Jam tujuh pagi, para santriwati baru saja menyelesaikan tugas hapalannya. Sebelum subuh mereka sudah menghapal Al-Qur'an sesuai juz yang harus mereka hapalkan. Kegiatan hapalannya ditunda beberapa saat untuk salat subuh. Usai melaksanakan salat subuh berjemaah, mereka kembali menyelesaikan hapalannya hingga pukul tujuh pagi tadi. Dilanjutkan dengan persiapan untuk melaksanakan salat sunah dhuha di mushola yang ada di pesantren. Setelah selesai, mereka sarapan bersama seperti biasa.
Namun, di sela kegiatan sarapannya, Hawa terlihat murung dan hanya memainkan sendok di piringnya. Melihat hal itu membuat teman-temannya jadi memerhatikan Hawa dan saling pandang. Mereka tahu bahwa saat hapalan tadi, Hawa yang paling banyak keliru dan melakukan kesalahan. Hawa yang tidak fokus menghapal sehingga lupa dan tersendat saat setor hapalan kepada gurunya. Ini bukan kali pertama Hawa seperti itu, melainkan sudah yang ke sekian kali. Hawa selalu kesulitan untuk mengingat dan harus ratusan kali untuk melafalkannya, bahkan mungkin ribuan.
"Wa, kok nggak dimakan?" tanya Humaira setelah mengunyah makannnya. Dia menatap Hawa yang duduk di sampingnya. Semua santriwati sedang sibuk dengan kegiatan sarapannya pagi ini.
Hawa menghela napas panjang, menggeleng pelan. "Aku nggak nafsu makan, Ra." balas Hawa pelan. Dia menatap nanar nasi dan lauk yang ada di piringnya.
"Makan, Wa. Nanti kamu sakit, lho." ujar Aisyah yang kini melihat ke arah Hawa.
"Kamu, tuh, kenapa sih, Wa, selalu aja cari perhatian?" Suara Lala membuat teman-teman satu mejanya kompak menoleh bersamaan. "Makan, ya, tinggal makan. Harusnya kamu, tuh, bersyukur masih bisa makan. Harusnya kamu, tuh, mikir, Wa, masih banyak orang yang belum bisa makan. Dari kemarin kamu, tuh, cari perhatian mulu. Maunya apa sih, Wa? Hidup ini nggak selalu tentang kamu ya, Wa. Nggak usah berasa dispesialkan deh. Kita ini sama, lagi ada di pesantren." ucap Lala melirik Hawa yang kini hanya menunduk.
"La, udah, La. Nanti kedengeran Umi Maryam, kan, nggak enak. Kita lagi makan masa ribut-ribut." ucap Aisyah yang duduk di sebelah Lala.
Lala hanya memutar bola matanya jengah, lalu kembali menghabiskan makanannya. Sebenarnya ucapan Lala itu selalu berhasil menampar teman-temannya. Namun, cara pengucapan dan cara bicara Lala yang salah dan selalu bersikap seenaknya tanpa memikirkan perasaan orang lain. Dari banyaknya teman, memang Lala yang selalu protes. Lala tidak akan bilang suka jika dia tidak menyukainya. Lala selalu jujur dan selalu mengatakan apa yang ingin dia katakan, tak peduli dengan perasaan orang lain yang bisa saja sedang sensitif.
Hawa hanya bisa diam saja seraya menunduk. Melihat itu, Humaira menepuk punggung tangan Hawa berkali-kali.
"Nggak usah dimasukin ke hati ya, Wa. Nggak apa-apa kok, tapi kamu makan, Wa. Kalau kamu sakit, Umi Maryam repot nanti, Wa." ucap Humaira dengan lembut. Dia berbicara dengan pelan, berusaha untuk memahami Hawa dan agar tak menyakiti hati temannya itu. "Bentar lagi, kan, kita ada kelas, Wa. Nanti nggak fokus belajar kalau kamu nggak sarapan."
Hawa menghela napas panjang, dia melihat piring teman-temannya yang sudah habis. Matanya menatap piring miliknya yang isinya masih penuh. Sedari tadi Hawa belum menyentuh makanannya sedikit pun. Dia kepikiran dengan hapalan beberapa saat lalu.
"Aku kepikiran hapalan tadi, Ra." cicit Hawa pelan membuat Humaira menghela napas. "Aku selalu kesusahan buat menghapal. Aku banyak salah sampai nggak bisa fokus. Bahkan dari aku masuk pesantren ini, aku baru bisa menghapal tiga juz karena harus mengulang terus." cerita Hawa, bahunya merosot, matanya terlihat lelah.
"Nggak apa-apa, Wa. Nggak ada yang instan di dunia ini. Nggak ada yang mudah, Wa. Umi Maryam, kan, pernah bilang, kalau kita sungguh-sungguh, ikhlas, dan ridho untuk menghafal Al-Qur'an, insya Allah dipermudahkan jalannya, Wa. Kamu jangan patah semangat. Umi, kan, selalu bilang sama kita, meski kita susah payah menghapal Al-Qur'an, tapi insya Allah surga balasannya, Wa. Kita sama-sama berjuang, insya Allah kalau kamu yakin pasti bisa kok." ucap Humaira tersenyum menatap Hawa. "Ya udah, sekarang kamu makan dulu, Wa. Bentar lagi kita harus masuk ke kelas."
Hawa menghela napas lagi, kemudian mengangguk dan memakan makanannya. Beberapa santriwati yang lain mulai antre untuk mencuci piring bekas makan masing-masing. Memang di Pesantren An-Nur, semuanya harus dilakukan sendiri secara mandiri. Mulai dari mencuci piring, mencuci pakaian, membersihkan tempat tidur, dan kebutuhan segala hal yang secara pribadi diatur oleh masing-masing individu. Pesantren hanya memberikan fasilitas makan tiga kali sehari, belajar kegiatan mengajar seperti sekolah pada umumnya dan madrasah, mengaji bersama, dan kegiatan di masjid.
Ada beberapa tempat cuci piring yang tersedia dan para santriwati dipersilakan untuk mengantre dengan tertib.
"Anak-anak, kalau sudah selesai semuanya langsung ke kelas, ya." seru Fatimah, pengurus sekaligus pengajar di Pesantren An-Nur.
"Baik, Bu." jawab serentak para santriwati.
Ketika Humaira berdiri untuk mengantre, seseorang yang sedang berjalan dengan meraba-raba jalan menggunakan tongkatnya muncul ke arahnya.
"Cahaya, kok ada di sini? Mau ke mana?" tanya Humaira keluar dari antrean dan membantu Cahaya berjalan.
"Ini Kakak siapa?" Tangan Cahaya meraih sesuatu yang bisa digapainya. Berharap mengetahui siapa yang sedang berbicara dengannya.
Humaira tersenyum, menuntun Cahaya. "Aku Humaira." jawab Humaira membuat Cahaya menganggukan kepalanya. "Cahaya mau ke mana? Kok ke dapur?" tanya Humaira lagi.
"Cahaya lagi nyari Umi, Kak." ucap Cahaya membuat Humaira ber-oh ria.
Cahaya adalah Umi Maryam. Cahaya seorang gadis kecil berusia delapan tahun yang memiliki d*********s, yakni seorang tunanetra. Cahaya tidak bisa melihat sejak lahir. Namun, Cahaya adalah seorang penghapal Al-Qur'an. Bahkan tak jarang para santriwati meminta diajarkan oleh Cahaya ketika mereka kesulitan menghapal.
"Umi nggak ada di sini, tadi sih Umi ada di kantor." ucap Humaira. "Cahaya kalau mau ke Umi, ayo Kakak anterin." Humaira menawarkan dirinya untuk mengantarkan Cahaya.
"Oh, gitu, ya. Nggak apa-apa, Kak Humaira. Cahaya bisa sendiri kok. Makasih, ya, Kak." ucap Cahaya hendak berbalik, tapi ketika melangkah, Cahaya menabrak meja yang ada di sebelahnya membuat Humaira segera membantu Cahaya untuk berdiri.
Melihat hal itu membuat para santriwati yang lain jadi menoleh ke arah mereka.
"Cahaya!" seru beberapa santriwati terkejut melihat Cahaya terjatu dan beberapa dari mereka jadi menghampiri Cahaya membantunya.
"Cahaya nggak apa-apa? Mana yang sakit?" tanya Humaira khawatir. Namun, Cahaya justru tertawa pelan dan menggeleng.
"Nggak sakit kok, Kak. Cahaya nggak kenapa-kenapa." balas Cahaya tersenyum setelah berdiri.
Humaira menghela napas, dia khawatir Cahaya akan terjatuh lagi. "Ya udah, Kakak antar Cahaya ketemu Umi, ya. Nanti Cahaya jatuh lagi." Humaira menuntun Cahaya yang kini menganggukan kepalanya.
Sebelum pergi, Humaira berseru pada Aisyah. "Syah, nitip dulu, ya. Tolong simpan aja di atas meja, nanti aku cuci sendiri. Aku mau nganter Cahaya dulu."
"Oke, Ra!" balas Aisyah mengangkat jempolnya.
Humaira berjalan keluar dapur seraya menuntun Cahaya. Gadis kecil itu sangat periang dan menggemaskan. Cahaya juga anak yang pintar dan sopan kepada siapa pun.
"Kakak padahal nggak usah antar Cahaya. Kakak pasti mau masuk ke kelas, kan?" tanya Cahaya dengan tangannya yang masih memegang tongkat untuk meraba-raba jalan.
Humaira tersenyum kecil. "Masih ada waktu kok buat nganter Cahaya. Nggak apa-apa." balas Humaira membuat Cahaya ikut tersenyum.
"Kak Humaira baik banget sama Cahaya. Maaf, ya, Kak, tadi Cahaya sempet nggak kenal suara Kakak. Soalnya Cahaya suka lupa." Cahaya tertawa kecil membuat Humaira balas terkekeh.
"Nggak apa-apa kok, Cahaya." balas Humaira mengusap puncak kepala Cahaya. Mereka hanya terpaut usia lima tahun. Namun, melihat Cahaya membuat Humaira jadi teringat dengan adiknya di rumah. "Kakak juga punya adik seumuran kayak Cahaya. Jadi, tiap Kakak lihat Cahaya, berasa lihat adik Kakak sendiri."
"Oh, iya?" Cahaya antusias. "Adik Kakak namanya siapa?" tanya Cahaya penasaran.
"Namanya Khadijah."
"Wah, nama yang cantik dan bagus!" seru Cahaya tersenyum lebar.
Entah mengapa, Cahaya selalu ceria meskipun memiliki keterbatasan fisik. Cahaya tidak pernah mengeluh sedikit pun. Bahkan saat dia terjatuh seperti tadi pun, Cahaya tidak mengeluh atau mengaduh. Umi Maryam mendidik Cahaya dengan begitu baik.
Mereka sudah sampai di kantor para pengurus pesantren yang ruangannya tidak begitu luas. Humaira mengetuk pintu ruangan dan mengucapkan salam.
Tak lama kemudian, Umi Maryam keluar dan membalas ucapan salam Humaira dan Cahaya.
"Lho, Cahaya kok ke sini?" tanya Umi Maryam, lalu beralih menatap Humaira. "Diantar Kak Humaira, ya?"
"Iya, Umi. Tadi Cahaya nyari Umi ke dapur, tapi nggak ada. Soalnya tadi Umi bilang, kan, mau ke dapur." jawab Cahaya yang sudah menggandeng tangan Maryam. "Tadi ada telepon, Umi. Ini HP Umi ketinggalan. Kayaknya penting, Cahaya nggak sempet angkat teleponnya." Cahaya merogoh ponsel jadul milik Umi Maryam dan memberikannya.
Umi Maryam memang hanya memakai handphone jadul, bukan android. Dia biasanya menggunakan ponsel untuk kepentingan komunikasi pesantren dan lain-lain.
"Oalah, Umi lupa. Terima kasih, ya, Cahaya." Umi Marya menerima ponsel dari Cahaya dan mengusap puncak kepala anaknya. Kemudian dia menatap Humaira yang masih berdiri di sebelahnya. "Terima kasih juga Humaira sudah mengantar Cahaya ke sini. Kamu boleh ke kelas sekarang, sudah mau masuk. Biar Cahaya nanti Umi yang antar ke rumah." Umi Maryam tersenyum.
Humaira menganggukan kepala, mencium tangan Umi Maryam. "Iya Umi, sama-sama. Kalau gitu, Humaira ke kelas dulu, ya, Mi." Humaira menatap Cahaya. "Cahaya, Kakak pamit dulu, ya." ujar Humaira tersenyum.
"Iya, Kak. Makasih, ya, Kak Humaira." balas Cahaya tersenyum.
"Sama-sama." Usai mengatakan itu, Humaira berlalu.
Maryam menuntun Cahaya untuk kembali ke rumah. Pesantren dan rumah mereka berada di satu tembok yang sama, sangat dekat dan masih berada dalam lingkungan pesantren.
"Umi, Kak Humaira baik banget sama Cahaya." Cahaya berapi-api, menggenggam tangan uminya sambil berjalan.
"Oh iya?" Umi Maryam menanggapinya dengan antusias. "Alhamdulillah kalau gitu, Cahaya dikeliling orang-orang baik. Masya Allah..."
***