"Wa, ini kita beneran nggak bakal ketahuan, kan?" Pertanyaan Nabila membuat Hawa cepat-cepat menyimpan telunjuknya di bibir sebagai isyarat agar suara Nabila tidak terlalu terdengar keras.
"Kelas udah dimulai dari tadi, Bil. Umi Maryam dan yang lainnya juga sekarang lagi sibuk di kantor karena ada rapat pengurus pondok inti tentang para donatur gitu, soalnya kemarin aku denger gitu pas aku lewat depan kantor dan ada guru-guru lain lagi ngobrol. Santriwati lainnya juga, kan, lagi ada kelas semua. Aku udah mikirin ini sejak lama dan kemungkinan kecil buat ketahuan, Bil. Dan, ini kesempatan buat kita sekarang mumpung yang lainnya lagi rapat." balas Hawa terdengar seperti berbisik karena tak ingin rencananya berantakan.
Sebelumnya, Hawa dan Nabila memasuki kelas seperti biasa, tetapi di saat pertengahan jam pelajaran, Hawa dan Nabila izin untuk ke toilet. Namun, mereka tak benar-benar ke toilet, mereka justru mengambil barang-barang mereka yang sudah disiapkan untuk menjalankan rencana mereka.
Gerbang tinggi pesantren tentu saja ada satpam yang menjaganya. Hawa sudah memiliki cara lain. Mereka akan memanjat tembok belakang pesantren untuk segera pergi. Mungkin ini satu-satunya cara agar mereka bisa pulang ke rumah. Setidaknya mereka meminta untuk menolak kepada orangtuanya bahwa mereka benar-benar tidak betah. Hawa mengatakan kepada Nabila bahwa ini satu-satunya cara dari bentuk pemberontakan mereka yang tak ingin berada di pesantren. Hawa berharap ide sejak lama dia pikirkan ini akan berhasil. Meski dia tahu bahwa ketika sampai di rumah pun, pastilah orangtuanya akan segera bertindak dan menghubungi pondok pesantren. Setidaknya, Hawa berpikir bahwa ketika dia memberontak dengan cara seperti ini, kedua orangtuanya akan memikirkan kembali keinginan Hawa.
"Duh, Wa, rok aku nyangku ini!" Nabila kesulitan saat memanjat tangga yang mereka ambil dari dalam gudang. Seolah-olah semuanya memang sudah terencana dengan sangat rapi dan terstuktur. Hawa merencanakan semuanya dari A sampai Z. Urusan di rumah, dia biarkan nanti. Yang penting sekarang adalah pulang ke rumah dan membuat pemberontakan.
"Hati-hati dong, Bil! Jangan sampai ketahuan!"
Hawa melemparkan barang-barangnya dan Nabila ke bawah saat sudah berada di atas tembok tinggi. Hawa sudah siap melompat, tetapi ketika hendak berbalik, matanya tak sengaja melihat Pak Satpam sedang berjalan menuju arah gudang yang letaknya tak jauh dari posisi mereka saat ini. Mata Hawa melotot sempurna, panik karena ujung rok Nabila tersangkut pada paku tangga.
"Bil, cepetan! Itu ada Pak Satpam!" seru Hawa berbisik membuat Nabila mengikuti arah pandang Hawa dan semakin panik.
Degup jantung keduanya tak beraturan karena takut ketahuan dan justru mendapat hukuman sebelum mereka protes dan melakukan aksi berontak di rumah.
Orang-orang akan berpikir bahwa ide dan rencana Hawa ini sangatlah nekat dan konyol. Kabur dari pondok pesantren di saat sedang sesi pembelajaran adalah hal yang buruk. Namun, Hawa justru melakukan hal ini karena dirasa tidak ada pilihan lain.
Sejak awal, Hawa tidak bisa beradaptasi dengan lingkungan pesantren dengan baik. Hawa hanya mengenal beberapa teman-teman, dan itu pun tidak begitu dekat. Hawa merasa bahwa tidak ada orang yang mampu memahaminya. Ketika tahu kehadiran Nabila yang menjadi teman satu ruangannya, Hawa merasa memiliki nasib yang sama dengan Nabila. Saat itulah Hawa sudah berpikir lama untuk mengajak Nabila kabur dari pesantren.
Hanya karena kiriman paket mukena dari keluarganya membuat Nabila justru dengan mudahnya mengiakan tawaran Hawa untuk ikut kabur dengannya.
Ujung rok Nabila berlubang seiring dia melompat membuat tubuhnya terjatuh di rerumputan, begitu pun dengan Hawa yang sudah lebih dulu melompat.
"Alhamdulillah, Pak Satpamnya nggak lihat kita, kan, Bil?" tanya Hawa yang sedang membersihkan roknya dari debu.
Nabila berusaha untuk berdiri dan membersihkan rok serta pakaiannya. Dia menatap Hawa dengan ekspresi takut. "Kayaknya sih nggak, soalnya kalau Pak Satpam lihat kita, pasti udah manggil-manggil kita, Wa. Tapi tetep aja aku takut ketahuan."
"Udah, Bil. Yang penting kita bisa lolos dulu dan sekarang harus cepet pergi sebelum ada yang lihat."
Nabila hanya mengangguk. Dia rasa kembali ke pesantren juga takut ketahuan teman-temannya yang lain atau bahkan kepergok Pak Satpam yang sama saja akan dilaporkan kepada Umi Maryam.
***
Aisyah adalah orang pertama yang menyadari Hawa dan Nabila tak kunjung kembali ke kelas. Aisyah mengatakannya pada Humaira yang duduk di sebelahnya. Namun, Humaira mengatakan bahwa mungkin saja mereka sedang disuruh oleh pengurus pondok atau keperluan lain yang mengharuskan mereka berlama-lama meninggalkan kelas.
Sayangnya, sudah satu jam berlalu dan kelas sudah selesai sejak tadi, Hawa dan Nabila belum juga kembali dari toilet. Terlebih sebentar lagi akan ada kelas Bahasa Arab. Aisyah dan Humaira memutuskan untuk mencari Hawa dan Nabila di toilet. Ada banyak toilet yang tersedia di tempat yang berbeda, tetapi mereka mencari ke tempat terdekat dengan kelas mereka tadi.
"Lho, nggak ada, Ra. Mereka ke mana, ya?" Kerutan di dahi Aisyah terlihat jelas ketika mendapati toilet kosong dan tak ada siapa-siapa.
Humaira menggelengkan kepalanya, dia juga tidak tahu. Bahkan dia tidak menyadari kepergian Hawa dan Nabila ke toilet jika saja Aisyah tak memberitahunya.
"Balik ke kamar kali, Syah. Nanti juga pasti ke kelas lagi kok kalau udah jadwalnya Bahasa Arab. Kan, bentar lagi. Kita tunggu aja, Syah." ujar Humaira.
Sungguh, Humaira sedang tidak dalam keadaan mood yang bagus. Jika saja hati dan pikiran Humaira sedang baik-baik saja, pasti dia akan penasaran dan bertanya-tanya mengapa dua temannya tak kunjung kembali. Namun, Aisyah sedari tadi meminta menemaninya untuk mencari keberadaan mereka. Pasalnya bukan tanpa alasan, ini sudah satu jam mereka tidak kembali dan meninggalkan kelas saat pembelajaran begitu saja. Tidak biasanya. Dan walaupun mereka disuruh oleh petugas pondok pun pasti tidak akan mungkin lama hingga satu jam.
"Bilang ke Umi Maryam aja kali, ya, Ra?"
"Jangan dulu, Syah. Mending kita tunggu aja. Kalau emang pas kelas Bahasa Arab nanti masih nggak ada, ya udah bilang ke Umi Maryam."
Aisyah akhirnya mengangguk setuju. Mereka kembali untuk ke kelas karena sebentar lagi kelas akan dimulai setelah istirahat. Namun, pikiran Aisyah terus bertanya perihal ke mana dua temannya itu. Aisyah ingat betul bagaimana Hawa yang selalu menangis ingin pulang ke rumahnya dan tidak betah berada di pesantren, begitu pun dengan Nabila yang merasa senasib dengan Hawa. Pikiran Aisyah saat itu tertuju pada satu hal.
"Atau jangan-jangan mereka kabur dari pondok pesantren, Ra?" tebak Aisyah yang mendapat gelengan kepala dari Humaira.
"Nggak mungkinlah, Syah. Mereka nggak mungkin senekat itu buat kabur dari pesantren. Apalagi, kan, di depan gerbang juga di jaga sama Pak Satpam. Kayaknya nggak mungkin kabur juga."
"Tapi, Ra, kamu emangnya lupa kalau Hawa dan Nabila itu selalu nangis dan bilang pengin pulang ke rumah? Itu mungkin aja terjadi, Ra. Orang bisa nekat kok kalau udah terpaksa banget." balas Aisyah.
"Jangan suudzon gitu, Syah. Nggak baik. Berpikir positif aja, mereka nggak mungkin ninggalin pesantren begitu aja."
"Uhm, iya, maaf deh."
Aisyah dan Humaira berjalan menuju kelas karena jadwalnya akan segera dimulai. Meski di kepalanya terus bertanya-tanya ke mana Hawa dan Nabila pergi, tetapi Aisyah berusaha untuk berpikir positit seperti apa yang dikatakan oleh Humaira.
***
"Wa, ini kita nggak nyasar, kan?" tanya Nabila seraya mengeratkan pegangan pada tali ranselnya.
Mereka baru saja turun dari bus yang mengantarkan mereka pada kota yang sama. Ini adalah kali pertama mereka menaiki angkutan umum sendirian dalam jarak yang jauh. Hanya berbekal uang saku yang mereka miliki dan berpikir itu akan cukup untuk ongkos pulang ke rumah.
"Aku pertama kali naik bus, Wa. Aku nggak tahu, beneran deh. Emangnya ini Bandung, ya?" tanya Nabila menatap sekeliling terminal bus, sangsi. "Kayak bukan deh, Wa."
Hawa menatap sekeliling seraya menggendong tasnya. Dia yakin bahwa dia tidak salah pemberhentian. Sebelumnya dia juga sudah bertanya pada salah satu penumpang bus yang sama. Dan Hawa yakin bahwa mereka tak mungkin tersesat.
"Kayaknya nggak."
"Duh, jangan kayaknya dong, Wa. Aku takut nih. Apalagi di warung itu banyak preman yang ada tatonya lagi. Serem, Wa. Nanti kalau kita kenapa-kenapa gimana?" tanya Nabila merinding.
Selama perjalanan, Nabila terus mengkhawatirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang akan terjadi pada mereka. Terkadang Hawa juga merasa kesal karena takut dengan perkiraan yang Nabila katakan itu benar.
"Kamu jangan panik dulu dong, Bil. Nanti aku jadi ikutan panik. Kita udah terlanjur pergi dan bentar lagi sampai, nggak mungkin kalau harus balik ke pesantren lagi. Uangku juga sisa sedikit lagi." ujar Hawa seraya merapikan hijabnya yang tertiup angin.
Selain karena merasa senasib, mereka juga tinggal di kota yang sama. Seharusnya akan mudah bagi mereka untuk pulang bersama seperti sekarang ini.
Hawa mencari seseorang yang sekiranya memiliki tampang baik-baik untuk diajak bertanya perihal keberadaan mereka saat ini. Cukup lama Hawa dan Nabila berjalan dan menemukan ibu-ibu yang sedang duduk di bangku panjang dekat warung.
"Assalamualaikum, permisi, Bu." ucap Hawa yang dibalas salam oleh ibu itu. "Maaf, Bu, mau tanya, kalau ini namanya terminal apa, ya? Ini di kota Bandung, kan, ya, Bu?" tanya Hawa, berharap bahwa ibu di hadapannya akan mengatakan 'iya'.
"Bandung?" Kerutan di dahi ibu itu terlihat jelas dan bergelombang. Dia meletakkan beberapa kantung plastik dan barang bawaan ke atas kursi. "Salah alamat kali, Neng. Ini mah di Purwakarta, bukan Bandung."
Hawa dan Nabila sontak terkejut dan saling pandang. Benar-benar terkejut dengan jawaban yang dilontarkan oleh ibu itu.
"Purwakarta?"
***