Part 3

1688 Kata
Setelah kelas selesai, Aisyah langsung izin kepada Umi Maryam untuk pergi bekerja. Biasanya Aisyah akan pergi bekerja setelah salat subuh dan hapalan, lalu dia akan mengikuti kelas di pagi hari. Namun, hari ini majikannya baru pulang dari luar kota hingga membuat jam kerja Aisyah diundur. Sebenarnya, jam kerja Aisyah tidak menentu. Bisa jadi dia akan bekerja pagi hari sekali, siang, atau bahkan sore. Majikannya tidak memaksakan hal itu dan justru memberikan toleransi pada Aisyah karena harus mengikuti kegiatan pembelajaran di pesantren. Aisyah bisa bekerja di waktu kapan saja asalkan setiap hari Aisyah harus datang ke rumah majikannya untuk mencuci dan menyeterika pakaian. Aisyah bersyukur bisa mendapatkan majikan yang baik. Majikannya tak lain adalah tetangganya sendiri yang terkenal kaya raya di dekat rumahnya. Membantu mencari uang untuk keluarga membuat Aisyah harus membagi waktu sekolah dengan bekerja. Aisyah sangat beruntung karena diberikan kesempatan melakukan dua hal itu setiap hari dengan baik. Meski kadang Aisyah merasa sangat lelah, terlebih dia juga harus menyetorkan hapalan-hapalannya membuat Aisyah terkadang belajar sembari menunggu pakaian yang sedang diputar oleh mesin cuci. Aisyah anak yang sangat prihatin, dia tahu bahwa kehidupannya tidak seperti kebanyakan remaja pada umumnya. Aisyah sudah hidup perih sejak kecil. Hidupnya sederhana bersama bapak, ibu, dan adik-adiknya. Kini Aisyah sudah berada di rumah majikannya dan mulai mencuci pakaian. Majikannya itu memiliki anak banyak yang membuat cucian keluarganya pun tak kalah banyak. Maka dari itulah tenaga Aisyah dibutuhkan ketika Aisyah mencari pekerjaan. "Syah, nanti kamu tolong cuciin pakaian yang ada di kamar Nunu, ya. Pakaian bekas kemarin nginep di luar kota. Lumayan banyak juga karena beberapa kali ganti pakaian. Tolong, ya, Syah." Sania, wanita paruh baya itu kini berbicara dengan Aisyah yang sedang sibuk memasukkan pakaian ke mesin cuci. Melihat majikannya kini berada di dapur membuat Aisyah mengangguk atas perintah majikannya. "Baik, Bu." Mesin cuci dinyalakan. Sembari menunggu, Aisyah melakukan perintah yang majikannya katakan tadi. Saat hendak melewati majikannya, suara Sania kembali terdengar. "Oh iya, Syah, tadi saya beliin kamu oleh-oleh. Untuk adik-adik kamu di rumah, ya. Nanti setelah pekerjaan kamu selesai, jangan lupa dibawa oleh-olehnya. Sudah saya pisahkan untuk kamu bawa ke rumah." "Wah, nggak usah repot-repot padahal, Bu." "Nggak apa-apa, sekalian beli oleh-oleh buat keluarga juga. Dan sekalian untuk kamu." Aisyah tersenyum dan mengangguk sopan. "Terima kasih, ya, Bu." "Sama-sama. Oh iya, kamu sudah makan, Aisyah?" Sania berhenti mengeluarkan barang-barang dari plastik. Sepertinya barang bawaan sepulang dari luar kota. "Alhamdulillah, udah kok, Bu, tadi sarapan di pondok." balas Aisyah. "Mau saya bantu beres-beres dulu, Bu?" tanya Aisyah mendekat, menawarkan bantuan. Sania mengibaskan tangan. "Nggak usah, kamu selesaikan saja pekerjaan kamu. Di sini, pekerjaan kamu hanya mencuci dan menyeterika saja. Nggak usah capek-capek. Masih muda kamu tuh, Syah." balas Sania geleng-geleng kepala. "Kamu makan dulu sana, Syah. Tadi di jalan saya beli makanan banyak, Bi Ijah nggak masuk hari ini karena anaknya sakit, jadi nggak bisa masak dan beres-beres rumah. Kamu makan, kan, pasti pagi doang di pondok. Sekarang sudah siang, waktunya makan siang dong, Syah. Daripada kamu sakit, apalagi cucian juga banyak, mendingan makan dulu. Kamu itu nggak usah sungkan-sungkan sama saya, Syah. Kalau ada apa-apa bilang, kalau saya bisa bantu pasti saya bantu. Dan kalau soal makanan, kamu ambil saja kalau mau makan." Mendengar hal itu membuat Aisyah merasa tidak enak dengan semua kebaikan yang majikannya berikan kepada Aisyah. Sebenarnya sudah ada asisten rumah tangga di rumah Sania bahkan sebelum Aisyah bekerja menjadi tukang cuci di rumahnya. Yang sebrnarnya asisten rumah tangga juga sudah mencakup pekerjaan mencuci dan menyeterika pakaian. Namun, ketika Sania mendengar kabar Aisyah yang sedang mencari pekerjaan dari Bi Ijah, Sania merasa iba dengan kisah hidup Aisyah yang dia dengar. Sejak saat itulah, Sania menawarkan sebuah pekerjaan kepada Aisyah yang tak begitu menguras banyak waktu untuk Aisyah sehingga masih bisa menyeimbangkan waktu untuk tetap sekolah. "Makasih banyak, ya, Bu. Ibu udah baik banget sama saya. Sekali lagi terima kasih, ya, Bu—aduh!" Aisyah relfeks mengusap keningnya yang terkena pesawat mainan. Dia menemukan seorang anak laki-laki yang tak lain dan tak bukan adalah Roni, anak bungsu majikannya yang sangat nakal sekali. "Roni!" seru Sania ketika Roni justru menertawakan Aisyah yang mengaduh karena keningnya terkena pesawat mainan miliknya. "Rasain!" Roni menjulurkan lidahnya kepada Aisyah yang masih mengusap keningnya. "Roni!" Sania berdiri, menatap Roni dengan marah. Ini bukan kali pertama Roni jahil dan nakal kepada Aisyah. Bahkan ketika Aisyah sedang melakukan pekerjaannya pun, sering sekali diganggu oleh bocah berusia lima tahun itu. Aisyah hanya bisa bersabar, dia tidak bisa marah kepada Roni karena tahu bahwa Roni adalah anak majikannya. Aisyah hanya sabar, pelan-pelan memberitahu Roni bahwa yang dilakukannya tidak baik, tetapi justru Roni hanya mengabaikannya. Lagi pula, Roni masih anak-anak. Aisyah harus memakluminya karena dia lebih tua dibandingkan dengan Roni. "Minta maaf sama Kak Aisyah! Cepat, Roni!" seru Sania dengan suara tegas membuat Roni mengentikan tawanya dan menatap Sania. "Kamu itu jahil sekali, orang lagi diam dijahilin. Mama nggak pernah ngajarin kamu seperti itu, Roni. Jangan nakal! Cepat minta maaf sama Kak Aisyah." suruh Sania membuat Roni menggelengkan kepalanya. "Nggak mau!" balas Roni kemudian mengambil pesawat mainannya yang terjatuh dan melengos pergi begitu saja membuat Sania kesal. "Roni!" Suara Sania terdengar di seluruh penjuru dapur yang luas. Sania mengentikan kegiatan beres-beresnya untuk menemui Roni. "Syah, tolong maafin Roni, ya. Saya mau ngomong sama dia dulu. Bener-bener nakal banget!" Sania geleng-geleng kepala mengingat tingkah anak bungsunya itu. Aisyah hanya menunduk saja ketika Sania melewatinya. Aisyah menghela napas, mengembuskannya perlahan. Meski dia memiliki majikan yang sangat baik kepadanya, tetapi Aisyah harus bersabar ketika menghadapi anak majikannya yang nakal dan jahil. Aisyah beranjak untuk mengambil pakaian di kamar anak majikannya yang lain. Berharap bahwa Roni tidak akan mengganggunya lagi. Aisyah mengembuskan napas, dia harus tetap bertahan dengan pekerjaannya. Justru seharusnya dia bersyukur karena masih diberikan kesempatan untuk bekerja tanpa harus menggunakan ijazah apa pun karena dia masih sangat dini. "Semangat, Syah!" ucap Aisyah pada dirinya sendiri. *** "Jangan lupa, malam ini kita akan kedatangan Ustadzah Laila, kalian semua tolong bantu persiapkan semuanya, ya, karena malam ini kita akan mendengarkan kajian dakwah dari beliau dan juga mengaji bersama. Tolong bersikap sopan dan santun, ya, anak-anak." Mata Maryam tertuju pada perempuan yang kini melipat tangannya di dadaa, memalingkan wajah ke arah lain. Melihat hal itu membuat Maryam menghela napas, kemudian tersenyum kecil. "Lala?" panggilnya membuat perempuan itu menoleh dan santriwati lainnya jadi ikut menoleh melihat Lala. Lala mengerjapkan matanya, menghela napas. "Iya, Umi?" "Dengarkan apa yang Umi katakan tadi?" tanya Maryam membuat Lala mengangguk. "Dengar, Umi." "Jangan berbuat ulah, tetap jaga sopan santun. Bisa, ya, Lala?" tanya Maryam sembari tersenyum membuat Lala hanya mengangguk dengan wajah malasnya. Di antara banyaknya santriwati di pesantren yang dikelola olehnya, mungkin hanya Lala yang paling berbeda dengan santriwati lainnya. Cara Lala bersikap, berbicara, dan berinteraksi dengan orang lain membuatnya tak menunjukkan sedikit pun bahwa dia adalah seorang santriwati. "Untuk yang lain paham, ya, semuanya?" Tatapan Maryam terarah pada santriwati yang lainnya. "Paham, Umi." balas mereka serentak. "Ya sudah, sekarang kita mulai mempersiapkan semuanya, ya. Beres-beres di aula untuk pengajian malam ini." Satu per satu santriwati mulai melaksankan tugasnya yang sudah dibagi masing-masing individu untuk mempersiapkan acara pengajian malam ini bersama Ustadzah Laila. Namun, sedari tadi Humaira memerhatikan Hawa di sebelahnya yang terus diam sejak pagi tadi. Humaira paham bahwa Hawa merindukan keluarganya di rumah. Humaira juga bisa merasakan hal yang sama. Dia bertanya-tanya, bagaimana kabar kedua orangtuanya dan adiknya di rumah. Namun, Humaira harus menyelesaikan tanggung jawabnya sebagai seorang santriwati. Ada mimpi yang harus Humaira wujudkan untuk diberikan kepada orangtuanya. "Ayo, Wa!" ajak Humaira membuat Hawa terpaksa berdiri dan melangkah lunglai. Sedangkan di belakangnya saat mereka ke luar dari ruangan, Azizah juga menunjukkan wajah serupa. Wajah tidak semangat yang dia tunjukkan beberapa hari terakhir setelah kepergian ayahnya. Mungkin hati Azizah meninggalkan luka dan duka yang sangat dalam hingga membuatnya sulit untuk sembuh. Ketika Humaira dan teman-teman yang lain berjalan menuju aula dengan membawa alat-alat kebersihan, seorang wanita dengan gamis navy memanggil Humaira membuat Humaira terpisah dengan teman-temannya yang lain. "Ada apa, Ibu?" tanya Humaira ketika sudah berada di hadapan wanita itu. "Di kantor, ada keluarga kamu. Mereka ingin bertemu dengan kamu. Ikut Ibu, yuk!" ajak Fatimah merangkul pundak Humaira. "Ayah dan Ibu Humaira, Bu?" tanya Humaira yang masih tidak percaya mendengarnya. "Iya, ada adik kamu juga." "Tapi, Bu, kok mereka bisa ke sini? Padahal, kan, ini belum waktunya jenguk para santriwati, Bu?" tanya Humaira membuat Fatimah menggangguk. "Memang betul, seharusnya jadwal jenguk para santriwati itu bulan depan. Tetapi, sebaiknya kamu tanyakan langsung saja, ya, kepada Ibu dan Ayah kamu, Humaira. Sekarang kamu ikut Ibu ke kantor karena mereka sudah menunggu di sana." Humaira mengikuti Fatimah menuju kantor. Sebenarnya Humaira sedikit bingung dan heran karena orangtuanya datang untuk menjenguknya. Humaira merasa senang, tentu saja. Tetapi Humaira tahu bahwa saat ini tidak ada jadwal besuk santriwati oleh para orangtua. Biasanya, orangtua hanya diperbolahkan menjenguk tiga bulan sekali saja. Selebihnya, tidak boleh kecuali menitipkan sesuatu untuk anak-anak mereka saja. Dan, ini adalah bulan kedua Humaira berada di pesantren. Tentu saja jadwal besuknya adakah bulan depan. Dengan banyak pertanyaan yang muncul di kepalanya, Humaira tetap mengikuti Fatimah hingga ke kantor tanpa bertanya lagi. Mungkin memang ada hal penting yang ingin disampaikan kedua orangtuanya kepada Humaira. Saat sudah sampai di kantor, Humaira menemukan ayah, ibu, dan adiknya yang sedang berbincang dengan Maryam. Melihat hal itu Humaira berlari dan segera menghampiri mereka. Wajah Humaira terlihat sangat gembira sekali. Humaira mencium tangan ayah dan ibunya bergantian, lalu memeluk adik perempuannya, Khadijah. "Nah, Humaira sudah datang. Kalau begitu silakan, saya permisi dulu, ya, Pak, Bu." ujar Maryam meninggalkan Humaira bersama keluarganya di taman kecil depan kantor. "Terima kasih, Umi." Humaira menatap ayah dan ibunya bergantian dengan senyuman yang merekah di bibirnya. "Ayah dan Ibu ada apa ke sini sekarang? Padahal, kan, jadwal buat jenguk aku itu bukan depan, Yah, Bu. Atau jangan-jangan kalian udah kangen banget sama Humaira, ya?" Humaira tersenyum lebar membuat ayah dan ibunya ikut tersenyum. "Iya, Kak! Khadijah kangen banget sama Kakak. Di rumah sepi, Khadijah nggak ada temannya. Tapi di rumah kadang juga suka berisik kalau Ayah sama Ibu bertengkar." Senyuman Humaira perlahan memudar mendengar penuturan Khadijah. "Bertengkar?" Humaira menatap ayah dan ibunya yang juga sama terkejutnya dengan Humaira. "Maksudnya, Yah, Bu?" ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN