"Bulan depan, kami nggak bisa jenguk kamu bareng-bareng. Mungkin bulan depan, hanya di antara kami yang akan menjenguk kamu, Humaira."
Perkataan sang ayah membuat Humaira bingung. Dia tidak mengerti maksud dari ucapan ayahnya. Humaira tidak tahu apa yang ingin mereka sampaikan kepadanya. Humaira benar-benar bingung, terlebih lagi ketika mendengar ucapan adiknya beberapa saat lalu.
"Maksudnya gimana, Yah?" tanya Humaira mengerjapkan matanya.
Perasaan Humaira sudah tidak enak. Merasa ada sesuatu terjadi hingga membuat kedua orangtuanya menjenguknya saat ini. Humaira menatap wajah kedua orangtuanya bergantian. Sedangkan adiknya sedang bermain dengan kucing-kucing yang ada di sekitaran taman pesantren.
Sang ayah menghela napas panjang, sedangkan ibunya hanya diam menunduk saja. Ada jeda beberapa saat sebelum sang ayah kembali berbicara.
"Humaira," panggil ayahnya membuat Humaira menunggu apa yang akan dikatakan oleh ayahnya. "Ayah dan Ibu nggak bisa bersama-sama lagi. Kami ... kami harus berpisah."
Sungguh, Humaira tidak bisa memahami situasinya saat ini. Apa yang dikatakan oleh ayahnya barusan membuat Humaira benar-benar tidak mengerti dan kebingungan. Apa yang sebenarnya terjadi?
"Kenapa, Yah? Kenapa Ayah dan Ibu nggak bisa bersama-sama lagi?" tanya Humaira menatap ayah dan ibunya bergantian. "Memangnya Ayah dan Ibu mau ke mana? Ayah harus pergi ke luar kota? Atau—"
"Nggak, Humaira." Kali ini ibunya bersuara menghentikan pertanyaan yang terlontar dari mulut putri sulungnya. Ibunya menggelengkan kepala menatap Humaira. Ada tatapan yang sulit untuk Humaira jelaskan ketika menatap mata ibunya. Tak ada binar bahagia dan ceria yang selalu ibunya tunjukkan, seolah-olah ada awan mendung di pelupuk mata ibunya. "Ayah dan Ibu sayang sekali sama kamu dan Khadijah. Tapi, Ayah dan Ibu terpaksa harus berpisah. Kami akan segera bercerai, Humaira. Maafkan, Ibu. Maaf karena kamu harus tahu hal ini yang menyakitkan buat kamu. Ibu nggak ada pilihan lain, Humaira."
Rasa-rasanya, lidah Humaira terasa kelu untuk membalas ucapan ibunya. Butuh waktu beberapa saat hingga Humaira memahami makna yang diucapkan kedua orangtuanya. Perlahan, rasa sakit menjalar ke hatinya. Ada sesuatu yang menikam dadanya kuat-kuat dan terasa sangat menyesakkan. Humaira tidak mengerti mengapa kalimat seperti itu dengan mudah ke luar dari mulut kedua orangtuanya.
"Bercerai?" tanya Humaira memastikan bahwa dia tidak salah mendengar.
Humaira hanyalah seorang gadis remaja berusia tiga belas tahun. Gadis polos yang tak tahu banyak hal. Namun, Humaira pernah mendengar kata sebuah perceraian. Di mana maksud dari kata itu adalah kedua orangtuanya tak akan bisa sama-sama lagi, berpisah rumah, berpisah dan mungkin tak akan bisa bersama lagi. Humaira pernah mendengar kata cerai saat dia tak sengaja mendengar orang-orang di sekitarnya mengatakan hal itu.
Humaira memang tidak tahu betul apa itu arti perceraian yang sesungguhnya. Namun, Humaira tahu bahwa perceraian sama saja berarti membuat keluarganya hancur berantakan dan saling berpisah satu sama lain.
Degup jantung Humaira berpacu begitu cepat dari biasanya. Ada sesuatu hal menakutkan yang Humaira rasakan saat ini. Dia tidak mengerti mengapa semuanya terlalu tiba-tiba. Padahal, dua bulan lalu sebelum Humaira berada di pesantren, keadaan keluarganya baik-baik saja. Harmonis, bahagia, tak ada masalah, dan mungkin sebagian orang akan merasa iri ketika melihat kebersamaan keluarganya. Bahkan, saat Humaira datang ke pesantren pun, dia masih merasakan dengan jelas ketika dia harus berpisah dengan kedua orangtuanya karena harus menyelesaikan sekolah di tempat yang baru. Humaira masih merasakan pegangan erat dan pelukan dari orangtuanya yang harmonis ketika mereka berpisah di pesantren. Namun kini? Mengapa begitu cepat semuanya berubah dan tak lagi sama? Mengapa perceraian harus terjadi pada orangtuanya?
"Aku nggak ngerti kenapa Ayah dan Ibu bilang kayak gitu sama aku. Memangnya kenapa Ayah dan Ibu harus bercerai? Bukankah keluarga kita baik-baik aja, Yah, Bu? Bukankah Ayah dan Ibu juga saling menyayangi? Kenapa harus bercerai?"
Ayah dan ibunya hanya terdiam ketika suara Humaira terdengar bergetar. Mata Humaira berkaca-kaca. Dalam satu kedipan, air matanya siap untuk jatuh.
Humaira berusaha mencerna apa yang didengarnya. Berharap bahwa dia salah dengar atau berharap bahwa semua ini hanyalah mimpi buruk yang tak akan pernah terjadi.
Sayangnya, suara ayahnya kembali terdengar. Meyakinkan Humaira bahwa dia tidak salah mendengar dan semuanya nyata.
"Suatu hari, kamu akan mengerti, Humaira. Nggak sekarang, kamu masih terlalu dini untuk tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kamu harus tahu, Humaira, bahwa yang terlihat baik-baik saja belum tentu sesuai dengan kebenarannya. Ayah tahu ini sangat mengejutkan untuk kamu, tapi Ayah nggak mungkin menyembunyikannya sama kamu. Kamu anak Ayah dan Ibu, kamu berhak tahu, tapi tidak dengan cerita kami. Ini semua terlalu rumit untuk kamu ketahui, Humaira. Kamu nggak harus tahu sekarang, tapi seiring berjalannya waktu, kamu pasti akan mengerti."
"Mengerti? Gimana caranya aku ngerti kalau Ayah dan Ibu nggak kasih tahu aku apa alasannya? Kenapa, Yah, Bu? Memangnya nggak ada cara lain selain kalian harus bercerai? Bukannya Ayah dan Ibu selalu janji sama aku untuk terus sama-sama. Kita akan terus sama-sama. Gitu, kan, Yah, Bu?" Humaira mengusap air mata yang jatuh ke pipinya.
Humaira tidak boleh menangis. Dia masih berharap bahwa ini semua hanyalah mimpi buruk yang tak pernah dia inginkan. Humaira berharap bahwa dia hanya bermimpi, itu saja.
"Ini terlalu tiba-tiba untuk aku, Yah, Bu. Dua bulan lalu sebelum aku ke pesantren, Ayah dan Ibu masih bersama-sama, harmonis, bahkan kita sempet jalan-jalan sebelum aku ke sini. Ini nggak seperti yang aku bayangkan selama ini. Aku nggak tahu apa yang terjadi sama Ayah dan Ibu selama aku nggak ada di rumah. Ayah dan Ibu udah bohong sama aku. Ayah dan Ibu selalu bilang kalau janji hadir untuk ditepati, tapi kenapa janji Ayah dan Ibu justru diingkari?" Sekuat apa pun Humaira menahan air matanya, pada akhirnya tetap menangis juga. Humaira menatap wajah kedua orangtuanya bergantian. Apakah tidak ada harapan sama sekali untuk Humaira?
Humaira mengusap air matanya lagi. "Kenapa, Ayah? Kenapa, Bu?" Suara Humaira bergetar pelan.
Ada rasa sesak yang terasa sangat memilukan. Seperti ada ribuan belati yang menusuk tepat di ulu hatinya. Humaira tidak mengerti permasalahan orang dewasa. Humaira tidak mengerti mengapa semuanya terlalu tiba-tiba bahkan ketika Humaira belum mempersiapkan apa-apa.
Humaira selalu berpikir bahwa keluarganyalah yang paling bahagia di dunia ini. Keluarganyalah yang paling harmonis di antara keluarga lain. Namun, kenyataan pahit dalam satu kalimat saja berhasil mematahkan semuanya.
"Ayah, Ibu! Aku tadi—lho, Kakak kenapa nangis?" Tatapan ceria dan binar mata Khadijah perlahan memudar ketika tak sengaja menatap wajah kakaknya yang sedang menangis.
Cepat-cepat Humaira menghapusnya dan terkejut dengan kedatantan Khadijah, padahal tadi dia melihat Khadijah sedang asyik bermain dengan kucing-kucing yang ada di taman pesantren.
"Kakak kenapa?" Khadijah berjalan mendekat, dia membawa beberapa bunga yang sepertinya sengaja dia petik dari taman. "Ayah, Ibu, kok Kakak nangis sih? Kenapa?" tanya Khadijah polos.
Khadijah bahkan mengurungkan niatnya untuk menunjukkan bunga-bunga yang indah di tangannya kepada keluarganya. Raut wajah Khadijah berubah khawatir ketika melihat Humaira menangis.
Tak kuasa menjawab pertanyaan sang anak, ibunya menundukkan kepala dengan mata berkaca-kaca. Menahan air mata yang siap tumpah dalam sekali kejapan mata. Melihat hal itu membuat pria di sampingnya menghela napas dan menarik Khadijah untuk mendekat.
"Khadijah, Kakak Humaira nggak kenapa-kenapa kok. Kakak itu pasti kangen sama Ayah dan Ibu. Kakak pasti terharu karena bisa ketemu sama kita lagi."
"Tapi kenapa Kakak harus nangis, Ayah?" tanya Khadijah kembali menatap Humaira yang hanya diam saja dengan wajah memerah.
Mendengar hal itu membuat Humaira memaksakan senyumnya. Humaira menarik dua sudut bibirnya agar terangkat sempurna. Meyakinkan sang adik bahwa dia baik-baik saja.
"Kakak nangis karena kangen banget sama Khadijah, Ayah, dan Ibu. Kakak nggak kenapa-kenapa kok." ujar Humaira tersenyum membuat Khadijah mengerjapkan matanya, kemudian mendekat untuk duduk di sebelahnya.
Khadijah memeluk Humaira dari samping dengan erat. "Khadijah juga kangen banget sama Kakak! Kakak kapan sih bisa pulang dan main lagi sama Khadijah di rumah?" Tatapan Khadijah kini teralihkan pada orangtuanya. "Ayah, Ibu, habis ini Kakak bisa ikut pulang bareng kita, kan?" tanyanya antusias.
Sebuah gelengan kepala ayahnya membuat ekspresi wajah Khadijah berubah cemberut. "Nggak, Khadijah. Kakak harus tetap sekolah di sini, Kakak belum bisa pulang." ujar sang ayah menjelaskan.
"Yah, Khadijah nggak ada temannya lagi dong. Khadijah takut kalau Ayah dan Ibu berantem lagi kayak kemarin-kemarin. Kan, kalau ada Kakak, Khadijah nggak takut lagi." ujar Khadijah membuat ketiga orang di sana jadi terdiam mendengarnya.
Mendengar perkataan Khadijah membuat Humaira bisa menebak apa yang terjadi selama dia tak ada di rumah.
"Ayah dan Ibu jangan berantem lagi, ya." ujar Khadijah menatap kedua orangtuanya bergantian.
Ibunya hanya tersenyum mengangguk membuat helaan napas ke luar dari mulut Humaira. Humaira meminta Khadijah untuk kembali ke taman dan tak banyak bertanya lagi, Khadijah kini sudah bermain ke taman.
Humaira terdiam, begitu pun kedua orangtuanya. Humaira tidak tahu bagaimana perasaan kedua orangtuanya ketika harus memberitahu Humaira bahwa mereka akan bercerai. Humaira tidak tahu apa yang ada di pikiran ayah dan ibunya sampai bisa berpikir bahwa bercerai adalah jalan yang terbaik.
"Maafin Ibu, Humaira." ujar ibunya ketika Humaira hanya diam saja.
"Ayah juga minta maaf, ini semua salah Ayah, Humaira." ucap sang ayah membuat Humaira perlahan mendongak.
"Apa kata maaf dari Ayah dan Ibu bisa bikin kalian nggak jadi bercerai?" tanya Humaira yang lagi dan lagi hanya membuat kedua orangtuanya diam. "Kalau begitu, jangan minta maaf sama Humaira. Aku nggak tahu apa penyebab Ayah dan Ibu akan bercerai secepat ini. Kalau aku marah, apa itu akan membuat Ayah dan Ibu mengubah keputusan untuk nggak bercerai?" tanya Humaira yang justru hanya mendapatkan tatapan sulit diartikan dari kedua orangtuanya.
"Keputusan Ibu untuk memilih bercerai sudah bulat, Humaira. Ibu minta maaf."
Mendadak kerongkongan Humaira terasa kering. Dia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan.
"Khadijah akan ikut bersama Ibu." ujar ibunya membuat Humaira menatap sang ibu. "Hak asuh Khadijah pasti akan jatuh pada Ibu, Humaira. Dan kamu—"
"Dan aku nggak akan memilih siapa-siapa di antara Ayah dan Ibu." Humaira menggelengkan kepalanya. "Aku nggak akan ikut dengan Ayah atau Ibu. Aku akan tetap di sini, sendiri."
"Humaira—"
"Kenapa aku nggak boleh membuat keputusan sendiri ketika Ayah dan Ibu aja memutuskan semuanya sendiri tanpa meminta persetujuan dari aku? Ayah dan Ibu cuma bilang hal ini untuk ngasih tahu aku, bukan minta persetujuan aku untuk dipertimbangkan lagi. Jadi, tolong izinkan aku juga seperti apa yang Ayah dan Ibu lakukan sekarang." balas Humaira membuat kedua orangtuanya saling tatap.
Ada jeda beberapa saat sebelum akhirnya ayahnya kembali bicara. "Minggu depan sidang pertama perceraian Ayah dan Ibu. Mungkin, bulan depan nggak bisa jenguk kamu bareng-bareng lagi. Makanya kami jenguk kamu sekarang."
"Ibu nggak pernah mengajarkan kamu untuk membantah ucapan orangtua, Humaira. Meski begitu, Ibu akan mengizinkan kamu untuk tetap di sini kalau keputusan kamu seperti itu."
Humaira menunduk, berusaha mengalihkan pandangan agar tak menatap kedua orangtuanya. "Maaf." cicitnya pelan.
Humaira tahu bahwa dia sudah membantah kedua orangtuanya untuk ikut dan memilih salah satu di antara mereka. Jika saja ayah dan ibunya tidak merasa bersalah dengan masalah ini, Humaira yakin bahwa ayah dan ibunya akan terus-menerus menasihati Humaira. Namun, wajah yang ditunjukkan oleh ayah dan ibunya hanyalah perasaan bersalah. Sayangnya, perasaan itu tak akan pernah mengubah apa-apa lagi dalam hidup Humaira setelah hari ini.
Humaira tidak pernah menyetujui perceraian kedua orangtuanya. Tidak akan pernah. Jadi, jika benar-benar kedua orangtuanya resmi bercerai, itu sama sekali tak ada persetujuan apa pun dari Humaira. Memangnya, anak mana yang menginginkan keluarganya hancur berantakan?
***