, mengalihkan pandangannya pada sekitar. Lalu tangannya menunjuk sebuah pohon jambu yang daunnya baru saja terjatuh.   "Azizah lihat itu, kan?" tanya Maryam ketika Azizah masih diam saja. "Daun yang jatuh itu sudah tertulis takdirnya kapan ia akan jatuh. Daun yang jatuh bahkan tidak pernah menyalahkan angin. Daun itu sudah mengering, sudah waktunya dia gugur lebih dulu dari pada yang lain. Sudah takdir Allah." ucapan Maryam membuat Azizah menegakkan tubuhnya.   Azizah menatap pohon jambu yang ditunjuk oleh Maryam dengan lesu. "Azizah pasti paham apa yang Umi katakan. Azizah sudah remaja sekarang. Azizah harus belajar ikhlas. Apa pun yang kita punya saat ini bukanlah milik kita, itu semua hanya titipan. Semua barang-barang yang Zizah miliki, bahkan keluarga Zizah, orang tua Zizah, semuanya hanya titipan Allah. Bukankah titipan akan kembali pada pemiliknya?" tanya Maryam menoleh menatap Azizah, mengusap punggung tangan anak didiknya itu.   Azizah adalah salah satu santriwati di Pesantren An-Nur yang dikelola oleh Maryam. Sudah seharusnya Maryam yang bertanggung jawab dengan apa yang terjadi oleh para santriwati ketika mereka berada di pesantren. Terlebih lagi, Azizah sudah tidak memiliki orang tua. Azizah seorang yatim piatu yang saat ini tak memiliki tempat tinggal. Keluarganya bahkan tak mau memberikan tumpangan dan bantuan biaya kepada Azizah. Membiarkan Azizah di pesantren hanya dengan mengandalkan biaya dari para donatur.   "Nah, sekarang Azizah coba lihat ke taman itu." Telunjuk Maryam terarah pada taman di halaman depan pesantren yang dirawat oleh para santriwati. Ada banyak macam-macam bunga dan berbagai warna yang menghiasi taman. Terlihat sangat indah untuk dipandang. "Semua bunganya sangat indah. Kalau Azizah disuruh memetik bunga oleh Umi, kira-kira Azizah mau memetik bunga yang seperti apa?" tanya Maryam tersenyum lagi, tapi Azizah hanya diam saja melihat ke arah taman. "Pasti Azizah akan memilih bunga yang sangat bagus sekali. Bunga yang lebih cantik dari bunga lain. Begitu pun Ayah Azizah. Allah lebih menyayangi Ayah Zizah. Allah memilih bunga yang lebih cantik untuk dipetik." Ucapan Maryam kali ini berhasil menarik perhatian Azizah, membuat perempuan itu menoleh.   "Umi," Suara serak Azizah membuat Maryam tersenyum lebar. "Azizah nggak punya siapa-siapa lagi. Azizah sendirian, Umi. Azizah ..., hiks ..." Air mata Azizah jatuh begitu saja. Dengan segera Maryam mendekap Azizah dan mengusap punggung perempuan itu dengan penuh kasih sayang.   "Azizah, kan, masih punya Umi di sini. Azizah punya banyak teman di pesantren. Azizah nggak sendiri kok." Maryam mengusap puncak kepala Azizah yang terutup hijabnya. "Azizah punya Allah."   Azizah masih terisak dalam dekapan Maryam. Isakannya terasa sangat pedih dan menyedihkan. Maryam ikut sedih melihat Azizah seperti ini.   "Tapi Umi, Ayah Zizah belum lihat Zizah hafal 30 juz. Zizah belum bisa banggain Ayah dan Ibu." Azizah masih terisak.   "Kata siapa Zizah belum bisa banggain mereka? Zizah sudah hapal beberapa juz Al-Qur'an. Sudah hebat, Ayah dan Ibu pasti sangat bangga melihat Zizah." balas Maryam, lalu matanya melihat empat orang santriwati yang berdiri tak jauh dari tempatnya saat ini. "Zizah harus semangat, ya. Cuacanya semakin dingin, udah sore juga. Kita ketemu temen-temen di dalam saja, yuk!" Maryam menepuk pundak Azizah dan melepaskan dekapannya.   Azizah mengusap air matanya. Wajahnya memerah dan sembap sehabis menangis. "Ada teman-teman Zizah, tuh, di sana. Samperin, yuk! Mereka kangen Zizah yang bisa senyum lagi kayak dulu." ucap Maryam tersenyum.   Mata Azizah melihat keempat teman dekatnya berdiri tak jauh dari tempatnya sedang melambaikan tangan sembari tersenyum. Melihat itu, Azizah menoleh pada Maryam yang langsung diangguki oleh Maryam.   Keempat teman dekat Azizah menghampirinya. "Azizah," panggil Humaira, salah satu teman dekatnya di pesantren. "Kita masuk, yuk! Siap-siap untuk hafalan lagi." ajaknya yang diangguki oleh temannya yang lain.   Azizah hanya mengangguk, berjalan mengikuti teman-temannya untuk kembali ke pesantren. Rasa sedihnya masih belum reda. Kehilangan orang yang sangat dekat dalam hidup tentu saja sangat menyakitkan. Begitu juga Azizah yang merasa dirinya sudah tak memiliki apa-apa lagi.   ***   "Kangen banget sama Umi dan Abi." Hawa menghela napas panjang, memeluk kedua lututnya dengan pandangan lurus ke depan. "Pengin pulang." Wajah Hawa benar-benar sedih, matanya berkaca-kaca.   Bukan kali pertama Hawa mengatakan bahwa dirinya ingin pulang dan merindukan orang tuanya. Padahal, bukan hanya Hawa yang merindukan orang tua, para santriwati lain juga tentu saja merindukan orang tua mereka. Namun, sering kali Hawa selalu menangis merindukan kedua orang tuanya bahkan menangis ketika dirinya kesulitan menghafal Al-Qur'an.   "Yang kangen sama orang tua bukan cuman kamu doang kali, Wa. Semua santriwati juga kangen sama orang tua masing-masing." ucap Lala yang duduk di dekat Hawa. "Lagian kamu, kan, udah beberapa bulan di pesantren. Masih aja nggak terbiasa." lanjut Lala membuat Hawa mendongak.   Dari banyaknya santriwati di Pesantren An-Nur, yang semua muridnya adalah kaum perempuan, hanya Lala yang ucapannya selalu ceplas-ceplos. Tak jarang ucapan Lala menyakiti hati teman-temannya. Entahlah, Lala memang seperti itu. Ucapannya selalu tidak bisa paham situasi dan kondisi.   "La," tegur Humaira menyenggol lengan Lala membuat perempuan itu mendengkus.   "Kenapa, Ra? Aku bilang bener kok. Kamu juga pasti kangen sama orang tua kamu, kan? Semuanya pasti kangen dan pengin pulang ke rumah." jelas Lala lagi membuat teman-temannya hanya geleng-geleng kepala menatap Lala. "Kamu, tuh, Wa, harusnya terbiasa dong. Nggak usah manja gitu, Wa. Kamu udah gede, masa nangis mulu. Mending nggak usah di pesantren aja deh kalau nangis mulu mah." ucap Lala memutar bola matanya jengah.   Lala memang tidak pernah ingin berada di pesantren, dia hanya ingin bersekolah seperti orang lain pada umumnya. Namun, kedua orang tuanya yang menyuruh Lala masuk pesantren. Lala hanya terpaksa masuk ke pesantren. Dia tidak punya pilihan lagi karena memiliki janji kepada ayahnya bahwa Lala akan masuk pesantren dengan syarat ayahnya memberikan izin untuk menonton konser k-pop yang diadakan di Jakarta.   Di pesantren pun, Lala bertindak semaunya saja. Ucapannya tak bisa dijaga dan sering kali mengatakan kalimat yang tak enak didengar. Ketika temannya yang lain membersihkan taman, kamar mandi, dan sekitaran pesantren, Lala justru enggan melakukannya. Lala hanya ikut melihat, tak membantu teman-temannya. Namun, ketika diawasi oleh Umi Maryam, Lala akan merasa takut dan ikut membantu.   Semua orang di pesantren sudah tahu sikap dan perilaku Lala. Mereka hanya akan geleng-geleng kepala mengetahui sikap Lala yang selalu saja seenaknya.   "La, nggak boleh gitu. Ya, mungkin Hawa nangis karena emang bener-bener kangen sama keluarganya." ucap Humaira mengingatkan Lala.   Hawa hanya terisak di sebelah Nabila usai mendengar perkataan Lala. Nabila berusaha menenangkan Hawa, mengusap bahu Hawa memberikan semangat. "Udah, Wa. Sabar, nggak usah nangis. Libur akhir tahun kita bisa pulang, kan, Wa. Atau nanti Umi dan Abi kamu jenguk ke sini." ucapan Nabila diangguki oleh teman-temannya yang lain, kecuali Lala.   "Iya, Wa. Udah nggak usah nangis lagi. Nanti ketahuan Umi Maryam, udah malem soalnya. Mending kita tidur, kan, tengah malem harus bangun salat tahajud." ujar Aisyah yang sudah lebih dulu berada di kasurnya.   Lalu, satu per satu teman-teman satu kamarnya mulai beranjak ke atas tempat tidur mereka. Humaira dan Nabila mengajak Hawa untuk ke tampat tidurnya. Namun, gerakan Humaira terhenti ketika melihat Azizah yang hanya diam saja di atas tempat tidur seraya memeluk kedua lututnya. Ketika Humaira hendak melangkah menghampiri Azizah, tangan Nabila menahan gerakan Humaira.   Nabila menggelengkan kepalanya, seolah memberi isyarat kepada Humaira untuk tidak menghampiri Azizah. "Zizah butuh waktu sendiri, Ra. Nggak apa-apa, nanti juga pasti balik ceria lagi kok." bisik Nabila yang langsung diangguki oleh Humaira.   Beberapa hari terakhir mereka selalu melihat Azizah menyendiri. Bahkan ketika mereka mengobrol bersama yang lain pun—seperti tadi—Azizah memilih untuk berdiam diri dan melamun saja. Teman-temannya yang lain sudah berusaha mengajak Azizah, menghiburnya, menyemangatinya, tapi Azizah masih murung atas kesedihan yang menimpanya.   Lalu, mereka beranjak untuk segera tidur karena tengah malam harus terbangun untuk menunaikan salat tahajud. Beberapa dari mereka ada yang memilih untuk tidak tidur lagi setelah salat tahajud hanya untuk menghafalkan lantunan ayat suci Al-Qur'an. Mereka sedang berusaha untuk menghafalkannya.   Namun, mata Hawa tak kunjung terpejam. Diam-diam dia masih terisak. Memikirkan keadaan ayah dan ibunya di rumah yang entah sedang apa. Hawa ingin pulang, tapi tidak bisa. Hawa harus menyelesaikan tanggung jawabnya untuk menghafal Al-Qur'an.   Diam-diam, Hawa menutup mulutnya dengan bantal agar suara isakannya tak terdengar. Hampir setiap malam dia selalu menangis dan mengeluh tak betah berada di pesantren karena merindukan keluarganya di rumah. Pasalnya, Hawa adalah anak bungsu. Orang tuanya memanjakan Hawa, memberikan kasih sayang yang luar biasa selayaknya orang tua kepada anak. Terkadang, jika Hawa tidak bisa tidur karena takut ada monster-monster mengerikan seperti yang ada di televisi yang pernah dia tonton, Hawa akan memilih untuk menyuruh ibunya menemaninya sampai dia tertidur.   Hawa adalah anak ketiga dari dua bersaudara. Dia yang paling kecil, sedangkan kakak pertamanya sudah menikah tahun lalu. Hawa juga merindukan kedua kakak perempuannya. Ketika di rumah, Hawa menghabiskan waktu bermain bersama teman-teman. Namun, ketika di pesantren, semuanya berubah penuh aturan, tak bisa sesuai dengan keinginan Hawa.   Hawa hanya bisa diam-diam menangis karena merindukan keluarganya.   Sedangkan di tempat tidur seberangnya, Azizah pun sama, tak kunjung memejamkan matanya. Azizah hanya terdiam dengan mata terbuka sempurna. Kehilangan seorang ayah tentu sangat berat sekali bagi seorang anak. Terlebih Azizah sudah tak memiliki siapa-siapa lagi setelah ibunya yang meninggalkannya lebih dulu. Azizah kini sendirian, bahkan dia tak tahu harus melakukan apalagi ketika penyemangatnya sudah meninggalkannya untuk selama-lamanya.   Cukup lama Azizah terdiam dengan posisinya. Ketika orang-orang sudah tertidur, bahkan hanya Azizah yang paling lama bertahan membuka mata dengan sempurna. Memikirkan mengapa orang-orang yang dia sayangi harus pergi meninggalkannya.   Tak terasa, ujung mata Azizah terasa basah oleh air mata yang diam-diam menghampirinya. Azizah benar-benar merindukan kedua orang tuanya. Dulu, Azizah memiliki seorang adik saat dia masih duduk di bangku TK. Namun, beberapa minggu saat adiknya lahir, adiknya yang masih sangat bayi itu meninggal dunia karena penyakit bawaan sejak lahir. Sedangkan ketika dia mengingat adiknya, Azizah juga mengingat ibunya yang meninggal saat melahirkan sang adik.   Padahal, dulu Azizah kecil sangat senang memiliki adik. Namun, kenyataan pahit bahwa setelah adiknya lahir, sang ibu meninggalkannya untuk selama-lamanya setelah melahirkan. Tak lama setelah itu, adiknya yang masih bayi harus meninggalkannya juga.   Azizah dan ayahnya benar-benar terpukul saat itu. Azizah yang masih sangat kecil saat itu hanya menjadi penyemangat dan penguat untuk ayahnya bertahan. Azizah hidup hanya bersama ayahnya. Ayahnya yang selalu menemani Azizah, membesarkannya hingga saat ini. Mereka sama-sama saling menguatkan seiring berjalannya waktu. Namun, kini tidak lagi. Ayahnya sudah pergi untuk selama-lamanya. Kini, Azizah hanya harus menguatkan dirinya sendiri. Tanpa siapa pun.   ***  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN