Acara kajian dan pengajian akan dimulai sebentar lagi. Namun, sedari tadi Humaira hanya diam dan melamun memikirkan apa yang dikatakan oleh kedua orangtuanya siang tadi. Tak ada harapan untuk Humaira, keluarganya sudah hancur berantakan tanpa dia tahu apa penyebabnya. Humaira memilih untuk tetap berada di pesantren, menjalankan kewajiban dan tanggung jawabnya. Mungkin setidaknya ini lebih baik daripada harus menyaksikan perceraian kedua orangtuanya.
Aisyah yang duduk di sebelah Humaira menyadari sikap temannya itu. Pengajian akan segera dimulai, tetapi Humaira justru tidak fokus dan terus melamun.
"Ra, bentar lagi mulai. Kamu kenapa ngelamun terus dari tadi aku perhatiin? Kamu sakit?" tanya Aisyah membuat Humaira tersentak lalu menggelengkan kepalanya.
"Nggak kok, Syah. Aku baik-baik aja." Humaira menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Memaksakan diri untuk tersenyum agar tak membuat semua orang khawatir.
"Biasanya kamu paling semangat kalau ada kajian, Ra. Bahkan kamu itu orang yang selalu ceria. Kali ini aku ngeliat kamu beda, Ra. Mungkin ada sesuatu yang kamu pikirin yang aku nggak tahu. Mungkin kamu juga belum mau cerita, tapi nggak apa-apa. Seenggaknya, jangan ngelamun terus, ya, Ra. Ngajinya udah mau mulai. Ayo semangat kayak Humaira yang biasanya." ujar Aisyah tersenyum menepuk pundak Humaira berkali-kali.
Humaira balas tersenyum, menganggukan kepalanya. Namun, sejauh apa pun dia berusaha baik-baik saja, hatinya tak pernah benar-benar merasa begitu. Hatinya terasa hampa dan cemas. Ada sesuatu yang Humaira khawatirkan diam-diam.
Acara pengajian sudah dimulai. Humaira berusaha untuk mengenyahkan pikiran-pikiran yang bisa mengganggunya. Berusaha untuk fokus mengaji bersama, berharap bahwa itu akan jauh lebih menenangkan daripada harus memikirkan apa yang orangtuanya ucapkan siang tadi.
Usai pengajian berlangsung, dilanjutkan dengan solawat bersama, lalu dilanjut dengan kajian yang disampaikan oleh seorang ustadzah sebagai pembicara kali ini.
Selama kajian, hati dan pikiran Humaira terus mengingat kedua orangtuanya. Terlebih lagi, dia teringat dengan adiknya, Khadijah. Khadijah pasti merasa kesepian karena tidak ada dirinya di rumah. Humaira tak punya pilihan. Dia harus tetap berada di pesantren untuk melanjutkan pendidikannya. Humaira harus bertahan, ini baru awal permulaan dia menjadi siswi kelas satu SMP sekaligus santriwati di Pesanten An-Nur.
Humaira ingin menemani Khadijah. Humaira bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Khadijah ketika mendengar pertengkaran kedua orangtuanya. Entah Humaira menyadari atau memang tidak pernah mengetahuinya, tapi orangtuanya pandai menyembunyikan semua masalahnya dari Humaira. Humaira selalu berpikir bahwa hidupnya akan baik-baik saja. Keluarganya akan terus bersama selamanya. Namun, tanpa Humaira duga sedikit pun, keluarganya hancur hanya dalam kurun waktu yang singkat, atau mungkin sudah sejak lama—yang tak pernah Humaira tahu karena mungkin orangtuanya menyembunyikan sesuatu dengan sangat rapi.
Mungkin ini yang dirasakan anak-anak broken home di saat tahu keluarganya hancur berantakan. Humaira tidak pernah membayangkan hidupnya akan seperti ini. Jika bisa Humaira memutar waktu, Humaira ingin berlama-lama dalam moment yang harmonis bersama keluarganya. Sayangnya, Humaira bahkan tak bisa melakukan hal itu. Semuanya sudah hilang bahkan ketika dia belum mempersiapkan semuanya.
Hingga acara kajian dan pengajian selesai pun, Humaira masih tetap diam. Biasanya dia akan aktif bertanya, atau menghibur teman-temannya yang lain. Namun, hari ini dia merasa dunianya telah hancur. Humaira tidak mood untuk melakukan sesuatu seperti biasanya.
Humaira berharap bahwa ini semua tak akan begitu menyakitkan untuknya dan adiknya. Berharap bahwa semuanya akan segera membaik. Dan harapan terbesarnya adalah ingin kedua orangtuanya tak jadi bercerai.
***
Nabila merapikan barang-barangnya. Tadi pagi dia mendapatkan kiriman paket dari keluarganya. Sebuah mukena putih yang masih baru kini berada dalam genggamannya. Senyum Nabila mengembang sempurna, menatap mukena pemberian orangtuanya. Ada sebuah catatan kecil tertera di sana yang berhasil membuat air mata Nabila menetes.
[Nabila, jaga diri baik-baik, ya. Jaga solatmu. Jadi anak sholehah ya, Nak. —Keluargamu]
Rasa rindu kini terasa menjadi-jadi dalam benak Nabila. Padahal, Nabila datang sebulan lebih lambat daripada teman-temannya yang sudah lebih dulu berada di pesantren. Nabila tahu bahwa ini sangat sulit untuk dijalani. Selama ini, dia selalu berusaha pura-pura baik-baik saja, menahan rindu yang teramat dalam dengan keluarganya sejak berpisah sebulan ini.
Ketika di rumah, semua pekerjaan rumah dikerjakan oleh asisten rumah tangga. Nabila nyaris tidak pernah mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Ibunya begitu menyayangi Nabila sampai-sampai terlalu memanjakannya. Namun, ayahnya yang menyuruh Nabila untuk pesantren agar Nabila lebih terlatih mandiri. Nabila hanya mengikuti perintah ayahnya saja. Meski sebenarnya dia ingin sekali kembali ke rumahnya.
"Bil, kamu ngapain? Dari tadi aku ajak ngobrol diem aja." Suara Hawa yang sedang berbaring di kasur milik Nabila jadi menoleh melihat Nabila yang diam saja membelakanginya.
Nabila tersentak, menoleh sekilas pada Hawa yang kembali berbaring. "Eh, kamu tadi ngomong apa, Wa? Maaf nggak fokus." Nabila merapikan kembali barang-barangnya.
Mendengar hal itu membuat Hawa yang baru saja memejamkan mata jadi terduduk di kasur milik Nabila. Teman-teman satu kamarnya yang lain sibuk dengan kegiatan masing-masing. Kebetulan saja kasur milik Hawa dan Nabila berdekatan.
"Tadi aku nanya, masuk pesantren itu kemauan kamu, Bil?" tanya Hawa membuat Nabila menghentikan kegiatannya dan terdiam.
Seketika pikirannya kembali pada keluarganya di rumah. "Permintaan Ayah aku." balas Nabila, lalu beranjak duduk di sebelah Hawa sembari membawa mukena pemberian keluarganya itu. "Kalau kamu, Wa?"
Helaan napas keluar dari mulut Hawa. Dia tidak yakin dengan jawabannya. Ada jeda sebelum Hawa kembali bicara. "Karena orangtuaku. Umi dan Abi yang minta aku untuk pesantren. Aku anak bungsu, semua Kakakku sudah menikah dan mereka juga awalnya pesantren. Sampai mereka minta aku untuk pesantren juga."
"Kenapa kamu nggak nolak?" tanya Nabila membuat Hawa tersenyum kecil dan menggelengkan kepalanya.
"Mereka bilang kalau ini semua yang terbaik buat hidup aku, Bil. Kadang aku kangen banget sama mereka. Aku pengin pulang, jujur aku belum bisa beradaptasi dengan baik di sini. Aku selalu kepikiran Umi dan Abi. Aku nggak mau mereka kesepian, meski mereka yang minta aku di sini. Tapi rasanya beda, Bil. Aku selalu takut kehilangan mereka. Jarak kami jauh, itu yang bikin aku selalu takut dan inget rumah pengin pulang."
"Aku ngerasain apa yang kamu rasain, Wa. Bahkan aku baru jadi santriwati di sini. Aku nggak terbiasa dengan kegiatan baru di sini. Semuanya harus dikerjakan sendiri dan mandiri. Kalau di rumah, semua keperluanku disiapin sama asisten rumah tangga. Aku nggak perlu nyuci baju sendiri kayak di sini, nggak perlu antre nyuci piring, bahkan nggak perlu antre untuk mandi, dan lain-lain. Aku agak kaget karena ini pertama kali buat aku masuk pesantren. Aku udah nolak permintaan Ayahku, tapi aku tahu kalau Ayahku nggak bisa dibantah. Meski Ibu aku udah bantuin ngomong sama Ayah, akhirnya aku tetep di sini, kan. Ayah cuma pengin aku mandiri, gitu. Padahal, aku bisa belajar mandiri di rumah." balas Nabila memeluk mukena dalam dekapannya.
Matanya menyapu seluruh ruangan. Teman-temannya yang lain sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Ada juga yang sudah tertidur lebih dulu.
"Kamu juga pengin pulang ke rumah, kan, Bil?" tanya Hawa menatal Nabila yang kini menganggukan kepalanya. "Sama, aku juga pengin pulang."
"Tapi, kita nggak bisa pulang, Wa. Selama satu semester ini seenggaknya kita harus di sini dan belum bisa pulang." balas Nabila membuat Hawa menggeser duduknya untuk mendekat ke arah Nabila.
Mata Hawa menatap sekeliling kamar, teman-temannya sedang sibuk sendiri. Dia mendekatkan mulutnya ke telinga Nabila dan membisikkan sesuatu.
"Hah? Beneran kamu, Wa?" tanya Nabila tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Hawa barusan. "Maksudnya kita—"
"Ssst!" Hawa menyimpan telunjuknya di bibir dengan cepat. "Jangan berisik, Nabila. Nanti kedengaran yang lain."
Nabila mengerjapkan matanya, menghela napas. "Itu ide kamu dari mana, Wa?" Nabila memelankan suaranya seperti apa yang dikatakan oleh Hawa.
"Ya, udah deh nggak usah mikirin idenya dari mana. Yang penting, kamu mau nggak? Sebenernya aku udah mikirin ini udah lama sih, Bil. Cuma, aku nggak berani ngelakuinnya sendirian. Tapi setelah dengar cerita kamu sekarang dan sebelum-sebelumnya, kayaknya aku nggak sendirian yang ngerasain pengin pulang." balas Hawa mengembuskan napasnya gusar.
"Tapi, kamu yakin ide kamu bakal aman, Wa? Nanti kalau ketahuan sama Umi Maryam gimana?"
"Nggak bakal ketahuan kalau kita nggak bilang siapa pun, Bil. Yang penting, kan, kita ketemu orangtua kita, Bil. Bisa di rumah lagi, kayak sebelum masuk pesantren." ujar Hawa membuat Nabila menegakkan tubuhnya. "Gimana, Bil? Mau nggak?" tanya Hawa menatap Nabila yang hanya diam saja.
Wajah Nabila terlihat ragu. Antara ingin dan tidak. Namun, Hawa terus meyakinkan idenya itu agar Nabila mau mengikutinya. Tatapan Nabila jatuh pada mukena dalam dekapannya, lalu menatap Hawa lagi. Dia menghela napas panjang sebelum akhirnya menganggukan kepala.
Kedua sudut bibir Hawa terangkat sempurna, matanya berbinar. "Beneran, ya, Bil?"
Nabila mengangguk lagi. "Nggak bakal ketahuan, kan?" tanya Nabila memastikan.
"Kalau kita nggak bilang siapa-siapa, nggak bakal ketahuan, Bil." ujar Hawa, kemudian menjelaskan idenya secara rinci apa yang akan mereka lakukan nanti.
Mungkin bagi Hawa dan Nabila, ini satu-satunya jalan agar mereka bisa kembali ke rumah. Rasa rindu yang selama ini terpendam semakin menjadi-jadi. Ada sesuatu yang sulit dijelaskan hingga membuat mereka melakukan ide yang memiliki risiko besar.
***